Negeri Suriah masih dilanda peperangan dahsyat. Baru-baru ini dunia dikejutkan tragedi di Ghouta timur. Tercatat 850 orang meninggal dalam perang sengit antara pasukan rezim Bashar Al-Assad dan pemberontak. Selain Suriah, ada campur tangan Rusia. Di wilayah tersebut, pesawat tempur Rusia melakukan lebih dari 50 operasi serangan udara.
Di media social terjadi pro kontra menyikapi peperangan yang tak berkesudahan di Suriah. Pernyataan Abdul Shomad Lc M.A bahwa “di sana ada ‘agenda setting‘ Syiah internasional -yang dibantu para penjajanya dari kalangan liberalis- yang mendompleng berhembusnya Arab Spring untuk menguasai negeri-negeri aswaja (Sunni).” dibantah oleh mahasiswa Indonesia yang menetap di ibukota Suriah.
Lian Fikyanto, di status akun Facebook 6 Maret 2018, menceritakan pengalamannya selama di Suriah:
“Mereka bilang Pemerintah Suriah Syiah kafir sesat membantai Muslim Sunni dari anak-anak, wanita hingga orang tua, tapi yang kami tahu di sini pemerintah Suriah menggandeng Ulama yang toleran yang mengajarkan kami Ilmu Agama dengan baik dan benar, yang tidak menyebarkan kebencian laknat sumpah serapah.”
Mengacu pada judul artikel ini, dalam catatan sejarah, negeri yang berbatasan dengan Yordania dan Irak ini sering berganti-ganti penguasa. Negeri ini amat strategis posisinya karena di samping dulunya dipakai jadi jalur perdagangan utama antara Timur dan Barat, ia bisa dipakai sebagai jalur untuk membebaskan al-Aqsha. Awalnya dibawah kekuasaan Kekaisaran Romawi (Byzantium). Betapa strategisnya bukan?
Barulah di era Amirul mukminin Umar bin Khattab, kota Damaskus pada September 635 M berhasil direbut pasukan Abu ubaidah al-Jarrah dan Khalid bin Walid dari cengkraman Byzantium. Di Damaskus ini terdapat makam beberapa tokoh Muslim terkemuka, diantaranya Mu’awiyah, Shalahuddin al-ayyubi, Nuruddin zanki, hingga Ibn Arabi (Ahmad Rofi’ Usmani, Jejak jejak Islam: Kamus sejarah dan Peradaban islam dari Masa ke Masa, 2015, hal 101).
Setelah sukses menyingkirkan Romawi, pada era kepemimpinan Umar bin Khattab, di kota Bushrah didirikan Masjid al-Umari. Pembangunan masjid itu baru selesai di era Yazid bin abdul Malik. Masjid yang konstruksinya menggunakan material dari puing-puing bangunan Romawi ini terletak sekitar 140 Km arah selatan dari Damaskus.
Pada era Umar dikenalkan pengajaran Alquran. Berawal dari pengaduan Yazid bin Abu Sufyan kepada Amirul mukminin tentang perlunya pendidikan Alquran dan juga wawasan keislaman. Yazid mendesak Umar supaya mengutus para dosen. Kemudian Umar memilih tiga sahabat melakukan tugas pengajaran tersebut. Muadz, Ubada dan Abu Darda. Muadz ke Palestina dan Abu Darda tinggal di Damaskus Suriah. Di sinilah Abu Darda mampu mendirikan halaqah dengan mahasiswa asuhannya melebihi 1600 orang (M. M Al-A’zami, Sejarah Teks Al-Quran : Dari Wahyu Sampai Kompilasi, hal 93).
Setelah berlalunya era empat khalifah pengganti Rasulullah, Dinasti Umayyah menjadikan Damaskus sebagai ibukotanya. Pemindahan ibukota dari Kufah ke Damaskus sempat membuat marah penduduk Hijaz dan Irak (Atlas sejarah Islam, 2011, hal 60). Di era Abbasiyah, Suriah diperintah orang Turki. Kemudian beralih ke dinasti Fathimiyah.
Memasuki abad 11 M, Suriah jatuh ke tangan Dinasti Saljuk. Semua bermula saat Alb Arslan, panglima tertinggi Pasukan Saljuk mengirim pasukannya ke Suriah. Seiring berjalannya waktu, datanglah pasukan Salib menyerbu Damaskus, atas pertolongan Allah swt, kota tersebut dibebaskan oleh Nuruddin Mahmud zanki.
Zanki adalah raja yang adil, suka akan ilmu pengetahuan dan gagah di medan pertempuran. Jasa beliau yang tidak boleh dilupakan adalah memperindah masjid Nabawi dan makam Rasulullah saw (Hamka, Sejarah umat Islam, hal 353). Sepeninggal Zanki, Shalahuddin al-Ayyubi menggabungkan wilayah ini kedalam wilayah yang dikuasai dinasti Ayyubiyah.
Nasib Suriah berubah suram, tahun 1400-1401 Timur Lenk berserta pasukannya datang ke Allepo, Suriah. Penduduknya dibunuh semua, termasuk wanita dan anak-anak. Total 20 ribu nyawa melayang. Kota Damaskus ia bakar habis termasuk masjid Umayyah (Rebecca joyce Frey, Genocide and International justice, 2009, hal 188-190).
Periode 1512-1920 M Suriah damai di bawah naungan Khilafah Turki usmani. Di era sultan Salim I, penduduk Suriah menulis surat yang cukup panjang yang intinya mereka merasakan kekejaman pemerintahan Mamluk, mereka akan gembira apabila Sultan menyerang Mamluk.
Di era Abdul Sultan Hamid II, Dibangunlah rel kereta api yang membentang dari Damaskus hingga Madinah. Dengan adanya rel kereta api ini, perjalanan dari Suriah ke Hijaz hanya lima hari. (Ali Muhammad ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Usmaniyah, hal 242-574).
Pasca dihapusnya kekhilafahan Turki, Faishal husein terpilih jadi raja. Namun baru beberapa bulan berkuasa, penjajah Perancis tiba di Suriah. Faishal pun melarikan diri ke benua Eropa. Akhirnya tahun 1941 M, Suriah meraih kemerdekaan. Sempat menyatu dengan Mesir hingga tahun 1961 M. Di negeri ini pula partai politik pertama di Timur tengah berdiri yakni Partai Ba’ath. Partai yang bermotto “Wahdah, Hurriyah, Ishtirrakiyah” ini mendominasi perpolitikan di Suriah sejak tahun 1963 M.
Dalam hal peperangan, Bersama Mesir ikut perang lawan zionis Israel. Tahun 1990 M dengan negara-negara sekutu sukses bebaskan Kuwait dari invasi Irak. Meski pernah perang dengan Zionis, Suriah bersedia duduk dalam perundingan dalam upaya jamin perdamaian di Timur tengah. Tahun 1996 menurut Dr. Murodi MA saat berseteru dengan Turki, Suriah bersekutu dengan Zionis Israel.
Perjalanan sejarah Suriah juga diwarnai kudeta Militer. Hampir seluruh kepala negaranya meraih kekuasaan melalui jalan kudeta. Pernah diperintah Husni az-Zaim, sami’ al Hanawi, Adib syisyikli, Nuruddin at-Thasy hingga hafez al-Assad naik pada 1971 M. Hafez mendominasi perpolitikan Suriah hingga akhir tahun 2000.
Hafez dulunya kepala staf angkatan udara Suriah. Kemudian menjadi menteri Pertahanan dan pada akhir 1970 ia merebut kekuasaan melalui kudeta tidak berdarah. Untuk mempeluas basis politik pemerintahannya, ia membentuk dewan Nasional. Di dalam dewan itu dimasukkan tokoh kiri moderat termasuk kaum sosialis Arab, golongan komunis dan serikat Buruh (Leksikon islam, jilid 1, hal 68).
Kepemimpinannya penuh dengan noda darah, pasalnya tahun 1982 tanpa ragu Hafez mengirim pasukannya ke kota Hama dan melakukan pembantaian hingga jatuh korban lebih dari 20 ribu jiwa (Jason Rodrigues, 1982: Syria’s President Hafez al-Assad crushes rebellion in Hama, theguardian.com, 1 Agustus 2011).
Kebanyakan yang wafat dalam tragedi Hama adalah kaum sipil. Pasca peristiwa ini, organisasi Ikhwanul muslimin dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Peristiwa Hama selama bertahun tahun akan mencoreng rezim Assad dan partai Ba’ath di mata kaum Sunni di Suriah (Nino Oktorino, Konflik bersejarah : Pedang Sang Khalifah, 2015, hal 14).
Hanya ajal yang membuat diktator murah senyum ini berhenti jadi presiden. Hafez digantikan oleh Bashar Al-Assad. Assad hingga kini mati-matian mempertahankan kursi kekuasaannya di tengah kondisi negerinya menjadi ajang percobaan senjata militer Rusia, kelompok pemberontak dan Amerika serikat. Wallahu’allam.