Di masa kekhalifahan Islam keempat, Ali bin Abi Thalib, telah merebak hoaks dan berita-berita palsu yang menyebar ke seluruh jazirah Arab. Ibnu Muljam selaku pembunuh Ali, sebenarnya orang salih yang taat beribadah, bahkan ia seorang penghafal Alquran (hafidz), tapi mengapa hafalannya tidak merasuk ke dalam kalbu sampai-sampai ia telah kehilangan akal sehatnya?
Jika dikaitkan dengan era medsos saat ini, tiada lain penyebabnya adalah hoaks yang bertebaran saat itu, terlebih berita-berita bohong yang disusupkan oleh kaum Khawarij. Mereka menyebarkan rumor dan isu-isu miring bahwa khalifah keempat yang merupakan menantu Nabi itu adalah seorang penipu dan munafik, karena itu darahnya halal untuk ditumpahkan.
Ali selaku cendekiawan muslim kala itu, memberi nasihat kepada para pengikutnya agar senantiasa bersabar, “Orang-orang yang memusuhi kita, seringkali memanfaatkan kata-kata kebenaran melainkan untuk tujuan yang tidak benar.” (baca: Pikiran Orang Indonesia, hal. 97-98).
Setelah perang Shiffin yang dipicu oleh kesewenangan dan pemberontakan (makar) terhadap kepemimpinan yang sah, kemudian hoaks semakin merebak ke seluruh penjuru negeri. Kaum Khawarij memproklamirkan radikalisme dengan memonopoli kebenaran tunggal menurut tafsiran mereka, “Tiada hukum selain hukum Allah” (La hukma illa lillah).
Hal itu mengingatkan kita pada doktrin-doktrin pemerintah Orde Baru, seakan hanya Orde Baru dan para kroninya yang paling Pancasilais di republik ini. Sementara, paham yang berseberangan dengan Orde Baru akan dicap ekstrim kiri, kemudian muncul lagi istilah baru, ekstrim kanan. Ketika muncul pergerakan yang dianggap bertentangan dengan rezim penguasa, muncul lagi istilah “ekstrim tengah”, hingga seluruh ideologi dan kepercayaan apapun dianggap ekstrim, kecuali hanya Orde Baru yang dianggap paling alim, saleh, dan tidak ekstrim.
Untuk melumpuhkan daya nalar yang mengakibatkan krisis intelektual bangsa, Orde Baru meluncurkan gagasan “ideologi pembangunan” dan “manusia seutuhnya”, yang dalam prakteknya adalah penggiringan manusia Indonesia kepada pola pikir satu dimensi atau perspektif tunggal, hingga menganggap apapun yang berbeda adalah musuh dan lawan (liyan) yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Maka, bermunculan anakronisme berderet-deret dari Gestapu (diambil dari istilah Gesatpo Nazi), G30S/PKI, OTB, hingga GPK (istilah yang sebenarnya pernah dipakai Hindia Belanda, yang tanpa disadari dipakai kembali oleh Soeharto).
Sejarah sahabat Nabi
Kiai Ahmad Ikrom (akrab disapa Kang Ahmad) menekankan pentingnya Nahdliyin mengkaji sejarah para sahabat Nabi, yang perlu dibarengi oleh bimbingan masyayikh NU. Bagi Kang Ahmad, peristiwa pembunuhan Khalifah Ali yang dilakukan secara sadis di dalam masjid, erat kaitannya dengan zaman now yang dipicu oleh merebaknya berita bohong dan hoaks di mana-mana.
Dalam cerpen “Adu Doma” (solopos.com) kita bisa memahami mengapa sang jawara kampung bernama Muljam itu sampai tega menikam Ali yang tidak memahami apa duduk perkaranya. Sangat interesan, karena kedua tokoh protagonis dan antagonis dalam cerpen tersebut ditarik ke dalam problem kekinian dan keindonesiaan, namun memakai nama yang persis sama: Ali dan Muljam.
Karya sastra semacam itu memang sangat genuine ditulis oleh akal-akal sehat manusia Indonesia, guna mengajak para pembaca menjadi insan cerdas. Tegas meneliti berita dan informasi yang diterima, baru kemudian berjuang melakukan sharing dan menyebarkan berita positif demi damainya Indonesia dan dunia.
Terkait dengan menyebarnya hoaks di seputar tahun 1965 dan sesudahnya, Hafis Azhari (penulis novel Pikiran Orang Indonesia) pernah bertandang di kediaman Pramoedya Ananta Toer (2001) di daerah Bojong Gede, Bogor. Ia menanyakan pendapat sastrawan itu, perihal berita-berita miring tentang jenderal-jenderal yang dilukai dan (maaf) kemaluannya dipotong dengan silet.
“Saya merinding mendengar itu,” ujar Pramoedya lirih.
“Apakah Pak Pram percaya adanya wanita Gerwani yang menari-nari telanjang di depan mayat jenderal itu?”
“Saya juga merinding mendengar berita itu,” tegas Pramoedya lagi.
“Kenapa Pak Pram merinding?” tanya Hafis lagi.
“Saya merinding bukan karena mendengar berita itu, tetapi karena tidak menduga ada orang Indonesia bisa menciptakan kebohongan yang begitu keji. Juga tidak membayangkan adanya penguasa negeri ini yang mendiamkan berita bohong yang merugikan rakyat, dibiarkan merebak di mana-mana. Mereka tidak ada itikad baik untuk memerintahkan para ahli dan ilmuwan mengadakan riset dan penelitian ilmiah.”
“Apakah para ilmuwan dan sejarawan itu takut?” tanya Hafis.
“Penguasa memang sengaja menakut-nakuti sejarawan Indonesia, bahkan sejak zaman Hindia Belanda. Bung sendiri tentu mengerti, mengapa selama beberapa tahun ini, yang datang ke rumah saya justru para peneliti dan akademisi dari luar negeri.”
“Kenapa?” pancing Hafis lagi.
“Karena mereka takut dan menganggap rumah saya sebagai rumah hantu. Atau bahkan, ketakutan itu sengaja dibikin oleh penguasa.”
“Saya sendiri sebagai angkatan muda,” sambut Hafis, “semakin merasakan bahwa apa-apa yang dinyatakan rezim hanyalah pernyataan politik semata.”
“Ya, benar. Sebab pernyataan ilmiah selalu bersandar pada fakta dan kebenaran. Sedangkan pernyataan politik selalu bertentangan antara apa yang dikatakan dengan yang diperbuatnya,” tegas Pramoedya.
Sepertinya, pengalaman sederhana yang dialami Hafis Azhari itu merupakan hal aneh dan langka, seakan riskan dan tabu untuk dipersoalkan dalam konteks manusia Indonesia di masa lalu (Orde Baru). Para penulis seakan takur mempersoalkan hal semacam itu, termasuk wartawan dan kalangan akademisi sekalipun. Tetapi, akankah kita mengulang-ulang kebodohan dan hanya takut oleh kepentingan status quo makhluk? Kenapa kita takut oleh stigma tiga huruf (PKI) yang hanya bikin-bikinan manusia, bukannya takut pada Tuhan jika kita tidak berani menyampaikan jalan kebenaran yang diperintahkan-Nya?
Meminjam adagium dari karakteristik jurnalis Kompas TV Aiman Witjaksono: ”Untuk apa bangsa yang besar ini menjerumuskan diri dalam kubangan hoaks dan fitnah yang dibikin-bikin penguasa, sehingga (mengandung konsekuensi, red) memusuhi dan menjauhi ilmu pengetahuan?” Dalam hal ini, Alquran menegaskan dalam Surah an-Nahl (125): “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhannya dengan ilmu dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah bersama mereka dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-lah yang mengetahui siapa yang tersesat jalannya, serta siapa yang memperoleh petunjuk yang benar.” (*)