Sedang Membaca
Rekam Bisu Benteng Van Den Bosch
Avatar
Penulis Kolom

Penulis adalah Mahasiswi UNS Surakarta

Rekam Bisu Benteng Van Den Bosch

Benteng Van Den Bosch1

Indonesia dijajah oleh Belanda begitu lama, yaitu 3,5 abad. Belanda melakukan penjajahan dengan tujuan yang sama dengan bangsa Barat lain, seperti Portugis dan Spanyol, yaitu 3G (Gold, Glory, Gospel). Penjelajahan dan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat, dapat dikatakan berdasar 3G dan ditutupnya akses perdagangan rempah-rempah di Laut Tengah, hal tersebut dikarena Konstantinopel pada tahun 1453 jatuh ke tangan Turki Usmani.

Belanda selama penjajahannya berhasil menguasai wilayah Indonesia mencakup Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Ketika penjajahan usai, banyak jejak-jejak dan peninggalan Belanda yang tertinggal di Indonesia, salah satunya adalah Benteng Van Den Bosch atau juga kerap kali disebut Benteng Pendem yang memiliki luas 15 hektar, serta berada di Ngawi.

Benteng Van Den Bosch disebut sebagai Benteng Pendem, karena bangunannya yang sengaja dibuat lebih rendah dari tanah sekitar dengan dikelilingi oleh tanah tinggi, sehingga terlihat dari nampak terpendam. Bentuk bangunan ini dibangun dengan desain terbut bukan tanpa maksud, tujuannya ialah sebagai tanggul yang menghalau luapan air Bengawan Solo dan Sungai Madiun sekaligus menghalau lawan.

Nama Van Den Bosch diambil dari nama jenderal Belanda, yaitu Johannes Van Den Bosch yang merupakan orang dibalik pembangunan benteng tersebut, selain itu Van Den Bosch juga merupakan salah satu penyumbang pikiran sistem tanam paksa di Indonesia, alasan lain pembangunan benteng adalah untuk menyusun rencana-rencananya baik dalam menjajah ataupun perihal kolonial lainnya.

Baca juga:  Sayidah Fatimah Maksumah, Mengenal Pusat Spiritual Mazhab Syiah

Pada abad 19, Ngawi menjadi salah satu pusat perdagangan dan pelayaran di Jawa Timur, serta dijadikan pusat pertahanan Belanda di wilayah Madiun dan sekitarnya dalam Perang Diponegoro tahun 1825-1830. Ketika itu Belanda menguasai Ngawi, Pangeran Diponegoro tidak terima akan hal tersebut dan melakukan perlawanan. Disebutkan, bahwa salah satu pengikut Pangeran Diponegoro yang sekaligus menjadi orang pertama yang menyebarkan agama Islam di Ngawi, yakni KH. Muhammad Nursalim melakukan perlawanan terhadap Belanda. Beliau ini ampuh, konon kebal terhadap peluru dan arit, sehingga membuat Belanda ketar-ketir menghadapinya. Nah, untuk menyingkirkan tameng baja tersebut, Belanda melakukan siasat, Belanda mengubur hidup-hidup KH. Muhammad Nursalim di dekat Benteng Pendem.

Benteng Pendem memiliki dua buah sumur yang dikatakan sebagai tempat pembuangan jenazah tahanan dan para kerja rodi pada masa itu. Pada masa pemberantasan PKI pasca kejadian G30S PKI, sumur tersebut juga turut dijadikan sebagai pembuangan mayat orang-orang PKI. Sumur tersebut memiliki kedalaman 100 sampai 200 meter yang terletak di sebelah selatan bangunan kantor umum. Tempat tersebut menjadi kuburan massal, bukan menjadi sumur untuk sumber air.

Di Benteng Van Den Bosch terdapat banyak ruang-ruang seperti Koloseum di Roma. Asrama tentara terletak di lantai dua bangunan, sedangkan bangunan bawah tanah digunakan sebagai penjara tahanan untuk penduduk lokal yang melawan Belanda. Benteng ini dihuni oleh 250 prajurit bersenjata bedil, amunisi berupa 6 meriam, dan 60 pasukan berkuda (kavaleri).

Baca juga:  Belajar Toleransi Bermazhab dari Para Ulama Mesir: dari Cara Shalat hingga Bilangan Raka'at

Tak hanya menjadi saksi dan sarang Belanda. Benteng Pendem juga menjadi saksi keganasan Jepang pada era Perang Dunia II. Pada tahun 1942-1943 Benteng Pendem dibom oleh tentara Jepang, sebab itu hingga kini wujud bangunan tersebut tidak utuh dan mengalami kerusakan. Kini bagunan yang terkena bom ditumbuhi semak-semak dan dibiarkan begitu saja seakan menjadi bukti kelamnya masa penjajahan kala itu.

Benteng Van Den Bosch juga menjadi saksi bisu perlawanan daerah terhadap Belanda yang memiliki benteng pertahanan, khususnya di Ngawi, yaitu Benteng Pendem. Daerah Madiun dipimpin oleh Bupati Kerto Dirjo. Daerah Ngawi dipimpin oleh Adipati Judodiningrat, Raden Tumenggung Surodirjo, dan salah satu pengikut Pangeran Diponegoro bernama Wirotani.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top