Pulang Jumatan 10 Juli 2020, saya terduduk di tempat biasa di rumah. Meja di hadapan saya bertabur koran-koran langganan. Dan di senderan tangan kursi sebelah kiri, bertumpuk buku-buku yang harus dibaca. Salah satunya adalah “Capital and Ideology” karya Thomas Pikety terbaru.
Saya ingat, buku Pikety sebelumnya, dengan tema yang hampir sama, saya beli di airport Hong Kong tahun lalu. Juga, di meja yang sama, ada buku “Heresy and Politics”, karya scholar muda Najib Burhani —baru sampai kemarin sore.
Terutama karena covid-19, saya kian yakin manfaat sembahyang Jumat di jalanan aspal —seperti telah bertahun-tahun say lakukan. Terik matahari telah mencegah efektivitas kinerja kuman Covid-19. Saya jadi ingat frasa yang diungkap Sofyan Djalil (kini menteri Agraria): ‘The sun is the best disinfactan’. Jadi Jumatan di bawah terik matahari jadi relevan.
Tapi, entah mengapa, ingatan saya melayang acara Jumatan di LP3ES sejak awal 1980-an. Sejak Mas Endang Basri Ananda (EBA) bergabung di LP3ES, “the intellectual center of excellence” ini menyelenggarakan Jumatan tersendiri.
Selain Mas EBA, ada anak-anak muda lain yang menjadi khatib Jumat. Ismed Natsir, Ison Basyuni, Arif Mudatsir, Said Budairi, dll. Dan dengan “persyaratan amat ketat”, Mas Dawam Rahardjo mau juga menjadi khatib. “Ketat”, karena Mas Dawam, “grogi”. Untuk menenangkan dirinya, ia melarang kami bicara-bicara sebelum khutbah. “Merusak konsentrasi saya,” kata Mas Dawam. Dan yang biasa masih bicara adalah, antara lain, Tafta Zani dan Entjeng Shobirin Nadj.
Nah, entah mengapa, suatu Jumat, Mas EBA meminta saya menjadi khatib. Saya bersedia karena naskah tertib khutbah biasanya diletakkan di podium. Dalam hati, saya berkata, “Apa susahnya? Baca teks pembukaan dan pertengahan yang tersedia. Lalu isi khutbah bisa dikarang sendiri secara lisan.”
Maka, ketika sampai waktunya, seperti halnya mau membawa makalah, dengan tenang saya melangkah ke mimbar. Dari situ, saya melihat jamaah Jumat memandang saya dengan serius. Dan, seperti biasa, saya tenang.
Tetapi, ketika saya lihat ke laci mimbar, hati saya berdesir: ‘Gawat!!!!’ Teks tertib khutbah tidak ada. Dalam hati, saya berkata: “Ada yang kerjain nih.”
Maka, dengan sebisa-bisanya, saya memulai khutbah dengan membaca “pembuka” (tahmid, pesan takwa, selawat,dll) yang bisa saya ingat. Untuk sementara aman. Soalnya adalah memulai khutbah kedua.
Saya duduk. Mungkin lima menit. Berusaha keras mengingat-ingat apa bacaan pembukaan khutbah kedua. Karena kian gugup, ingatan tak bisa bekerja. Para jamaah gelisah. Dan Sasmito, salah seorang peneliti lulusan FE UGM berucap keras: ‘Lama amat!’
Daripada-daripada, akhirnya saya berdiri. Jamaah tampaknya menyangka saya akan melanjutkan khutbah kedua. Tapi, yg saya lakukan adalah mengatakan kepada mereka: ‘Maaf, karena teks tertib khutbah ada yang ambil, saya tak bisa melanjutkan tugas sebagai khatib.’ Lalu, saya bergabung dengan jamaah.
Dalam krisis inilah Kiai Abdurrahmah Wahid bangkit. Duduk sebelumnya sebagai jamaah, Kiai Wahid terpanggil menyelamat upcara Jumat pada hari itu. Dengan enteng, dan tanpa menyebut insiden gagal khutbah sebelumnya, Kiai Abdurrahman Wahid menyelesaikan tugas yang saya terbengkalaikan.