Dialektika pemikiran di kalangan ilmuwan dan filosof muslim terus berkembang, terutama ketika Ibnu Rusyd dikenal di dunia Barat sebagai “Averous”. Ia mengkritik pemikiran Imam Al-Ghazali yang meluncurkan bukunya di kalangan akademisi Baghdad (Irak) dengan judul “Kerancuan Filsafat”. Pernyataan yang lugas dalam kritik tersebut, seakan menunjukkan sikap angkuh dan jemawa. Tetapi, karena filsafat mengajarkan manusia agar berpikir kritis, maka segala hal yang membelenggu dalam batas-batas, layak untuk diterabas dan didialogkan secara dewasa.
Sebagai pemimpin pesantren, saya kadang membayangkan, seandainya kalangan pesantren, sekolah, maupun kampus perguruan tinggi, melatih kemampuan akal sehat dan nurani mereka, niscaya penghargaan yang tinggi terhadap peradaban Indonesia akan terwujud dengan baik. Ketimbang hanya berkutat mempersolek diri dalam urusan fisik dan persaingan infrastruktur belaka.
Kalau perkara otak secara anatomis, semua binatang juga punya otak, bahkan bisa membangun tempat tinggalnya sendiri. Burung-burung manyar bahkan sanggup bersaing untuk membangun sarangnya, hingga mempertunjukkan kepada si betina untuk memilih sarang mana yang paling bagus untuk ditempati. Tetapi, manusia dianugerahi nalar dan akal, yang sanggup membedakan moral binatang dengan moralitas tinggi yang bisa dikuasai oleh peradaban manusia. Dengan anugerah akal pikirannya, kualitas moral mampu menjangkau tingkat solidaritas yang memuliakan sesamanya, bahkan ke alam dan lingkungan sekitarnya.
Di sisi lain, para filosof modern seperti Sartre, Nietzsche, hingga Karl Marx dianggap meresahkan sebagian kalangan ulama maupun pendeta, sejak pasca abad pertengahan lalu. Terlebih pernyataan filosofis dari Karl Marx, bahwa agama adalah “candu” yang memabukkan penganutnya. Padahal, pengertian “candu” yang dimaksudkan lebih mengacu pada upaya meng-counter fundamentalis Kristiani di abad pertengahan, yang seringkali terjerumus pada kesalahan tafsir tentang hakikat agama yang dibawakan Nabi Isa sebagai putera dan kekasih Allah.
Jadi, pengertian candu itu bukan megacu pada ajaran agamanya, juga bukan pada kitab sucinya. Tetapi, pada manusia-manusia pemeluk agama yang menyikapi perbedaan pandangan secara intoleran. Tersesat dalam menerima ajaran agama yang ditafsir sesuai kehendak hawa nafsu belaka. Terkait dengan ini, maka dalil naqli sebagai ayat tekstual harus sejajar secara vertikal dengan dalil aqli sebagai ayat kontekstual (kauniyah). Karena pentingnya peranan akal sebagai anugerah Tuhan, maka ajaran agama akan membumi manakala dipahami dalam konteks logika filsafat yang memadai.
Agama yang mendewasakan
Jika agama kering dari logika filsafat, maka penafsirannya semata-mata dalam kerangka politis dan teologis yang akan mudah menjerumuskan pemeluknya pada semangat sektarian, intoleran yang dapat mengarah pada benih-benih radikalisme. Di sinilah logika filsafat dapat membimbing pemahaman agama, membangun solidaritas seluas mungkin, hingga semangat kesetiakawanan sosial dapat tercipta dengan baik.
Logika filsafat tentu sepaham dengan pernyataan bahwa agama adalah akal. Ia lahir untuk mempermudah urusan hidup manusia. Karena itu, tidak ada istilah “tertutupnya pintu ijtihad”. Upaya merawat nalar dan akal sehat terus dilakukan dengan mengembalikan nilai keadaban dan kemanusiaan dalam tradisi berpikir dan beragama dengan baik. Cara inilah yang membuat ajaran Islam menjadi inklusif, terbuka bagi semua kalangan, baik bagi kaum agamawan maupun aliran kepercayaan apapun. Di dalam Alquran berkali-kali diutarakan pentingnya menggunakan nurani dan akal sehat ini, seperti Afala ta’qilun, afala tubshirun, afala tatadabbarun, afala tatafakkarun, dan segenap pernyataan tegas yang mengandung arti yang sejajar: “Mengapa kalian tidak berpikir?”
Di sisi lain, pemikiran filosofis kadang dicap sebagai ideologi berhaluan kiri, yang mengacu dari konstruksi pemikiran dan kebudayaan Barat. Pandangan yang dangkal ini, seringkali mengecoh intelektual dan cendikiawan muslim – tak terkecuali di kalangan ICMI – terjebak pada pemikiran eksklusif seolah-olah terminologi Islam cukup dipahami oleh orang-orang Islam secara internal. Mereka tidak menyadari bahwa kualitas dakwahnya masih mengawang-awang di angkasa, belum bisa berpijak di atas bumi. Karenanya, masih sulit berkarya dan berkreasi yang dapat mengena di hati publik.
Upaya merekonstruksi khazanah keislaman melalui sudut pandang (perspektif) filsafat, kadang dianggap sesuatu yang menakutkan bagi sebagian intelektual Indonesia. Padahal, justru dengan kemampuan memahami filsafat, serta mengkajinya secara ilmiah dan mendalam, kita tidak mudah terjebak dalam arus eksistensialisme dan absurditas, yang membuat dunia Barat sendiri merasa gersang dan kehilangan pijakan spiritualnya sejak abad-abad pertengahan lalu.
Konstruksi pemikiran yang mengacu pada logika filsafat, dan semakin meluas sejak era Hegelian, memiliki efek yang mengglobal hingga merambah ke dunia Timur. Tentu saja seorang intelektual yang menolak pemikiran filosofis, akan kering dari wawasan global, juga akan gersang dari ayat-ayat kauniyah (universalitas). Padahal, di era milenial ini, ketika persaingan global di mana tarik-menarik kekuatan politik-ekonomi begitu dahsyat, kita membutuhkan pemikir-pemikir handal yang mengajak semua komponen bersatu-padu menghadapi tantangan dunia.
Saat ini, kadang sebagian masyarakat akan mudah tersinggung ketika ada kepentingannya yang terusik. Di saat kita mudah terpancing pada egoisme dan kepongahan religius, prasangka dunia luar akan mempunyai dalil yang kuat untuk menuduh umat Islam terpapar radikalisme dan terorisme. Dalam konteks ini, berpikir kritis untuk memahami filsafat, justru harus dimanfaatkan seoptimal-mungkin agar kita sanggup menghadapi hegemoni kepentingan mereka.
Kita pun perlu menguasai konsep filsafat tentang kepemimpinan (leadership), sesuai dengan apa yang dinyatakan Ali bin Abi Thalib mengenai karakteristik pemimpin baik (muhsin). Mereka senantiasa merangkul semua golongan, biarpun berbeda secara iman dan agama, akan tetapi setiap manusia tak lain merupakan sahabat-sahabat dalam kemanusiaan. (*)