Malam makin larut. Satu-satu tamu di rumah saya di Clayton, Melbourne, pulang. Tinggal, mungkin, lima orang tamu yang masih ‘setia’.
Kiai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang bersila di atas karpet, menyenderkan punggungnya di kursi panjang. Kursi yang dilengkapi tempat khusus meletakkan telepon itu saya beli di toko barang-barang second hand di Dandenong. Saya ingat, Ketut Mardjana (kelak pernah menjadi Dirut PT Pos) yang mengantarkan saya ke toko itu.
Tapi, kendati jumlah menipis, cerita-cerita kecil tetap berlanjut, lebih santai, lebih rileks.
Kali ini, Abdurrahman Wahid yang seperti tak pernah kehabisan tenaga dan cerita itu berkata:
Tahun 1950-an di Surabaya masih ada trem. Sebuah kenderaan umum mirip kereta, tapi lebih pendek, yang digerakkan listrik. Suatu ketika, trem tersebut melaju kencang di atas relnya.
Tiba-tiba, sebuah becak yang dikayuh seorang Madura berhenti di lintasan rel itu. Jarak trem-becak hanya tinggal 15 meter.
Dengan gugup dan susah-payah, masinis menekan rem sehabis-habisnya. Dan trem berhasil terhenti hanya beberapa inci dari becak.
Terengah-engah, marah, dan penuh emosi, sang masinis melotot dan berteriak kepada tukang becak itu: “Hai! Kamu kok diri di situ?! Tidak bisa mundur?!”
Dengan tenang, tukang becak itu menjawab: “Saya bisa. Sampean enggak.”
Kami yang tinggal berlima itu tertawa terbahak-bahak. Kami tidak jadi ngantuk.