Antara manusia dengan binatang memang dapat diidentikkan. Biasanya, apa yang terdapat pada binatang disandingkan dengan watak manusia. Ihwal itu bermuara kepada seluruh aktivitas kita dan bagaimana kita “mendapatkan” sesuatu.
Terlebih lagi dalam “urusan perut”, kiranya binatang dan manusia sama-sama rakusnya dan tiada yang mengalah. Begitu banyak kita jumpai manusia model-model seperti itu. Tidak mau mengalah, menghalalkan apapun caranya agar menggapai podium yang diinginkan. Kita pun ingat dengan tembang Tikus-Tikus Kantor (1993) dari Iwan Fals yang menyandingkan para koruptor negeri ini dengan tikus yang terkenal rakus bukan kepalang.
Selain tembang yang berlirik kritik sosial di atas, ada sebuah novel garapan Mahbub Djunaidi yang bertajuk Binatangisme (1983) yang mengisahkan kehidupan dan keseharian bangsa binatang yang bagi saya dapat disandingkan dengan watak maupun sifat manusia sekarang ini–tentunya perihal politik dan kekuasaan. Novel yang ditulis Mahbub itu, merupakan hasil dari penerjemahan buku Animal Farm garapan George Orwell yang pertama kali terbit di Inggris pada 1945.
Mula-mula novel ini, menyatakan bahwa bangsa manusia hanya bisa menjadi konsumen yang rakus. Perihal itu dikatakan oleh Manor–babi putih tua yang dihormati di peternakan Manor yang ia katakana manakala ia mengadakan pembicaraan dengan bangsa binatang penduduk peternakan Manor. “……Manusia adalah satu-satunya makhluk di atas jagad ini yang bisanya cuma jadi konsumen, tapi bukan produsen! Mereka menginjak kita seraya menginjak permen. Mereka tidur terlentang di atas genangan keringat para binatang. Manusia itu: garong tiada duanya! (hlm. 8).
Apa yang dikatakan oleh Si Gaek Major–julukan babi tua Major di atas, ada benarnya juga. Banyak di antara masyarakat yang berlebihan dalam mengkonsumsi suatu produk, terutama makanan. Konsumerisme itu dapat kita tengok di gerai-gerai makanan yang menjajakan makanan-makanan berbau kebarat-baratan. Meskipun makanan itu berharga selangit, banyak masyarakat yang membelinya dan tanpa peduli bahwa ada makan-makanan produk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang sebaiknya patut kita beli ketimbang makan-makanan yang berporsi sedikit lagi mahal itu.
Kemudian, novel ini menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling jorok di jagad ini. Pernyataan itu juga diungkapkan oleh babi Major. “…… Tai kita, semua tidak kecuali, menyuburkan tanah itu. Tai kita, yang membikin benih merekah. Tai kita yang mendorong munculnya kecambah. Tai kita yang menyegarkan tumbuhnya batang dan daun dan ranting dan buah. Tai kita, bukan tai siapa-siapa. Selada dan kubis dan kacang Panjang yang makhluk manusia itu ganyang di atas meja makan, semuanya itu dimungkinkan oleh tai kita. Coba pikir, bahkan tai kita pun mereka manipulir! (hlm. 9).
Ya, memang begitu. Sayur-mayur yang manusia makan sebagai nutrisi tubuh supaya seimbang, berpeluang mengandung zat-zat yang ada di tai binatang. Kita tidak bisa mengelak hal itu, apakah kita akan berhenti memakan sayur karena mengandung tai binatang? Silahkan, itu hak prerogatif masing-masing dari kita. Namun, ada satu ihwal, yaitu kita harus hidup berdampingan dan jangan mengusik habitat binatang.
Demi urusan perut binatang-binatang kita usir dengan deru mesin dan kendaraan besar untuk memotong pohon-pohon untuk urusan pembukaan lahan dan barang tentu pembukaaan investasi seluas-luasnya, seluas hutan yang akan ditebang. Mungkin tidak berlebihan dengan yang diungkapkan Mahbub dalam novel yang ia terjemahkan itu, bahwa bangsa manusia demi kepentingan perut dan nafsunya lebih menjijikkan ketimbang binatang.
Ihwal urusan perut, manusia menempuh segala-gala cara meskipun ia tahu bahwa cara itu salah dan sudah tentu berdosa. Hal ini dinarasikan Mahbub lewat terusirnya Snowball–babi kader teladan babi Major, oleh Napoleon yang juga babi kader teladan babi Major. Kedua babi itu sama-sama kader ideologis sang mendiang Si Gaek Major, juga si babi Squealer.
Awalnya, Snowball dan Napoleon bersitegang mengenai gagasan mereka untuk keberlangsungan peternakan Binatang. Si babi Snowball mempunyai rencana untuk membangun kincir angin agar di malam hari peternakan terkoneksi oleh listrik sehingga terang-benderang. Namun, si babi Napoleon tidak punya gagasan apapun dan malah ia berkomentar bahwa gagasan pembangunan kincir angin yang digaungkan Snowball adalah usahanya untuk mencapai kepentingan pribadinya.
Singkat cerita, Napoleon dengan mengerahkan sembilan anjing bertubuh besar merangsak masuk ke-kandang tempat di mana Snowball berada. Langsung Snowball menghambur keluar pintu, dan anjing-anjing itu terus mengejar dengan geram. Snowball lari bagai kesetanan melintas padang rumput menuju jalan raya. Ia lari begitu kencang, lebih kencang dari angin. Sudah pasti, belum pernah ada babi dalam sejarah bisa lari begitu macam. Tapi, anjing-anjing itu pun terus mengejar, sama derasnya, persis di belakang tumitnya. Tiba-tiba Snowball terpeleset, dan rasanya akan kena tangkaplah ia, dan tamat. Namun, babi Snowball sigap bangkit. Hingga pada akhirnya, dengan kekuatan ekstra yang ada padanya, babi Snowball membelok masuk ke dalam lubang di semak belukar (hlm. 62-63).
Kudeta, mungkin itu lah usaha babi Napoleon untuk melanggengkan kekuasaannya di peternakan Binatang. Yang mana, ia mengandalkan kekuatannya ketimbang pemikiran dan pembaruan untuk kemaslahatan warga Binatang. Tentunya, masyarakat sudah jengah akan perilaku penguasa semacam itu, yang tidak punya gagasan dan pembaruan namun masih nekat memimpin dan menjadi pemangku kebijakan. Menyedihkan.
Begitulah, suguhan dari seorang Mahbub Djunaidi di telapak kita. Dengan kebernasan kata-kata dan bahasa-bahasanya mampu mengemas novel Binatangisme dengan penuh ketegangan, kritik di satu pihak dan lucu di pihak lain, sehingga menghasilkan pengalaman membaca yang seru. Selain itu, novel ini kiranya relevan dengan dinamika politik Indonesia dewasa ini yang begitu serakah dan menghalalkan segala cara seperti babi Napoleon.
Semoga khalayak dapat membaca novel Binatangisme ini sebagai refleksi bahwa watak antara kita—sebagai manusia—dengan binatang hanya sebelas dua belas. Demikian.
Judul : Binatangisme
Penulis : George Orwell
Penerjemah : Mahbub Djunaidi
Jumlah Halaman : 176
Penerbit : Iqra Bandung
Terbitan : Maret, 1983
ISBN : –