Ketua Tim Peneliti Wartawan Korban Kekerasan Selama 32 tahun Rezim Orba Berkuasa –Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1998). Pernah bekerja sebagai wartawan Persda (Kompas-Gramedia), Tabloid Bangkit, Majalah Indonesia Hospital, Voice of Human Right (VHR) dan Tabloid Suara Perempuan Papua. Saat ini bekerja di timlo.net dan sarklwer.com
Seusai tumbangnya rejim otoriter di bawah cengkraman bekas Presiden Republik Indonesia Soeharto, tampaknya pelanggaran terhadap hak menyuarakan kebenaran fakta kian mengancam jurnalis. Fakta empiris menunjukkan berbagai kasus intimidasi, pembungkaman, pemenjaraan, dan penghilangan nyawa pekabar berita, hingga kini masih berlanjut.
Belum sempat bab terakhir hasil penelitian penelusuran penyebab kekerasan yang dialami para wartawan selama rezim Orde Baru berkuasa selesai saya selaraskan bahasanya, mata saya terbelalak membaca email Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mewartakan Muhammad Syaifullah, wartawan sekaligus Kepala Biro Kompas Kalimantan tewas tidak wajar. Kuat dugaan kematian Syaifullah terkait dengan pemberitaan illegal loging dan penambangan batu bara yang marak dan tak terkendali di Kalimantan Timur.
Bila dugaan ini benar, kekerasan yang merengut nyawa para pekabar fakta di era reformasi terulang kembali. Setelah sebelumnya, di jaman pers masih dicengkeram penguasa rezim diktator Orba, wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab dipanggil Udin, terkapar bersimbah darah pada 16 Agustus 1996 di Jogjakarta.
Menyusul kemudian pada April 2006, pembunuhan keji terhadap wartawan lepas Tabloid Delta Pos Sidoarjo, Herliyanto terulang di Probolinggo. Jazad Herliyanto ditemukan di dalam hutan jati desa Tarokan, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo Jawa Timur dengan luka bekas bacok di kepala dan usus terburai dari perutnya.
Tidak lama kemudian kematian tragis juga merenggut nyawa wartawan Harian Radar Bali, Anak Agung Prabangsa, Februari 2009 lalu. Jasadnya ditemukan mengambang ke atas permukaan laut dengan luka sayatan benda tajam. Hasil penelusuran tim pencari fakta yang dilakukan AJI Indonesia, menyimpulkan bahwa kematian keduanya terkait erat dengan berita pengungkapan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang melibatkan pejabat pemerintah daerah.
Bila kematian Muhammad Syaifullah diduga berkaitan dengan persoalan pengungkapan kasus korupsi, suatu kabar yang pantas kita sesali bersama. Kami terperangah dan tak habis pikir bagaimana hal itu bisa terjadi. Seorang jurnalis yang tidak memiliki kepentingan pribadi, dan hanya memikirkan kepentingan hak masyarakat ingin tahu, bisa-bisanya menjadi korban kebiadaban para pembunuh keji di era reformasi.
Tampaknya ancaman para penegak demokrasi dan penjaga negeri dari kelakuan para penjarah, bukan hanya mengancam aktivis antikorupsi seperti dialami Tama Langkun, investigator ICW (Indonesia Corruption Watch), tetapi juga menjadi ancaman serius para jurnalis di Indonesia. Pewarta media pun kini merasa ketar-ketir melihat fenomena tindakan brutal model-model represif gaya pembunuh bayaran layaknya di negeri otoriter-militeristik yang pernah dilakukan pada waktu rezim masa lampau.
Kekawatiran awak media massa tampaknya cukup beralasan dan mendasar. Ketika seorang jurnalis sedang melakukan tugas profesinya sebagai pencari fakta yang akan dijadikan bahan berita, meski dilindungi undang-undang pers sekalipun, apabila jiwanya terancam mereka tak lagi nyaman menjalani profesinya sebagai pewarta media. Itulah sebenarnya sinyal perlawanan para bandit penjarah di sebuah negeri korup ternama di dunia.
Itulah sebabnya, sebaiknya para jurnalis harus tetap pasang kuda-kuda dan selalu waspada. Tidaklah berlebihan bila awak media massa perlu dibekali pelatihan penyelamatan diri terhadap serangan tak terduga, seperti dilakukan jurnalis di Filipina. Boleh jadi dan perlu, para jurnalis juga dibekali senjata, seusai melakukan investigasi kasus-kasus korupsi, misalnya. Sebab bukan tidak mungkin hasil investigasi akan berekses pada tindakan kekerasan dan berujung pada kematian awak media massa.
Di negeri bekas diktator Marcos berkuasa, awak media massa dilatih melakukan penyelamatan diri bila harus berhadapan secara diametral dengan pelaku kekerasan. Tidak hanya dibekali teknik fight face to face, tetapi juga diberi pengetahuan soal bagaimana melakukan evakuasi dan kabur dari sergapan, termasuk pemahaman ancaman serbuk tak tercium dan nirmata seperti racun.
Tidak hanya itu, menurut Ramon P Zagala, Wakil Deputi Penerangan, Kementerian Pertahanan Filipina dalam perbincangan sewaktu pelatihan Savety First yang diadakan di Jakarta beberapa waktu lalu, mengatakan tidak ada salahnya bila jurnalis juga dibekali teknik combating ketika akan melakukan liputan investigasi ke wilayah rawan kekerasan. Bisa saja mereka diberi pelatihan menembak, menggunakan rompi anti peluru ketika meliput peristiwa di wilayah konflik atau setelah memberitakan hasil liputan korupsi yang melibatkan pejabat negara.
Apa yang dikawatirkan Ramon P Zagala waktu itu, bukanlah mengada-ada. Hasil penelitian Tim Peneliti Wartawan Korban Kekerasan yang dilakukan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), menemukan fakta, selama rezim Orba berkuasa sedikitnya 368 jurnalis pernah menjadi korban kekerasan. Sebanyak 18 jurnalis korban mengaku pernah dipenjara dan disiksa karena berita yang ditulisnya.
Fenomena kekerasan baik fisik maupun non-fisik, di jaman Orde Baru, tidak hanya terjadi sekali-dua menimpa wartawan yang mewartakan tindakan tercela para pejabat pemerintah di 13 provinsi seperti kongkalikong, korupsi, perjudian, penebangan liar, backing prostitusi dan perselingkuhan yang gencar diberitakan. Tampaknya itulah penjebab utama mengapa wartawan acapkali menjadi korban kekerasan.
Meski demikian, semangat mengobarkan kebenaran dan mewartakan berita tak mengetarkan nyali para pewarta itu. Tidak sedikit yang mengaku pernah mengalami kekerasan lebih dari dua kali selama menjalani profesi wartawan ketika mengungkap tindakan tercela para pejabat pemerintah yang berhasil diendus dan diberitakannya.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa sebagian besar wartawan yang menjadi korban kekerasan mengatakan sebanyak 62 persen dari 368 responden yang diwawancarai mengetahui secara pasti para pelakunya oknum anggota tentara (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia – ABRI, saat itu).
Dari 62 persen yang mengetahui secara pasti pelaku kekerasan adalah oknum anggota ABRI, tercatat frekwensi kemunculan jawaban, tahu persis kesatuan pelakunya. Para wartawan yang pernah menjadi korban kekerasan oknum ABRI saat itu, menyebutkan sebagian besar pelakunya berasal dari kesatuan AD (71%), Kepolisian (42%) dan Inteljen (24%).
Kekerasan bukan hanya monopoli militer untuk meredam pers. Aparat pemerintah, sebagai abdi negara, yang mestinya bertindak sebagai pelayan masyarakat pun latah berupaya membungkam pers. Sebagai pelayan kepentingan umum, seharusnya aparat pemerintah tidak pantas melakukan hal-hal yang dapat menambah citra buruk lembaganya.
Tapi inilah faktanya, aparat pemerintah pun tak segan melakukan tindak kekerasan terhadap wartawan. Hasil penelitian mengungkapkan lebih dari separuh responden 57 persen pernah menjadi korban kekerasan yang dilakukan bupati, 32 persen mengaku pernah menjadi korban kekerasan yang dilakukan walikota, dan 11 persen mengaku pernah menjadi korban camat.
Budaya kekerasan untuk menyelesaikan masalah tampak mulai merambah ke berbagai instansi dan lembaga. Kekerasan seolah-olah merupakan jalan pintas menyelesaikan persoalan. Demikian pula tindak kekerasan yang dilakukan terhadap para wartawan.
Ibarat pemain sirkus, profesi wartawan sepertinya meniti ujung pena yang tertancap pada gedebog pisang, tajam tak berpondasi, runcing nan licin sekaligus menjadi penyebab orang acap tergelincir. Meniti karir sebagai wartawan di media masa, sama halnya berjalan kaki kiri melangkah ke pintu penjara sedang kaki kanan menapak di serambi neraka. Tapi itulah resiko para pewarta yang bekerja di media massa di negeri para koruptor sedang berjaya.