“Ya Allah, berilah keselamatan dan keberkahan kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah beri keselamatan dan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarganya.”
Doa seperti ini selalu dipanjatkan oleh kaum muslimin setiap hari, bahkan sebanyak sembilan kali dalam tahiyat awal dan akhir pada saat melaksanakan salat lima waktu. Kenapa Ibrahim seakan menjadi ujung-tombak para Nabi dan menjadi suri tauladan terbaik? Secara filosofis, tak lepas dari sikap independen dan kemandirian Ibrahim dalam berjuang keras mencari Tuhannya, yang juga Tuhan bagi sekalian alam.
Ibrahim yang kemudian diangkat menjadi Nabi dan Rasul, memang memiliki jejak-langkah perjalanan hidup yang unik dan langka di antara para nabi lainnya. Bahkan, perjuangannya mendidik dan membesarkan kedua anak lelaki (Ismail dan Ishak) menjadi catatan sejarah yang tak pernah dialami oleh Nabi Muhammad sekalipun. Ya, nabi akhir zaman ini boleh dibilang hanya diberi kesempatan mendidik dan membesarkan anak perempuan satu-satunya (Fatimah) hingga kemudian dinikahkan dengan Sayidina Ali, putera dari pamannya, Abu Thalib.
Menjelang hari Idul Adha ini, selayaknya kita bercermin pada sikap demokratis Nabi Ibrahim beserta keluarganya, terutama ketika Ismail sebagai anak lelaki yang tumbuh dewasa, harus melaksanakan tugas yang diputuskan sang ayah. Meskipun dengan penuh kebijaksanaan sebagai orang tua, Ibrahim tidak memaksakan kehendak secara otoriter, tetapi justru menanyakan pendapat anaknya agar mempertimbangkannya terlebih dahulu.
Beberapa saat kemudian, Ismail pun sampai pada keputusan, “Kerjakan apa yang diperintahkan Allah kepada Ayah, Insya Allah Ayah mendapatkan aku sebagai anak yang sabar.” (As-Shaffat: 102)
Teladan pendidikan Ibrahim kepada anaknya, menumbuhkan watak dan karakteristik yang kuat, ikhlas, mandiri, bahkan memberikan momentum bagi kebebasan berpikir. Hal ini merupakan cermin kepribadiannya sebagai seorang pemimpin yang mewarisi leadership yang tangguh dan pantang menyerah. Seorang pemimpin keluarga yang tegas sekaligus penyayang kepada istri dan anak-anaknya. Warisan ide dan pemikiran inilah yang kemudian banyak mengilhami Rasulullah dan mengabadikannya dalam doa yang disukainya, “Ya Tuhan kami, anugerahkan bagi kami istri dan anak-anak yang menyenangkan hati dan enak dipandang mata. Dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang bertakwa.”
Pada prinsipnya, Ibrahim adalah sosok pencari kebenaran yang merdeka dan independen, serta terbebas dari pengaruh kultur nenek-moyang yang membelenggu. Ketika ia sampai pada keputusan untuk menolak agama leluhurnya, ia pun bereksplorasi meninggalkan kampung halaman untuk mencari bentuk-bentuk baru dari prinsip kebenaran dan religiusitas. Sempat pula ia merenung serta merasakan energi bulan, bintang dan matahari, namun semuanya itu bukanlah sesuatu yang fundamen untuk dijadikan pijakan keimanan.
Pengorbanan hidup dan teladannya dalam membangun peradaban umat, bukan saja melahirkan evolusi tetapi sekaligus revolusi mental sampai-sampai merasuk ke dalam benak pemikiran para budak (pembantu) pada zamannya. Misalnya Siti Hajar selaku budak yang kemudian dinikahinya, seorang gadis yang pada awalnya berkasta sudra dan berkelas rendah. Tetapi, karena kekuatan iman dan Tauhid yang diilhami dari karakteristik Ibrahim, Siti Hajar tumbuh menjadi sosok wanita yang tangguh, kuat menghadapi cobaan hidup. Berkat jodoh yang dipersatukan antara Ibrahim dan Siti Hajar inilah, mengalir darah keturunan manusia paling sukses, masyhur, bahkan paling mulia di seluruh jagat raya ini.
Siti Hajar merupakan sosok ibu teladan, pendidik yang sejati, punya perhatian serius terhadap masadepan pendidikan anaknya. Dia bukanlah tipikal istri yang banyak mengeluh, banyak menuntut ini-itu kepada sang suami. Juga bukan tipikal pencemburu dan pendengki, hingga tidak gampang terprovokasi oleh isu, gosip maupun rumor negatif. Siti Hajar adalah sosok ibu yang sabar, apa adanya serta ikhlas menerima keputusan Allah.
Bahkan ketika dilanda kesulitan ekonomi sekalipun, ditinggal oleh sang suami dalam mengemban misi risalah untuk pendidikan umat, wanita ini pantang menyerah karena rasa tanggungjawabnya yang besar. Berkat cinta kasih yang tulus kepada sang anak (bayi Ismail), dia rela bolak-balik naik-turun bukit Shafa dan Marwa, yang kemudian diabadikan dalam istilah Sa’i pada momen pelaksanaan ibadah haji dan umroh.
Dalam keadaan terhimpit persoalan ekonomi, kelaparan dan kehausan, istri dan perempuan perkasa ini justru bukan bersikap apatis dan su’udzon pada Allah. Tidak banyak menuntut suami yang meninggalkannya seorang diri, tetapi justru tekun berdoa, berikhtiar, istiqomah dan percaya pada pemberian dan kasih sayang Allah.
Teladan Siti Hajar sebagai ibu memang tak terlepas dari masa bertahun-tahun pendidikan dari sang suami yang setia mendampinginya. Kekuatan Tauhid pada figur Ibrahim begitu meresap dalam kalbu dan nurani istrinya. Sikap optimistis dalam memandang hidup, selalu ber-husnudzon pada Sang Khalik, keyakinan ilahiyah yang dipupuk oleh sang suami, telah berhasil menepis keangkuhan dan egosentris kewanitaan yang tak lepas dari pengaruh hawa nafsu.
Setelah tujuh kali mondar-mandir perjalanan Shafa dan Marwa, akhirnya dari hentakan kaki Ismail memancarlah mata air dengan kandungan mineral dan ion kalsium tertinggi dari seluruh sumber air di dunia ini. Siti Hajar kemudian mengatakan, “Zumi… zumi….” yang artinya kumpullah, berkumpullah, hingga kemudian air zamzam itu diminumkan kepada sang putera dengan penuh cinta-kasih.
Profesor Tariq Hussain, selaku insinyur jurusan Kimia pernah mengadakan penelitian khusus bersama stafnya, membawa sampel air zamzam ke laboratorium di Eropa. Walhasil, air zamzam ternyata mengandung zat fluoride tertinggi dan punya daya efektif membunuh kuman. Kualitas kalsium dan garam magnesium yang tinggi ketimbang air tawar biasa, membuat dinding-dinding sumur zamzam tak pernah ditumbuhi lumut maupun tumbuhan mikro-organisme lainnya.
Yang paling mengherankan lagi, setelah Tariq Hussain menyaksikan langsung ke dasar sumur, ternyata ukurannya hanya 5 x 4 meter saja. Secara logika murni, bagaimana mungkin sumur sekecil itu bisa mengeluarkan jutaan hingga miliaran liter air setiap tahunnya. Pada musim haji, ketika jamaah haji sebanyak dua juta orang datang setiap tahun, lalu pulang dengan membawa lima liter saja, berarti tidak kurang dari 10 juta liter air terkuras dari sumur tersebut. Dan ketika jamaah haji bermukim di Mekah selama 40 hari, serta menghabiskan satu liter air perorang setiap harinya, maka puluhan juta liter air harus dikeluarkan dari dasar sumur sekecil itu, yang tak pernah habis-habis hingga detik ini. Subhanallah… (*)