Sedang Membaca
Usmar Ismail dan Nahdlatul Ulama: Estetika, Wacana, dan Gerakan
Eric Sasono
Penulis Kolom

Penulis adalah kritikus film.

Usmar Ismail dan Nahdlatul Ulama: Estetika, Wacana, dan Gerakan

Usmar Naik Haji

Sepak terjang dan kepeloporan Usmar Ismail dalam film Indonesia membuatnya bisa dibicarakan dari berbagai sudut pandang, karena ia melakukan dan menyentuh banyak hal belum pernah dilakukan dalam dunia film Indonesia sebelumnya. Dengan ragam pembicaraan yang demikian banyak tentang Usmar, kritikus film Ekky Imanjaya yang memperoleh gelar doktor di bidang kajian film dari Universitas East Anglia, Inggris, mencoba untuk menjelajahi satu wilayah yang kerap luput: Usmar Ismail dan Islam.

Hal ini bukan sama sekali tanpa alasan mengingat ada beberapa hal dalam sejarah hidup Usmar yang memang mengarah kepada Islam. Pertama, terlihat ada spiritualitas Islam dalam beberapa karyanya: Harimau Tjampa (1955, Usmar menulis skenario dan D. Djajakusuma sutradara), dan Tauhid (1966, Usmar produser dan Asrul Sani penulis skenario dan sutradara). Kedua, Usmar mengudar pendapat dan berpolemik mengenai film dan Islam.

Ketiga, ia ikut serta mendirikan Lesbumi, lembaga kebudayaan di bawah Partai Nahdlatul Ulama (NU), ketika itu.

Berdasarkan ketiga hal ini –estetika, wacana dan gerakan– Ekky Imanjaya menyimpulkan bahwa ada elemen Islam yang kuat di dalam diri dan sejarah Usmar yang patut mendapat perhatian sehingga ia pantas disebut ‘mujahid film’ dalam buku terbarunya, Mujahid Film: Usmar Ismail (Kineforum dan Storial, 2021).

Isi buku

Sebelum membahas buku ini, patut diingat bahwa buku saku ini (131 halaman) merupakan kumpulan tulisan yang tidak diniatkan untuk membangun argumen yang utuh, sehingga terlihat bahwa judul ‘mujahid Film’ untuk disematkan kepada Usmar Ismail tidak mendapat eksplorasi yang luas. Buku ini sendiri terdiri dari tiga bagian utama:

1) Pengenalan terhadap posisi Usmar dalam sejarah sinema Indonesia (di mana bab tentang ‘mujahid film’ itu berada)

2) Ulasan terhadap beberapa karya Usmar Ismail

3) Warisan Usmar Ismail dalam bidang film, terutama sebagai bagian dari percakapan di luar Indonesia. Dari ketiga hal tersebut, sulit ditarik benang merah yang cukup untuk membangun argumen mengapa Usmar Ismail bisa disebut sebagai mujahid atau mujahid film seperti judul buku ini. Jika dilihat dari pengantar buku ini, Ekky juga tidak berupaya menarik benang merah dari kumpulan tulisan ini, dan hanya menyatakan bahwa bukunya mencoba “menyajikan Usmar dari banyak sisi” (hal.8).

Dengan demikian, saya tidak akan secara khusus membahas isi buku yang jangkauannya luas mirip bunga rampai ini. Saya menyarankan agar Anda membaca sendiri buku ini dan menikmati beragam tulisan tentang Usmar Ismail. Saya akan menyoroti mengenai posisi Usmar Ismail dan hubungannya dengan Islam yang diajukan sebagai judul buku ini dan mengembangkannya dan membandingkannya dengan bacaan dan pengetahuan saya mengenai Usmar Ismail dan konteks sejarah saat itu. Saya akan membahasnya dari tiga hal: estetika, wacana dan gerakan.

Estetika dan Spiritualitas

Film Harimau Tjampa (1955) yang disutradarai oleh D. Djajakusuma, naskahnya ditulis oleh Usmar Ismail, dan sekiranya Usmar lah yang akan menyutradarainya seandainya ia tidak harus berangkat ke Amerika untuk kuliah film di UCLA. Film itu selain termasuk film pertama sesudah Kemerdekaan Indonesia yang mengambil setting dan cerita dari daerah selain memiliki muatan ke-Islaman yang cukup kental. Akademisi asal Australia David Hanan dalam Cultural Specificity in Indonesian Cinema (New York, 2017), menyebut film ini merupakan film dengan muatan kedaerahan yang kental.

Dalam buku Mujahid Film ini, Ekky menyebut Harimau Tjampa sebagai “kelindan antara pencak silat dan Islam”. Film tersebut menggambarkan setting padepokan silat yang disebut Ekky sebagai “terasa sangat Islami dan menjunjung akhlak dan nilai ke-Islaman” (hal.45). Ekky dan David Hanan sama-sama sepakat bahwa film ini mengedepankan nilai-nilai ke-Islaman di dalamnya karena keberhasilan tokoh utamanya tidak terletak pada penguasaan jurus dan pembalasan dendam, melainkan pada keberhasilan menjalankan ajaran Islam.

Film ini sendiri mengundang kontroversi karena adanya adegan telanjang di dalamnya, dan menurut Ekky, hal itu mencemari pesan yang ingin disampaikan. Apakah jika Usmar yang menyutradarai adegan telanjang itu tetap ada? Pertanyaan hipotesis ini sulit dijawab. Namun dari sini tampak sulit untuk melihat muatan Islam dalam film ini terpisah dari elemen lain yang membentuk Harimau Tjampa secara lengkap. Artinya: menjadikan film ini sebagai argumen untuk menilai kualitas keislaman Usmar Ismail berarti mengabaikan kompleksitas pertimbangan kreatif yang terjadi dalam pembuatan film, termasuk penggunaan elemen yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam tadi. Ini menggambarkan kompleksitas situasi untuk bisa memberi label “mujahid” begitu saja kepada Usmar Ismail. Maka sulit mengukur spiritualitas Usmar semata pada gambaran ke-Islaman saja di Harimau Tjampa, tanpa memperhatikan latar kedaerahan Minang –yang menurut David Hanan menyumbang elemen lebih besar pada film ini– dan daya tarik sensual bintang film Nurnaningsih yang turut menyumbang percakapan publik tentang (dan mungkin juga penjualan tiket) film ini.

Dalam Tauhid (1964), pengaruh Usmar terasa lebih kecil karena film ini merupakan proyek Asrul Sani dan Misbach Yusa Biran, sekalipun Usmar ikut berhaji ketika mereka syuting film tersebut. Saat itu Asrul Sani menghadapi tuduhan bahwa dirinya bukan seorang Muslim yang taat pada agamanya, dan ia ingin membuktikannya dengan naik haji dengan sungguh-sungguh bukan hanya demi membuat film Tauhid (Lihat Ajip Rosidi, Ramadhan KH, Misbach Yusa Biran [eds.] dalam Asrul Sani 70 Tahun. Jakarta: 1997). Di saat yang sama, menteri agama saat itu, Saifuddin Zuhri menginginkan adanya film yang bernafaskan Islam yang kuat. Asrul yang pernah membuat film yang bernuansa Islam Titian Serambut Dibelah Tudjuh (1959), mendatangi Presiden Sukarno untuk menjual ide film tersebut. Dengan mengambil model buku Road to Mecca yang berisi perjalanan spiritual penulis Yahudi Leopold Weiss yang masuk Islam dan berganti nama menjadi Mohamad Asad, Sukarno berhasil diyakinkan oleh Asrul. Maka dua kementrian: kementrian agama dan kementrian penerangan saat itu berpatungan mendanai film itu, salah satunya dengan alasan untuk menjelaskan mengenai rukun Islam kelima itu kepada masyarakat Indonesia. Lesbumi dipakai oleh Asrul Sani sebagai lembaga yang memproduksi, dengan Perfini dan Persari sebagai perusahaan yang memproduseri. Dalam buku biografi Djamaludin Malik, disebutkan Persari lah yang membiayai film itu termasuk perjalanan ke Saudi Arabia. Namun almarhum Misbach Yusa Biran dalam kesempatan berbincang dengan saya saat peluncuran buku Bikin Film di Jawa di Taman Ismail Marzuki menyebut bahwa keterlibatan Kementerian Penerangan saat itu sangat penting karena menegaskan posisi mereka secara politik yang mendukung Lesbumi.

Baca juga:  Nguwongke, Menggali Rasa yang Sehat lewat Seni

Banyak kkai dari NU menjadi penasehat dalam film tersebut seperti KH Saifuddin Zuhri, KH Idham Chalid dan KH Bahrum Rangkuti. Usmar sendiri dalam produksi itu dikredit sebagai penasehat/pengawas produksi dari Lesbumi. Jika sumber produksi dalam film ini hanya berasal dari sini saja, sulit untuk menentukan sejauh apa peran Usmar dalam menentukan cerita. Sependek yang saya tahu Tauhid (Panggilan Tanah Sutji), lebih banyak dikenal sebagai film yang dibuat oleh Asrul Sani bersama dengan ketua Lesbumi Jakarta, Misbach Yusa Biran yang juga membuat film dengan judul Panggilan Nabi Ibrahim (yang tidak pernah dirilis). Menilik lebih jauh, cerita dalam film ini –tentang seorang penulis yang menjadi saksi penemuan kembali Islam oleh seorang dokter yang skeptis terhadap agama– punya kesamaan posisi dengan apologia yang ditulis oleh Asrul Sani (Terbit pertamakali di Majalah Intisari No.1 tahun 1963, dan diterbitkan lagi di buku 70 Tahun Asrul Sani)

Buku saku ini tidak mengeksplorasi lagi kaitan antara estetika film di mana Usmar terlibat dengan Islam. Saya sendiri belum menyelidiki lebih jauh lagi refleksi spiritualitas dan nilai-nilai Islam di dalam film-filmnya yang di permukaan tidak menggunakan judul berbau Islami atau memuat adegan-adegan yang bernapas Islam. Perlu ada penelitian lebih jauh guna mendapatkan gambaran lebih baik dalam hal ini.

Wacana

Hal kedua dalam soal Usmar dan Islam adalah tulisan-tulisannya tentang Islam yang dimuat dalam buku Usmar Ismail Mengupas Film. Ada dua artikel dalam buku tersebut, yaitu “Film sebagai Media Dakwah” yang disampaikan di depan Konbes/TC seniman/budayawan PII Yogyakarta (lalu diterbitkan di Majalah Pembina 8 September 1965), dan “Siapa Yang Najis, Film atau Pembuatnya” yang diterbitkan di Majalah Aneka 10 Mei 1953. Saya akan membahas satu demi satu tulisan tersebut.

Dalam tulisan pertama, Ekky menyitir pendapat Usmar agar film sebagai media dakwah harus memusatkan perhatian untuk “mencari dan menyelidiki secara sadar rahasia selera penonton umumnya dan bagaimana cara untuk memberi kepuasan kepada selera itu” (hal. 21). Ekky mengambil kutipan ini dengan menekankan film sebagai alat komunikasi, dan dakwah dimaknakan sebagai cara efektif dalam berkomunikasi. Lebih lanjut dalam tulisan itu (yang tidak disitir Ekky), Usmar mengajukan dua penolakan: terhadap komersialisme dan “seni untuk seni” serta mengedepankan pentingnya niatan dakwah dalam berkarya. Penolakan pertama ini merupakan bagian dari kredo Usmar yang menekankan pada pentingnya posisi independen dari tekanan produser yang tidak satu visi dengannya (yang ia anggap mengejar untung saja). Ini menjadi dasar juga bagi penolakan Usmar untuk menyebut film sebelum Darah dan Doa, yaitu Harta Karun dan Tjitra sebagai film pertamanya, dengan alasan idealisme ini (Lihat tulisan Usmar Ismail, “Film Pertama yang Pertama”, di Usmar Ismail Mengupas Film. Jakarta: Sinar Harapan, hal. 164-171.)

Sedangkan penolakan kedua jelas dibuat Usmar dalam konteks polemik antara “humanisme universal” dengan “realisme sosialis” yang ramai di dunia sastra dan kebudayaan di dekade 1960-an, dan juga merambah dunia film. Penolakan “seni untuk seni” ini merupakan bagian dari serangan yang dipakai oleh seniman kiri dan seniman beraliran realisme sosialis terhadap para pengusung Manifes Kebudayaan. Usmar seakan ingin memberi alternatif terhadap dua kubu itu dengan mengusung Islam –kubu Agama di dalam Nasakom (Nasionalis Agama Komunis)– dengan mengajukan “niatan dakwah” sebagai landasan motivasi berkarya. Dengan demikian, sebagaimana Asrul Sani dalam makalahnya di Musyawarah Pembangunan Moral dan Seni Islam (1963), Usmar melihat adanya peluang mengisi semangat berkesenian dengan Islam, terutama agar Islam mampu meraih posisi publik yang luas.

Sejalan dengan itu, Usmar mengembangkan argumennya, dengan menyatakan adanya kesejajaran antara Islam dan ideologi negara, Pancasila:

Bagi sineas-sineas Muslim Indonesia, yang seharusnya diutamakan adalah juga patriot bangsa, adalah menjadi kewajiban untuk menjadikan film media perjuangan dan media dakwah Islamiah. Ditilik dari sudut ideologi, pekerjaan itu bukanlah merupakan suatu problem yang sukar, justru karena filsafat negara dan bangsa Indonesia sudah dicakup oleh ajaran-ajaran Islam.

Demikian Usmar Ismail dalam Usmar Ismail Mengupas Film (Jakarta: Sinar Harapan, 1983., hal.100). Masih di buku yang sama, Usmar menyatakan lebih lanjut: “tiap pengungkapan ayat Allah serta kata perbuatan Rasulullah SAW, secara sinematografis dengan sendirinya juga akan turut membina jiwa Pancasila yang berpucukkan takwa kepada Allah SWT”. Sekalipun bukan yang pertama dan bukan satu-satunya (terutama jika dibandingkan dengan Asrul Sani yang menyajikan makalah yang lebih lengkap) Usmar ikut serta dalam pergulatan wacana dan ideologi 1960-an untuk menempatkan Islam dalam kehidupan budaya dan kenegaraan Indonesia.

Tulisan kedua Usmar pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk merespon apa yang disebut sebagai “krisis akhlak” yang terjadi pada dekade 1950-an. Akademisi dan sejarawan film almarhum Tanete Pong Masak menyebut dalam bukunya bahwa tulisan Usmar itu sedikit banyaknya merupakan bagian dari rasa frustrasi akibat lambatnya penerimaan sinema oleh kaum Muslim di Indonesia (Tanete Pong Masak. Sinema Pada Masa Sukarno. Jakarta: Fakultas Film dan Televisi IKJ, 2016, hal. 11). Film merupakan media yang asing, dan bioskop bukan tempat yang akrab didatangi oleh kaum muslim saat itu.

Baca juga:  Maktabah Sulaymaniyyah: Perpustakaan Raja Penjaga Manuskrip

Tulisan ini sedikit banyak juga merupakan respon terhadap konflik ideologi masa itu. Saat itu, seperti disebutkan Tanete, berbagai penerbitan yang dekat dengan ideologi “kiri” seperti Kentjana, Aneka dan Sunday Courier banyak menyudutkan film-film Hollywood yang dituduh menyebarkan gambar-gambar tidak senonoh yang turut menyumbang pada terjadinya “krisis akhlak” di Indonesia. Sedangkan di sisi lain, penerbitan seperti Star News, Film News, Dunia Film dan Film Varia mempublikasikan Hollywood sebagai sebuah mitos (Tanete Pong Masak) dalam konteks pembangunan “Djakartawood” yang meniru pusat industri Hollywood. Tanete sendiri melihat Usmar, bersama para intelektual Muslim lain seperti Buya Hamka dan Asrul Sani, sebagai pihak yang turut berjasa dalam mengadaptasi sinema sebagai alat penyebaran Islam di Indonesia.

Dalam konteks ini, penyajian wacana sinema yang bisa diterima oleh umat Islam memang salah satu kepeloporan Usmar Ismail. Disebutkan oleh Usmar dalam tulisannya itu bahwa “belum ada orang yang punya nafsu untuk mengadakan penyelidikan bagaimana pada hakikatnya sikap Islam terhadap suatu phenomenon (sic!) yang disebut film” (Usmar Ismail, hal. 102). Dalam upaya membela posisi film, Usmar tidak serta merta turut menyerang Hollywood atau menganggapnya sebagai penyumbang bagi krisis akhlak tersebut. Ia cenderung melihat bahwa ada yang lebih berbahaya daripada film Hollywood. Katanya:

Film-film yang memalsukan kejadian yang sebenarnya dan mempertontonkan kejadian-kejadian palsu sebagai satu kebenaran bagi saya lebih jahat dan lebih merusakkan daripada film-film yang memperlihatkan Esther Williams dalam baju mandi. (Usmar: hal. 104)

Selanjutnya ia menyerang film-film Indonesia, Malaya dan Filipina yang menurutnya memutarbalikkan dan memalsukan keadaan yang tak masuk akal. Bahkan ia menyatakan bahwa hal tersebut bisa dijadikan landasan penyensoran:

Sensur tidak boleh menjadi momok, kecuali bagi pengusaha-pengusaha film yang tidak mempunyai tanggung jawab terhadap masyarakat dan meracuni selera dan adab penonton dengan film-film yang semata-mata ingin menyenangkan hati dengan berspekulasi pada instink penonton yang serendah-rendahnya dengan film-film yang dikatakan terutama ditujukan kepada abang-abang beca, babu-babu dan jongos-jongos itu.

Pernyataan Usmar yang penuh bias kelas dan permusuhan terhadap film “komersial” ini bisa dipahami dalam konteks masa itu. Ia sedang membela posisi film untuk menjadi bagian dari diskusi kebudayaan kaum terpelajar yang masih tergolong sedikit jumlahnya di Indonesia. Ia membela posisi film tertentu, film yang dianggapnya mampu mengangkat kompleksitas persoalan yang mencerminkan realitas dan menyajikan persoalan sosial-politik yang dianggapnya penting. Di saat yang sama ia menyerang film-film Indonesia (dan film Asia lain) yang dianggapnya buruk dibuat hanya untuk cari untung dan berpeluang merusak cara berpikir masyarakat.

Maka dalam membaca tulisan tentang “Najis” tadi, sebaiknya dilihat sebagai upaya Usmar agar kaum Muslimin di Indonesia melihat film sebagai bagian dari budaya tinggi (“suatu saat nanti juga orang akan mengagumi ciptaan-ciptaan De Sica, Eisenstein dan lain-lainnya”) ketimbang mengerahkan energi untuk membenci film Hollywood. Usmar – sebagaimana banyak filmmaker sejamannya – beranggapan adanya hirarki dalam karya, dan ia ingin agar kalangan terpelajar Islam juga memahami hal itu dan memihak pada film berkualitas sekaligus mendorong keluar film-film tak berkualitas dari peredaran.

Dari segi wacana, tulisan-tulisan Usmar tentang film dan Islam ini memang tergolong istimewa karena diutarakan di dekade 1950-an dan 1960-an, saat film relatif belum memasuki percakapan intelektual di Indonesia. Ia berani membela posisi film di hadapan umat Islam agar film disejajarkan sebagai karya seni dan budaya. Selain itu ia juga membela posisi seni (film) Islam (yang relatif sedikit saat itu) di hadapan benturan ideologi agar tetap memiliki posisi di panggung utama. Hal ini tidak dieksplorasi banyak dalam buku Ekky Imanjaya – dan masih bisa dieksplorasi lebih lanjut terutama apabila dikaitkan dengan sepak terjang Usmar di Lesbumi.

Gerakan

Secara gerakan, Usmar memang turut mendirikan Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia atau Lesbumi. Namun yang menarik pada pendirian lembaga ini adalah latar belakangnya. Lesbumi didirikan saat adanya perdebatan keras (yang dianggap sebagai ‘serangan’) terhadap seniman-seniman saat itu, seiring dengan perdebatan ideologis yang sangat keras saat itu antara kelompok seniman kiri yang tergabung dalam LEKRA dan SARBUFIS dengan seniman-seniman penandatangan Manifes Kebudayaan. Usmar bukan termasuk penandatangan Manifes, tetapi ia termasuk yang mendapat serangan, misalnya dari Sitor Situmorang (penulis naskah awal Darah dan Doa sebelum digantikan oleh Asrul Sani [Saya mendapat informasi ini saat mewawancarai Asrul Sani pada tahun 1999 untuk Radio Delta FM Jakarta]) yang meragukan sifat revolusionernya (Debat ini dicatat dalam Taufik Ismail dan DS Muljanto. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif LEKRA, PKI dkk. Bandung: Mizan, 1995).

“Serangan-serangan” itu membuat seorang pengusaha, politisi dan tokoh penting film Indonesia saat itu, Djamaluddin Malik, mengajak Usmar Ismail dan Asrul Sani dan banyak seniman lainnya bersama-sama mendirikan Lesbumi (Kesaksian Solahudin Wahid yang dicatat dalam pengantar biografi Djamaludin Malik: Ramadhan KH dan Nina Pane. Pengusaha, Politikus dan Pelopor Industri Film, Djamaludin Malik, Melekat di Hati Banyak Orang. Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2006. hal. xvii.).

Djamaluddin Malik sendiri sudah sejak tahun 1933 merupakan seorang aktivis Nahdlatul Ulama sebelum organisasi itu menjadi partai politik. Pada usia 16 tahun, ia dikabarkan telah menjadi pengurus cabang GP Ansor. Maka wajar apabila Djamaludin memilih Nahdlatul Ulama untuk menjadi organisasi yang menjadi pelindungnya. Selain itu, posisi NU yang kuat di samping Presiden Sukarno dan basis pendukungnya yang luas membuat partai ini berani melawan sikap agresif partai-partai lain yang bertentangan pandangan ideologi dan politik saat itu.

Namun Djamaluddin memerlukan Usmar Ismail yang dihormati di dunia film saat itu karena film-film dan gagasan-gagasannya. Mereka berdua bukan dua orang yang akrab, bahkan Misbach Yusa Biran mencatat adanya semacam ‘api dalam sekam’ antar mereka karena perbedaan visi yang jauh dalam pembuatan film (Ramadhan KH dan Nina Pane, Djamaludin Malik, hal. 116). Jika Usmar merasa pembuatan film adalah perwujudan kebebasan berekspresi, bagian dari idealisme dan upaya menampilkan kenyataan, maka Djamaluddin Malik dikenal sebagai seorang pengusaha yang kemudian “terjebak” ke dunia film dan menyesuaikan film-filmnya dengan permintaan pasar. Menurut Misbach Yusa Biran, mereka berdua baru dekat “ketika keduanya satu kubu menghadapi serangan komunis” (Ramadhan KH dan Nina Pane). Menurut SM Ardan, karena terdorong situasi saat itu, maka Usmar yang tadinya PSI masuk NU, berlindung di NU yang paling kuat menghadang PKI (Ramadhan KH dan Nina Pane). Maka didirikanlah Lesbumi di Bandung pada tanggal 28 Maret 1962.

Baca juga:  Refleksi Harlah Lesbumi: Bakiak Kiai

Seperti digambarkan oleh Ekky, dalam kesempatan Musyawarah Besar Lesbumi pertama tahun 1962, Usmar menekankan pentingnya membangun kesepahaman antara dunia seni dengan agama. Katanya, tugas pertama yang harus dijalankan adalah: “mengikis habis syak-wasangka dan prasangka keliru antara kaum alim ulama dan kaum seniman Muslimin” (hal. 61). Dari musyawarah ini, kepengurusan Lesbumi terbentuk dengan Ketua Umum Djamaludin Malik. Usmar menjabat Ketua I, dan Asrul Sani menjadi Ketua II. Saat Djamaludin Malik terpilih menjadi Ketua II Pengurus Besar Partai NU, ia meninggalkan Lesbumi dan posisinya digantikan oleh Usmar Ismail.

Lesbumi sendiri kemudian banyak berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan seperti terlibat dalam Musyawarah Pembangunan Moral dan Seni Islam (1963), persiapan Konferensi Islam Asia Afrika (1964) dan lain-lain seperti misalnya menyediakan hiburan bagi tentara. Namun sependek pengetahuan saya, Usmar tidak banyak terlibat di dalam kegiatan-kegiatan tersebut, terutama jika dibandingkan dengan Asrul Sani maupun Misbach Yusa Biran.

Belakangan, Usmar malahan terlibat polemik dan perdebatan dengan Nahdlatul Ulama ketika ia mendirikan Miraca Sky Club, klab malam pertama di Indonesia. Ketika Usmar mendirikan klub ini, ia meminta izin kepada Gubernur Jakarta Ali Sadikin yang juga ia kenal baik. Bang Ali sempat kaget dan tak percaya bahwa Usmar akan mendirikan klub semacam itu mengingat posisinya sebagai seorang anggota NU dan pendiri Lesbumi. Usmar bergeming dan tetap pada pendiriannya untuk mendirikan klub itu dan Ali Sadikin yang akrab dengan kontroversi menyetujuinya.

Miraca Sky Club ini bagi banyak pengamat menempati posisi penting dalam perkembangan Jakarta sebagai ibu kota Orde Baru saat itu. Ini digambarkan dalam film Usmar, Big Village (Dusun Besar) yang memperlihatkan Jakarta dalam geliat kemajuan fisik dan gaya hidup. Big Village memuat gambaran mengenai masuknya modal asing ke Indonesia (yang dimulai pada tahun 1967 melalui UU Penanaman Modal Asing), kebut-kebutan di jalan raya, kehidupan malam dan (ini penting bagi konsep keluarga Orde Baru) keluarga broken home. Miraca berada di salah satu pusat denyut kehidupan baru ini, termasuk konon menyediakan sajian tari telanjang. Klub ini disebutkan di dalam film dan menjadi pusat daya tarik kehidupan baru Indonesia, serta dirayakan oleh Big Village –dan dirayakan juga di kehidupan nyata oleh gubernur Jakarta saat itu Ali Sadikin yang melihatnya sebagai daya tarik utama bagi turisme dan kehidupan malam yang dibutuhkan oleh banyaknya turis dan pengusaha asing ke Indonesia. Berkat Miraca Sky Club ini, Usmar Ismail begitu dihargainya karena berhasil membuka kehidupan malam di Jakarta dan ia mendapat penghargaan sebagai warga teladan DKI Jakarta (Majalah Film No.6, Januari 1991).

Keberadaan Miraca dan posisi Usmar di dalamnya mendapat kritik keras, termasuk dari para kiai NU. Lagi-lagi Usmar bergeming dan menyatakan bahwa ia lebih baik mundur dari partai daripada harus menutup Miraca. Menurutnya, ia membutuhkan Miraca untuk mencari uang demi membuat film.

Akhirnya Usmar tidak pernah menutup Miraca karena tekanan yang dihadapinya. Usmar menutup Miraca karena klub itu tidak menguntungkan lagi, dan perusahaan yang menaunginya bangkrut dan harus dilikuidasi.

Penutup

Dari apa yang saya gambarkan di atas, terlalu sulit untuk membubuhi label ‘mujahid’ begitu saja pada Usmar Ismail, apabila dinilai dari ketiga hal di atas. Yang kita tahu, Usmar sangat membela film, meskipun hanya film-film yang dianggapnya berkualitas dan mampu menjadi karya seni, dan cenderung ingin menyingkirkan film yang dianggapnya dibuat asal jadi demi kepentingan cari untung saja.

Usmar memang menghadapi persoalan pada zamannya, dan mungkin cara pandang ini perlu ditinjau ulang karena industri film tidak mungkin tumbuh hanya bersandar pada satu jenis film saja. Maka jihad Usmar dalam perfilman tidak bisa diartikan secara harfiah untuk membela film “berkualitas” saja sembari menyingkirkan film yang dianggap “hanya mencari untung”. Motivasi-motivasi semacam itu kini sudah nyaris tak bisa dipisahkan.

Dalam kriteria keislaman, estetika, wacana yang dilontarkan dan gerakan yang dilakukan oleh Usmar juga harus dibaca di dalam konteks masanya alih-alih memberinya label tanpa kriteria yang jelas. Usmar sudah membuka kemungkinan Islam menjadi salah satu inspirasi kepahlawanan dalam film, dan hal ini perlu ditindaklanjuti dengan penelitian pada agama/spiritualitas dalam film-film beliau. Demikian pula dengan keterlibatan Usmar di Lesbumi dan Partai NU yang belum banyak ditelisik, sejauh mana misalnya perannya dalam diskusi terkait penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika dan sebagainya.

Satu hal yang tampak sejauh ini adalah kepeloporan Usmar juga terjadi dalam menghubungkan Islam dengan sinema. Tulisannya adalah termasuk yang pertama yang mendiskusikan Islam dan film dalam nada yang positif bahwa keduanya bukan hanya bisa berjalan beriring, tetapi juga saling menginspirasi, jauh sebelum istilah “film Islami” atau “film Islam” menjadi salah satu yang paling sexy dalam kajian film di Indonesia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top