Proses kehidupan manusia itu rumit. Ia dituntut terus berusaha dan disertai doa. Tak jarang manusia lelah dan berkeluh kesah atas manis-pahit hidupnya di bawah terangnya gemerlap dunia.
Dalam hingar bingar dunia serta tipu dayanya, manusia butuh bersandar. Salah satu dermaga buat bersandar itu adalah menulis. Menulis membuat kita memaknai kehidupan ini sebagai proses yang rumit dalam menjalani aktivitas.
Menulis butuh perenungan, suasana sepi, dan menyepi. Maka sudah pasti, seorang yang akan memulai maupun mengakhiri tulisannya bakal melamun sambil memegang dagu dan memandang tingginya angkasa.
Berguru
Hal tadi diilhami oleh cerpenis tersohor, Hamsad Rangkuti. Dalam pengantarnya bertajuk Imajinasi Liar dan Kebohongan (Proses Lahirnya Sebuah Cerpen) di buku kumpulan cerpen, Bibir dalam Pispot (Penerbit Kompas, 2003), mengakui bahwa melamun adalah teman setianya di kala malam tiba.
“Saya adalah pengelamun yang parah. Saya suka duduk berjam-jam di atas pohon; membiarkan pikiran saya pergi ke mana dia suka, tanpa saya mengontrolnya, dan saya merasa nikmat. Saya merasa berada di dunia lain, dunia imajinasi; sebuah dunia ciptaan. Saya suka malam hari. Malam hari adalah milik orang-orang terjaga. Saya seperti berhadapan dengan diri sendiri. Di dunia malam, saya selalu dekat dengan ayah saya, si penjaga malam. Dia pandai bercerita. Terutama cerita-cerita dari dunia dongeng. Oleh sebab itu, saya suka menemaninya.”
Dari cerita begawan cerpen dan mantan Pimpinan Redaksi Majalah Horison itu, kita paham bahwa dalam proses mengarang atau menulis butuh kemampuan mencipta dalam menentukan tema maupun maksud penulis menulis esai, cerpen, atau puisi itu. Sidang pembaca perlu terkesan membaca karya kita. Proses menuju karya yang mengesankan dan mendarah mendaging ke pembaca memang rumit dan tidak mudah.
Hal itu mungkin kita alami tatkala kita ingin menulis. Konsepsi tema sudah ada. Beberapa tumpuk buku yang menjadi rujukan telah tersedia. Juga kopi dan rokok sudah di depan mata. Namun apa daya. Keruwetan itu ada saja menghampiri kita dalam proses kehidupan menulis ini.
Jangankan kita yang masih ecek-ecek ini. Seorang sastrawan legendaris Indonesia, Ali Akbar Navis atau akrab di telinga kita sebagai A. A. Navis mengaku kesulitan dalam proses penciptanya. Pengarang cerpen legendaris Robohnya Surau Kami (1956) itu, menuangkan esainya berjudul Proses Penciptaan dalam Proses Kreatif (Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang) Jilid 2 suntingan Pamusuk Enestes (Kepustakaan Populer Gramedia, 2009).
Esai itu menyambut kita dengan tiga alasan mengapa A. A. Navis mengalami kesulitan dalam proses penciptaan. Pertama, keterbatasan kemampuan berbahasa Indonesia. Hal itu disebabkan karena A. A. Navis jarang bergaul dengan seseorang yang menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga, dalam proses penciptaannya ia berpikir dalam struktur Minangkabau, lalu menuliskannya ke bahasa Indonesia. Kesulitan itu berakibat pada penulisan dialog para pelaku cerita.
Kedua, tidak diajarkan cara mengungkapkan pikiran dengan bahasa. Ketika A. A. Navis belajar di INS Kayutanam selama sebelas tahun ia mengaku tidak diajarkan menuangkan gagasannya melalui bahasa dan tulisan. Sebab, pelajaran berkreasi melalui tangan lebih mendominasi, sehingga kemampuannya dalam proses penciptaan belum matang sepenuhnya.
Ketiga, bahwa A. A. Navis mempunyai kisah hidup yang begitu-gitu saja. Ia mengaku tidak mempunyai pengalaman hidup yang penuh avontur, yang aneh-aneh, sehingga tidak mempunyai bahan yang luar biasa untuk diberikan kembali kembali dalam proses penciptaan.
Dari ketiga kerikil yang mengganggu proses penciptaan A. A. Navis tadi, kita paham akan susahnya mengarang itu. Memang, menulis itu sukar, ia harus digelar dan digulung sehingga ciptaan kita menjadi sempurna. Lebih lanjut, A. A. Navis menyatakan:
“Dalam memproses naskah yang saya tulis, jadinya saya tersandung dalam menggunakan bahasa. Sehingga setiap naskah senantiasa mengalami beberapa kali pengulangan, setidak-tidaknya empat kali pengulangan. Yang menjengkelkan pula kadang-kadang setiap pengulangan selalu mengubah cerita itu sendiri. Setiap pengulangan naskah itu, saya memerlukan waktu yang cukup lama pula. Saya menunggu beberapa waktu, sehingga di waktu saya membacanya kembali, seolah-olah saya tengah membaca cerita orang lain dan bukan karya saya. Dengan cara demikian sesungguhnya menguntungkan, karena saya akan dapat lebih teliti mengoreksi dan memperbaiki kembali naskah tersebut sebelum dikirim ke penerbit atau majalah.”
Menjalankan kehidupan
Menarik buat ditelaah pernyataan di atas dalam konteks proses penciptaan tulisan kita. Membuka-menutup buku bacaan lalu menuangkan pada kanvas dengan bahasa yang mudah, mengganti kata dan kalimat, dan menilik hubungan antara paragraf satu dengan yang lain, merupakan proses yang biasa tetapi amat luar biasa.
Dengan rumitnya proses penciptaan menulis, manusia diajarkan untuk menjalani kehidupan ini sebagai proses yang utuh. Dalam khazanah ajaran kehidupan Jawa, yakni urip mung mampir ngombe (hidup hanya numpang minum).
Kalimat itu menggambarkan bahwa hidup manusia itu sangat singkat seperti orang minum segelas kopi di angkringan sampai perutnya kembung. Selain itu, manusia mengalami tiga proses: lahir (lahir ke dunia); mukti (menjalani kehidupannya sebagai manusia dan hamba Tuhan; dan mati (meninggalkan dunia dan menunggu hari pertanggungjawaban)
Sehingga, dengan analogi tadi, dengan menulis manusia akan menemukan makna hidup yang hakiki, penuh renungan, dan penuh pertimbangan serta ketelitian yang bisa kita amalkan dalam menjalani kehidupan sampai akhir menutup mata. Demikian.