Di tengah berlangsungnya kegiatan belajar mengajar (KBM), salah satu anak didik saya bertanya tentang teologi yang dianut Ibn sina. “Benar apa nggak, Pak, kalau Ibnu Sina itu Syiah?”
“Ibnu Sina itu dokter sekaligus filosof. Filosof dari Syiah itu bukan beliau, tetapi Mulla Sadra”. Entahlah anak didik saya ini kenal atau tidak tentang sosok Mulla Sadra. Sekiranya penasaran, biarlah mencari sendiri melalui Google.
Dilahirkan pada tahun 370 H dengan nama Abu ‘Ali al-Husien bin Abdullah al- Hasan bin ‘Ali bin Sina. Banyak dugaan, bahwa nama Ibnu Sina berasal dari “Cina” yaitu sebutan dalam bahasa Arab dengan sedikit perubahan sebutan “S”.
Menurut pendapat Alberry sebagaimana yang dikutip oleh Maidar Darwis dalam Jurnal Ilmiah Didaktika, (Februari 2013) menyatakan kemungkinan besar “Sina” bukan nama asli dari neneknya, tetapi berasal dari perkataan “as- Shina” dalam bahasa Arab berarti “Cina”.
Kembali ke rumor Ibnu sina berpaham Syiah. Tahun 2015 pernah beredar luas melalui postingan di Facebook. Postingan tersebut intinya menyerukan supaya orang tua jangan menamai bayinya dengan nama Ibnu Sina atau Avicenna. Kenapa?
Alasan orang yang melarang menamai darah dagingnya dengan nama Avicenna karena dua hal: Pertama, Ibn Sina punya paham yang menyimpang, misalnya dinyatakan bahwa alam ini ada sebelum adanya (Allah Swt.). Kedua, Ibnu Sina dinilai menyimpang karena beliau ini penganut Syiah dan atheis!
Bacaan terkait:
- Pengaruh Ibnu Sina dalam Persalinan Modern
- 4 Estetikawan Muslim Abad Pertengahan
- Matematika dan Fisika dalam Kanvas Peradaban Islam
Postingan tentang Ibnu Sina tadi cukup mengusik pikiran dan hati saya. Belum saya temukan buku yang menyatakan Ibnu Sina berpaham Syiah. Sebagian besar buku filsafat dan ensiklopedia Islam saya telaah lagi. Yang ada hanyalah sumbangsih besar Ibnu sina dalam filsafat, kedokteran maupun geologi.
Singkat cerita, postingan tersebut saya tanyakan kepada Prof. Mulyadhi Kartanegara. Beliau adalah orang Indonesia yang mengajar di Universiti Brunei Darussalam. Berikut ini penjelasan lengkapnya.
Pertanyaan pertama, “Assalamualaikum prof… Apakah Ibnu Sina Syiah?”
“Dalam otobiografinya dia tidak nengatakan apakah dirinya Syiah atau bukan. Dia mengatakan sering datang dari Ismailiyyah ke rumah ayahnya, tapi ia malah tidak setuju dengan konsep mereka tentang jiwa. Saya rasa ibn Sina sengaja menyembunyikan ideologi keagamaannya karena dia ingin merangkul semua. Banyak tokoh yang bukan syiah diklaim sebagai syiah oleh orang Syiah. Seperti Rumi dibilang orang Syiah, tapi sebenarnya dia pengikut Asy’ari. Jangan karena dia menulis kitab dalam bahasa Persia, maka dia diklaim sebagai syiah.” Jawab Prof Mulyadhi.
Masih menurut Prof. Mulyadhi, “Saya sebenarnya kurang suka dengan menggolongkan para ilmuwan ke dalam faham sektarian. Yang terpenting bagi saya adalah membaca karyanya terkebih dahlu, lalu mengambil yang bermanfaat, mengkritik secara ilmiah yang salah. Apakah dia syiah atau bahkan Yunani sekalipun kalau nemang ada kebenaran dan manfaat, kenapa harus dicampakkan. Sebab sekarang ini banyak orang yang kalau sudah tahu seseorang bukan dari golongannya, terus jadi elergi dan tak mau baca karyanya. Sebuah kesalahan yang sangat merugikan.”
Kedua, “Apakah benar Ibnu Sina menyatakan bahwa alam ada mendahului Tuhan?”
Beliau menjawab, “Saya tak pernah jumpai Ibnu Sina mengatakan alam mendahului Tuhan. Dia mengatakan bahwa alam adalah mumkinul wujud, sedang Tuhan wajibul wujud, dikatakan mumkinul wujud karena alam mungkin wujud tetapi tidak bisa mewujudkan durinya, karena itu ia membutuhkan Tuhan debagai wajibul wujud untuk keberadaannya.”
“Bagaimana alam bisa mendahului Tuhan, sedangkan Tuhan adalah sebab dan alam adalah akibat, justru bagi saya Ibnu sina membantu kita untuk membuktikan secara rasional keniscayaan adanya Tuhan,” ujar Prof Mulyadhi.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya tegaskan bahwa Avicenna adalah nama yang keren dan menorehkan banyak prestasi yang belum tentu bisa digapai oleh kaum milenial Indonesia. Hafal Alquran usia 10 tahun dan mampu mengobati sultan Nuh bin Mansur di usia 16 tahun.
Saat ssia ke 21 tahun menulis kitab “Al Qanun fil-Tibb” yang di dunia Barat ditrjemahkan dengan judul “The Canon of Medicine”.
Selain dikenang sebagai ilmuwan. Ibnu Sina pernah menjabat wazir (menteri), dan pindah dari satu negeri ke negeri yang lain dalam rangka untuk menyumbangkan pemikirannya pada beberapa sultan yang berkuasa. Ia diangkat oleh Sultan Samsud-Daulah sebagai wazir di Hamdan dan di Hisfahan, kemudian ia diangkat pula menjadi wazir oleh Sultan ‘Ala’ud Daulah.
Menurut al-Ahwani sebagaimana yang dikutip oleh Maidar Darwis, siang hari Ibnu Sina sibuk dengan urusan kenegaraan, sedangkan di malam harinya sibuk dengan menulis buku dan memberikan pelajaran kepada muridnya.
Tak perlu khawatir menyematkan nama Avicenna atau Ibn sina kepada anak bahkan Yayasan dan instansi yang kita dirikan. Anak pertama Drs. Basri Zain P.hD (kini menjabat Wakil direktur Pascasarjana UIN Malang) dinamai Avicenna Basri. Ada juga mantan anak didik saya yang bernama “Yahya Avicenna”. Sebuah nama mengandung harapan dari para Orang tua barangkali bisa meniru dan melampaui prestasi Ibnu Sina.
Dan kalaupun Ibnu Sina, Mulla Sadra, atau siapa pun Syiah, Sunny, Mu’tazilah, memang kenapa? Kenapa? Kenapa? Masalah ya?
Aku baru membaca biografi beliau. Tapi aku yakin sih, Ibnu Sina bukan Syiah karena sisa terakhir hidupnya sering membaca Alquran dan pasti beliau tau arti dalam Alquran. Wallahu A’lam
Kalau syiah memangnya kenapa, Kak?