“Bagaimana mungkin kita disuruh percaya pada Satu Tuhan saja, sedangkan mempercayai banyak tuhan dan dewa-dewi saja, kehidupan kita sudah sulit seperti ini?” Demikian dinyatakan orang-orang musyrik Qurays (Arab) kepada Nabi Muhammad yang dianggap menyebarkan ajaran baru yang asing dalam pandangan hidup mereka.
Ajaran yang dibawa Muhammad tidak sesuai dengan logika mereka, sehingga menganggap dengan mempercayai Satu Tuhan maka kehidupan akan semakin kacau, galau, dan makin diliputi banyak urusan. Selama itu, kehidupan mereka memang disemarakkan oleh berbagai intrik politik, siasat dan tipu muslihat, hingga permusuhan antar suku dan kabilah.
Alquran mendokumentasikan sikap dan karakteristik mereka (Shad: 5): “Apakah Muhammad hendak menjadikan tuhan-tuhan kami dengan Tuhan Yang Satu. Sungguh ini suatu ajaran baru yang tak masuk akal.”
Karena itu, sesembahan yang banyak dianggap jalan yang logis dan masuk akal bagi mereka. Bersandar pada pendapat dukun, orang pintar dan orang-orang yang dianggap sakti, dinilai sebagai kebenaran yang mewakili pemikiran otoritatif yang sangat masuk akal. Agama tauhid dan monotheisme justru dianggap kekeliruan yang bersumber dari orang-orang bodoh (logical fallacy).
Saat ini, kita “merasa” punya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kita mengakui seakan-akan sepakat dengan logika Satu Tuhan itu, akan tetapi dalam praksis dan amal nyata di lapangan, benarkah kita sanggup melepaskan diri dari segala pengaruh mistik yang diajarkan nenek moyang, sepert kepercayaan pada Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul, dedemit, gendruwo, thuyul, dukun-dukun politik dan sebagainya? Bukankah secara esensial, dalam soal paradigma, stete of mind maupun software manusia Indonesia, tak beda jauh dengan pola pemikiran kaum jahiliyah juga?
Dampak dari lemahnya tauhid ini berimplikasi luas kepada pola tingkah laku masyarakat yang gemar berselisih paham, sikut kiri-kanan, serta sibuk di wilayah khilafiyah dan furu’iyah melulu. Banyaknya logika mazhab yang berseliweran, dan menimbulkan saling gontok-gontokan, disebabkan manusia tak mau bersikap rendah hati kepada sesamanya, serta tak mau rendah diri di hadapan Tuhannya. Di dalam Islam ada logika ilahiyah dan logika nubuwah (keteladanan) yang harus menjadi cermin dan pijakan hidup. Upaya untuk menalar secara metodologis dengan argumen-argumen yang baik dan masuk akal, sangat diperlukan bangsa ini. Banyak bukti sejarah memperlihatkan bahwa peradaban dan pemikiran Islam bisa maju dan pesat berkat sumbangsih para ilmuwan dan filosof, seperti Ibnu Sina, Ibnu Taimiyah, Al-Ghazali, Ibnu Haitami, Al-Kindi dan lain-lain.
Di samping itu, masih banyak ayat-ayat tekstual dalam Alquran yang mengajarkan manusia agar berpijak pada nalar dan logika yang baik, baik dalam soal kemaslahatan maupun berketuhanan. Jika kita mau merujuk dan mendalami logika Alquran, nampaknya mengandung prinsip yang teguh dan tegas dalam soal berketuhanan, sebagaimana prinsip dasar dalam penegasan Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa). Inilah yang seringkali disebut sebagai “prinsip akidah” yang memiliki perbedaan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan (humanisme) yang cenderung lentur dalam menyikapi cara pandang ilahiyah.
Memang dalam Alquran dinyatakan tidak adanya paksaan dalam beragama (la ikraha fiddin), namun logika Alquran akan sulit dipahami mereka yang kurang teguh bersandar pada logika monotheisme atau mengesakan Tuhan. Dengan kata lain, dipersilakan bagi orang Indonesia untuk menganut politheisme, deisme atau animisme, namun mereka yang berpijak pada sandaran keimanan itu akan kesulitan untuk konek dengan logika Alquran. Itulah yang dimaksud bahwa anutan yang paling diridhoi Allah adalah Islam (Ali Imran: 19).
Untuk itu, dengan penuh kerendahan hati, perlu kiranya dinyatakan (termasuk kepada sahabat kami dari NU), bahwa sikap toleransi sepenuhnya, yang ditafsirkan sebagai ”penerimaan” ayat Alquran atau ajaran Islam, sehingga perlu menjunjung-tinggi perbedaan agama dan keyakinan apapun yang ada di negeri ini, nampaknya baru memahami sepenggalan saja dari ayat-ayat Alquran.
Jadi, kalau kita mau komunikasikan dengan memakai bahasa Indonesia yang rada-rada baik dan mendingan, kira-kira begini: Oke, gak apa-apa kalian memeluk agama dan keyakinan selain Islam, bertuhan pun boleh-boleh saja banyak, itu urusan kalian, akan tetapi segala pilihan keyakinan tentu akan mengandung dampak dan konsekuensi logis yang akan ditanggung oleh diri kalian sendiri. Karena bagaimanapun, sudah terang bagi kalian, mana yang baik dan benar, dan mana yang terbaik dan terbenar.
Jika meminjam literatur dari gaya bahasa yang unik pada novel Perasaan Orang Banten, kira-kira bisa dijabarkan dengan logika sepert ini: Sah-sah saja bagi orang Banten dan Indonesia, mengaku-ngaku telah berislam dengan baik, tapi jika dalam praksisnya tidak mau konsisten berpegang pada Satu Tuhan. Akan tetapi, sibuk cari selamat dan pertolongan pada petuah dukun, arwah leluhur di kuburan, dedemit, bhuto ijo dan bebongkong, silakan saja, monggo sah-sah saja, akan tetapi kalian harus tanggung sendiri akibatnya. Begitulah ketegasan logika Alquran, perihal agama dan keyakinan beragama, ketimbang segala keyakinan dan aliran kepercayaan lainnya.
Dalam logika humanisme yang tak sama persis dengan logika Alquran, seakan-akan manusia sah-sah saja menganut agama dan kepercayaan apapun, karena dianggap sama benarnya, sama baiknya, dan akan mencapai keselamatan yang sama. Sebagian mereka berdalih pada sandaran logika, bagaimana kalau kita lahir dari keluarga non-muslim, sementara kita semua tak punya pilihan lain selain apa-apa yang telah ditentukan dari sononya? Lalu, sampailah pada gugatan yang menjauhkan kita dari rasa syukur: di mana letak keadilan Tuhan?
Baiklah, di sini saya akan ambilkan contoh dari salah satu konsep dalam ajaran Islam. Dalam agama Islam dikenal istilah “taqwa” yang berasal dari bahasa Arab, dan dijabarkan oleh para founding father, baik dalam butir-butir UUD 1945, hingga dasa darma Pramuka: “Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Secara lateral, kata “takwa” mengandung arti pengendalian diri, atau menjaga diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama (Tuhan), seperti menduakan Tuhan (syirik), membunuh, berzina, mencuri, bersikap kasar pada orang tua, dan selebihnya adalah dosa-dosa yang masuk dalam kategori ringan. Di dalam Alquran, memang ditegaskan prinsip Bertuhan Satu (meng-Esakan Tuhan) sebagai prinsip utama yang harus dipegang-teguh. Dengan demikian, segala hal yang bersifat klenik, perdukunan dengan mengandalkan banyak pemujaan dan sesembahan adalah sesuatu yang dilarang. Adapun sesuatu yang dilarang oleh agama, mesti akan berdampak negatif di kemudian hari.
Kemudian, dalam menyikapi pernikahan atau perkawinan, di mana logika Alquran nampak berbeda dengan logika humanisme yang banyak dianut manusia hiper modern saat ini. Misalnya, patokan finansial (gaji) yang seolah-olah harus mencapai sekian digit, barulah si perempuan membolehkan dirinya dipinang dan dipersunting. Ini tren dan gejala apa? Bukankah agama Islam mensyaratkan pernikahan dengan sesuatu yang simpel dan sederhana? Misalnya, bapak proklamator kita, Mohamad Hatta yang dinikahkan oleh Soekarno, yang hanya memberikan maskawin buku “Alam Pikiran Yunani” kepada calon istrinya. Buku itu kemudian dipakai oleh seluruh mahasiswa filsafat di Indonesia, yang ingin mempelajari seluk-beluk filsafat dasar dari para pemikir Yunani, seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan lain-lain.
Dalam ajaran Islam, ditekankan bagi mereka yang belum sanggup menikah, agar menjaga kesuciannya, atau berpuasalah, sampai Tuhan memberikan karunia-Nya. Tetapi, dalam logika masyarakat kontemporer saat ini, syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan begitu berat dan jauh dari harapan orang kebanyakan. Akhirnya, ribuan anak-anak generasi milenial memilih menunda pernikahan, sambil berpacaran, dan syahwat terus-menerus dilampiaskan.
Menjaga kesucian menjelang pernikahan sangat ditekankan dalam logika Alquran (wal yasta’fif). Memang dibutuhkan jeda waktu yang cukup hingga seseorang menemukan jodoh yang baik. Jadi, konsep “konsensual” yang mendasarkan diri pada hubungan suka sama suka (awareness) yang ditoleransi oleh masyarakat modern, jelas berseberangan dengan logika Alquran.
Tentu saja, orang yang beriman dengan baik takkan mengenyampingkan logika kitab suci, demi untuk melakukan pembenaran terhadap logika apapun, termasuk yang menyatakan diri “humanisme universal”. Penulis novel Pikiran Orang Indonesia pernah memberi kesaksian, bahwa maraknya mazhab dan kubu-kubuan dalam kesusastraan Indonesia, justru disebabkan banyak sastrawan (khususnya di era Orde Baru) yang tidak konsisten berpijak pada fatwa-fatwa para bapak bangsa kita.
Berapa ribu karya sastra yang notabene adalah pemangku budaya dan peradaban bangsa, yang dengan sengaja membiarkan dan memaklumi (malah menganggap estetis) segala sesuatu yang menjurus pada zina, perselingkuhan, bahkan hubungan sesama jenis. Lebih dari itu, para sastrawan kita yang menginduk pada ideologi Barat (humanisme), justru menganggap sah-sah saja menyemarakkan sihir, mantra, klenik, perdukunan, dan segala tetek-bengek aktivitas syirik yang bertolak-belakang dengan prinsip ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mereka tak ubahnya para penyair di kalangan suku dan kabilah Arab Jahiliyah, yang selalu main gontok-gontokan dan saling caci-maki antara satu golongan dangan golongan lainnya. Mereka tak ubahnya manusia barbar dan primitif, yang berpegang pada takhayul dan khurafat (baca: Takhayul dan Dampak Kolonialisme, di www.kompas.id).
Pada prinsipnya, logika tauhid jelas berbeda dengan frame logika ideologi apapun, termasuk yang menyatakan dirinya mutakhir dan kontemporer. Karena, tidak sedikit yang dianggap enteng dan sah-sah saja, namun dinilai serius dalam pandangan agama (logika Tuhan). Dengan demikian, kita harus senantaiasa muhasabah dan introspeksi diri, sebab jika pijakan hidup kita selalu berseberangan dengan logika Tuhan Yang Maha Esa, jelas akan berdampak buruk bagi perjalanan peradaban bangsa dan negara yang kita cintai ini. (*)