Ilmu pengetahuan pada dasarnya merupakan suatu ihwal yang berisi jawaban-jawaban maupun solusi-solusi atas problematika di masyarakat. Ilmu pengetahuan seperti yang kita tahu terbagi menjadi dua rumpun: sains dan humanoria. Meskipun bagi khalayak, pengamalan maupun implementasi kedua rumpun keilmuan tadi berbeda. Di satu ujung, sains bermuara kepada kejadian-kejadian alam dan di uji coba di laboratorium yang tersublim kedalam rumus maupun numerik dan di ujung lain, humanoria berkutat pada masalah-masalah ekonomi, sosiologi, politik, budaya, dan dirkusus mengenai kehidupan masyarakat.
Namun, dua ujung di atas, pada hakikatnya adalah sama. Memang, perihal ini ditengarai oleh kehadiran positivisme yang membangun tembok pemisah, sehingga menghasilkan dua diskursus keilmuan yang berupa sains dan humanoria, juga pemisahan ranah bagi mereka berdua. Nah, Joko Priyono melalui bunga rampai yang bertajuk Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan (2021), memberikan view untuk saya bahwa tanggung jawab ilmu pengetahuan–sains dan humanoria–mempunyai pertanggungjawaban yang sama, yaitu kembali kepada masyarakat.
Memang, para ilmuan dan intelektual mengalami jalan terjal dan berbatu buat menerapkan disiplin keilmupengetahuannya kepada masyarakat secara mudah dan populer. Tetapi, ini lah jalan yang harus ditampakki oleh seorang yang ber-ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan masalah penyampaian dan bahasa yang merujuk kepada sebuah komunikasi ilmu pengetahuan.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang ada, komunikasi terus menjadi hal yang vital yang memuat dua hal penting, yakni masing-masing adalah estetika dan suatu kenyataan. Hingga kemudian, kita dapat memahami bahwasannya hakikat dari komunikasi adalah melahirkan anak yang bernama dialog. Pada sebuah diskursus keilmuan, tujuan komunikasi yang perlu diperhatikan adalah tujuan intelektual. Maksudnya, terjadi proses penyangsian atas kaidah, gagasan maupun teori yang disampaikan kepada khalayak. Proses tersebut penting, apalagi mengingat mengenai teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan–benar dan salah merupakan nilai yang relatif (hlm. 69).
Perkara komunikasi ilmu pengetahuan dapat terwujud bilamana sebuah kelompok masyarakat mempunyai semangat atau girah dalam belajar mengenai ilmu pengetahuan dan mempunyai kesadaran bahwa ilmu pengetahuan itu penting bagi keberlangsungan manusia. Sehingga, jika komunikasi itu tadi berhasil, maka terwujudlah apa yang disebut sebagai masyarakat ilmiah. Tentunya, ihwal terwujudnya masyarakat ilmiah menjadi sebuah dambaan dan mimpi bagi setiap intelektual, yang mendedikasikan dirinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bahwa ilmu pengetahuan merupakan kebutuhan yang harus tercukupi.
Para ahli sains, juga intelektual dan peneliti sosial, pasti banyak dari mereka yang bercita-cita akan lahirnya sebuah masyarakat ilmiah. Mereka adalah kelompok yang menjadikan dirinya sebagai intelektual yang memiliki kesadaran juga bagian dari masyarakat dengan dinamika yang terjadi dalam realitas. Dalam diktum ini, penulis menyitir apa yang dituliskan oleh ahli fisika, Liek Wilardjo dalam tulisannya, Tanggung Jawab Sosial Seorang Ilmuan (Majalah Pustaka No. 3, 1979) sebagai kelompok yang ambil tampuk kekuasaan.
Liek menyebutnya sebagai kelompok yang tidak ambil pusing. Yang mana, mereka hanya menanamkan pada diri mereka kepada sikap bahwa tugas utama adalah berupa menghasilkan ilmu yang baik dan penelitian yang bermutu. Dunia yang dicitrakan dalam pikiran adalah dunia yang dibuatnya sendiri, kerja-kerja ilmiah tanpa berpikir pada hal lain, baik itu tanggung jawab terhadap sebuah masyarakat maupun realitas sosial.
Dalam kemajuan teknologi informasi dan akses kemudahan, ia tak terlepas dari keberadaan media sosial sebagai sebuah ruang publik–tempat pertarungan diskursus maupun wacana. Kepedulian ilmuwan diperlukan dalam hal ini. Tidak lain adalah sikap keberanian dalam ikut serta melakukan penyebaran sebagaimana mestinya dan melakukan counter terhadap sains dan ilmu pengetahuan itu sendiri. (hlm. 39-42)
Sayangnya, semangat yang diguangkan para ilmuwan maupun intelektual dalam menyongsong masyarakat ilmiah mendapat bayang-bayang berupa ancaman dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Perkara ini diungkapkan Karlina Leksono Supelli, seorang filsuf perempuan dan astronom Indonesia yang menyampaikan esai berjudul Ancaman Terhadap Ilmu Pengetahuan yang disampaikan dalam kuliah terbuka di Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada 27 September 2017. Dalam ceramahnya, alumnus University College of London itu, menyampaikan dua terminologi yang menjadi ancaman terhadap keberadaan ilmu pengetahuan. Masing-masing berupa relativisme dan fundamentalisme.
Relativisme yang dimaksudnya berupa kenyataan bahwa bagi penganutnya, tak ada cara objektif untuk membedakan mana pernyataan ilmiah yang diterima dan mana yang tidak. Dengan kata lain, para relativis pada gilirannya memanfaatkan sifat tentatif akan kebenaran ilmiah. Realitas yang terjadi, bukti-bukti ilmiah yang menjadi dasar untuk mendukung sebuah teori tidak pernah konklusif dan pernyataan ilmiah selalu terbuka dan dinyatakan salah.
Sementara itu, yang kedua adalah fundamentalisme. Ia memiliki pengertian berupa menaruh semua urusan kehidupan di bawah satu sistem nilai yang diyakini paling mendasar dan murni. Yang mana, sistem tersebut bagi penganutnya tidak boleh tercemar oleh tafsir. Fundamentalisme yang kerap kita lihat biasanya berkaitan dengan keagamaan. Perlu dipahami, ia tak hanya sebatas pada lingkup keagamaan saja. Namun, pada perihal lain masih berkaitan dengan lokus keilmuan–sains maupun sosial. (hlm. 1-2)
Seperti itu lah, sengkarut permasalahan yang menjakiti ilmu pengetahuan berserta aktor-aktornya yang mengalami kesulitan dalam menyemai dan menanamkannya untuk masyarakat tempat di mana ilmu pengetahuan itu hidup. Bahwa di masyarakat, ilmu pengetahuan merupakan sebuah perangkat buat meneroka dan menelaah sebuah realitas dan dinamikanya.
Bunga rampai garapan Joko Priyono ini membuka gerbang cakrawala bagi generasi muda, terkhusus mahasiswa yang mengemban amanah bagi kelangsungan kehidupan bangsa dan negara dengan mempertanggungjawabkan ilmu pengetahuannya kepada masyarakat. Meskipun buku ini, dominan membahas ihwal sains. Namun, bagi saya buku ini juga berimplikasi kepada ilmu-ilmu sosial yang memiliki problema yang sama, yaitu penyampaian dan pengamalannya. Buku ini sangat gamblang dan mudah dipahami sekalipun para pembaca tidak mempunyai latar belakang ilmu pengetahuan alam dan sains. Begitu.
Identitas Buku
Judul Buku : Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan
Penulis : Joko Priyono
Ukuran : 13 x 19 cm
Jumlah Halaman : xxiv + 144 halaman
Cetak : Pertama, Agustus 2021
ISBN : 978-623-97426-0-7