Sedang Membaca
Malam yang Terberkahi
Eeng Nurhaeni
Penulis Kolom

Pengasuh Pondok Pesantren “Al-Bayan”, Rangkasbitung, Banten Selatan.

Malam yang Terberkahi

Brent Cox Q0ch8wkf9zi Unsplash

Ada ungkapan yang sangat religius bahwa sesuatu yang terbaik menurut kita, belum tentu yang terbaik menurut Tuhan. Dapat juga diartikan bahwa sesuatu yang benar menurut kita belum tentu benar menurut Tuhan. Kita seringkali mendengar petuah yang sakti dari para alim-ulama ketika dimintai nasehat oleh muridnya, yakni “hendaknya kita bersabar dalam menghadapi ujian hidup ini.”

Sabar adalah kata yang ringan diucapkan tapi kepentingannya sungguh luar biasa, hingga Tuhan sendiri menekankan bahwa sabar adalah kata kunci terbaik, dan Dia beserta orang-orang yang sabar. Seringkali orang mengeluhkan sesuatu bahwa ia sudah berusaha seoptimal mungkin, sudah rajin beribadah dan berdoa, tapi mengapa nasibnya seperti ini? Apa kesalahan saya, Pak Ustad?

 Pertanyaan “apa kesalahan saya” mengindikasikan bahwa manusia punya sifat-sifat “sok tahu” atau merasa dirinya tahu segalanya, merasa dirinya bersih dan suci, lalu Tuhan disalah-salahkan (karena Dia belum mengabulkan doa-doanya). Justru pertanyaan seperti ini muncul karena orang itu belum mahir mengidentifikasi masalah yang ada pada dirinya. Padahal, Nabi Muhammad menyarankan pentingnya kesibukan kita untuk membaca diri, mengoreksi diri, karena hidup manusia sarat dengan berbagai kekurangan dan kekhilafan yang dilakukannya.

Tak bisa dipungkiri bahwa hidup manusia sangat dilumuri dosa dan kesalahan, misalnya marah, iri, dengki, cemburu, ujub, riya, sombong, mengambil hak orang, menyakiti orang lain (disengaja atau tidak), tak sesuai omongan dengan perbuatan, membuat orang mati atau terbunuh (disadari atau tidak). Misalnya ada batu melintang di jalanan, tetapi kita tak peduli hingga pengendara sepeda motor terpelanting mengalami kecelakaan. Ada kejadian banjir yang merenggut nyawa, diakibatkan sampah menumpuk dan menutupi sanitasi air, salah satunya adalah sampah yang pernah kita buang di jalanan. Karyawan terlambat menerima gaji dari pemimpin perusahaan, hingga nyawa ibunya tak tertolong lagi, karena terlambat menebus obat yang harganya mahal. Bisa juga kita berwacana, menulis cerpen atau puisi, kemudian ada orang bunuh diri lantaran diilhami dari puisi yang kita ciptakan.

Baca juga:  Wiridan Konsolidasi dan Ngaji Kontekstual ala Pesantren Sekarang

Banyak hal yang membuat kita — disadari atau tidak — memiliki andil tersendiri dalam penyelenggaraan kesewenangan dan ketidakseimbangan kosmik. Padahal, manusia ditugaskan selaku “khalifah” yang mestinya merawat dan melestarikan tatanan kosmik.

 Momentum Introspeksi Diri

 Termasuk pemimpin pesantren seperti saya yang mengasuh banyak umat, hal ini merupakan ujian dan amanat Tuhan yang disodorkan kepada diri saya. Kadang-kadang ada orang yang kepingin jadi kiai, ingin jadi pejabat, ingin jadi pengusaha, ingin jadi menteri, presiden dan seterusnya. Ketahuilah, bahwa hal tersebut hanyalah bagi-bagi tugas saja. Tetapi, semua manusia mesti menghadapi problem, cobaan, kesempitan, diguncang masalah dan prahara. Yang membedakan, apakah seseorang sanggup bersikap sabar dari masalah yang dihadapinya, ataukah sibuk menggerutu, menyalahkan pihak lain, atau bahkan frustasi.

Ada orang yang mengambil sikap dengan tetap senyum ketika menghadapi banyak masalah. Ada juga orang yang melampiaskan diri dengan mengumbar amarah, memfitnah, menebar hoaks, bahkan mencacii-maki orang lain. Sepanjang harinya dilumuri dengan rasa dengki dan amarah. Meskipun kelihatan banyak amal-amalnya, banyak harta kekayaannya, tanahnya berhektar-hektar, rumahnya megah, mobilnya mewah, tapi belum tentu tenang hatinya dan lapang jiwanya. Selaku pemimpin pesantren, kelihatannya dia banyak murid dan santrinya, juga banyak amal-amalnya, tapi hal itu cuma pandangan kasatmata manusia. Jadi, belum identik dengan penilaian dan pandangan Tuhan.

Baca juga:  Benarkah Terorisme Tidak Ada Hubungannya dengan Agama?

Pernah saya uraikan mengenai kisah seorang yang merasa telah banyak beramal saleh, hingga ketika wafat merasa pede akan dimasukkan di surga firdaus. Tetapi, justru Tuhan memasukkannya di surga paling bawah. Melihat anak buahnya dimasukkan ke surga yang lebih tinggi darinya, dia protes dan menggugat janji dan keadilan Tuhan. “Di manakah letak keadilan itu, jika aku yang banyak amalnya dimasukkan di surga paling bawah, sedangkan dia yang sedikit amalnya justru berada di surga yang lebih tinggi derajatnya?”

Pertanyaan semacam itu muncul karena sifat “merasa tahu”, padahal manusia hanya “sedikit tahu” tentang segala persoalan kehidupan di jagat makrokosmos yang maha luas ini. Mestinya dia bersyukur dengan pemberian dan rahmat Tuhan yang dianugerahkan kepadanya, sebab bila ditimbang-timbang sungguh amal-amal kebaikan yang kita lakukan belum seberapa bila dibanding dosa-dosa dan kesalahan dalam sepanjang perjalanan hidup kita di dunia ini.  Kita kelihatan bersih dan terhormat, justru karena Tuhan masih sayang, hingga masih menutupi aib dan kesalahan-kesalahan kita.  

 Malam Seribu Bulan

 “Beruntunglah orang yang mahir mengevaluasi dirinya, daripada sibuk mengorek-ngorek kesalahan orang lain.” Hadits Nabi ini sangat filosofis dan sangat dalam maknanya. Karenanya, konsep “mengidentifikasi masalah” itu bukan sibuk mengukur dan menghitung-hitung amal-amal kebaikan kita. Sebab, tiap amal kebaikan harus diserahkan dan dipasrahkan kepada Tuhan. Di situlah makna keikhlasan. Jadi, bukan dikalkulasi seolah-olah amal kita sudah banyak, lantas merasa berhak untuk mengklaim bahwa orang lain lebih rendah derajatnya ketimbang diri kita.

Baca juga:  Yudaisme dan Perjuangan Menegakkan HAM (2)

Kita diperintahkan untuk berbaik sangka kepada Tuhan, sepahit apapun derita hidup yang sedang kita alami. Karena, kesempitan hidup tidak selamanya, begitu juga kelapangan hidup tidak selamanya kita jalani. Kita diperintahkan agar konsisten, istikomah, jangan berputus asa dari rahmat dan kasih sayang Tuhan, meskipun tengah bergelimang problem dan guncangan prahara. Bahkan, tiga hari sebelum wafatnya, Nabi Muhammad masih sempat memberi nasihat kepada para sahabat, “Janganlah di antara kalian mati melainkan dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.” (H.R. Muslim dan Ahmad).

 Sungguh tak pernah ada takdir Tuhan yang sia-sia tanpa hikmah dan rahasia indah. Nalar dan imajinasi kita tak cukup mampu menduga secara tepat apa yang akan terjadi dan menimpa hidup kita. Karena itulah, kita diperintahkan untuk terus berdoa, meminta, memasrahkan urusan hidup dengan cara meningkatkan pengabdian kita kepada Tuhan Semesta Alam.

Selalu ada waktu kita memperoleh nikmat sebagaimana adanya waktu kita mendapatkan musibah. Satu hal yang harus kita yakini, sebagaimana Tuhan berkuasa memberikan kejutan berupa musibah (seperti wabah Corona ini), sudah tentu Tuhan juga berkuasa memberikan kejutan berupa hikmah dan nikmat hidup.

Tuhan Yang berkuasa menghidupkan yang mati dan mematikan yang hidup. Sudah pasti sangat berkuasa untuk membahagiakan hati yang sedang pilu. Sangat mudah bagi-Nya untuk menyelesaikan urusan hidup yang tak kunjung usai. Mari kita berpegang hanya kepada-Nya, Yang Maha Menolong lagi Maha Bijaksana. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top