Thaha Hussein gemar bercanda, setidaknya menurut caranya sendiri. Ia bisa mengucapkan pemikiran-pemikiran sekulernya yang kerap dituduh liberal, dengan ekspresi wajah yang santai dan bibir tersenyum. Ia juga bisa meraih dua gelar Ph.D, meski matanya buta sejak balita.
Menyebut nama Thaha Hussein di Timur Tengah, bisa jadi justru cap “intelektual kontroversial” yang mengemuka. Bagi kalangan konservatif, ia bagai “selilit” yang mengganggu pikiran. Dan bagi kalangan lainnya, menganggap intelektual ini lahir terlalu cepat, sehingga terlalu melampaui zamannya.
Tersambungnya dunia Islam dan Barat pada masa modern, sehingga memunculkan pemikiran-pemikiran pembaharu dunia Islam. Dan nama Thaha Hussein ditempatkan paling depan dalam daftar pemikir pembaharu.
Ia dijuluki “Bapak Pembaruan Mesir”. Uniknya, ide sekularisasi yang ia lontarkan, sempat membuat banyak orang sewot. Andai ia berkiprah di era medsos sekarang, bisa jadi ia bakal punya daftar panjang hatters, dan menuai kritik setiap detik.
Namun Thaha Hussein punya argumen untuk setiap pemikiran “liberal”-nya, saya lebih suka menyebutnya progresif.
Menurutnya, sebagai intelektual ia hanya menginginkan kaum muslim Mesir untuk menggunakan kebebasan berpikirnya, tanpa terikat dengan pemikiran lapuk. Maka ia tak menerima mentah-mentah pemikiran lawas para pendahulu, kecuali setelah melalui pembahasan dan penelitian, meski hasilnya belu tiba pada suatu kepastian.
Menurutnya, hal itu bertujuan agar tercipta dinamika intelektual yang lincah dan tak bimbang.
Thaha percaya bahwa penelitian dan kajian terhadap setiap ilmu dan pemikiran, bisa membawa seseorang untuk tiba pada pendapat yang lebih kuat. Itu sebab, ia membekali diri dengan melakukan penelitian luas dalam berbagai bidang. Mulai dari mengkaji ulang tradisi Mesir Kuno, hingga penguasaannya atas pemikiran Yunani Kuno.
Sebenarnya pemikiran Thaha tak bisa sepenuhnya disebut sekuler. Ia hanya meyakini bahwa umat Islam harus berusaha menempuh cara orang-orang Eropa, agar bisa setara dan menjadi partner dalam peradaban. Cara ini seolah terlihat ia ingin “memisahkan” urusan agama dengan urusan dunia.
Padahal yang ia maksud, demi membangun sebuah peradaban yang maju, maka umat Islam harus mengambil contoh dari jalan peradaban yang telah terbukti maju. Itulah sebabnya ia dianggap kontroversial, saat menggaungkan ide sekularisasi.
Metode kritis ini, menurut Hussein, tidak bertentangan dengan Alquran. Ia tetap meyakini bahwa kedudukan agama lebih tinggi dari akal. Maka, untuk menjadikan agama sejalan dengan akal, hendaknya agama didekati melalui jalan argumen yang rasional dengan metode yang kritis.
Bagi Thaha, rasio dan agama sama-sama sangat dibutuhkan setiap manusia. Rasio atau akal sehat harus menjadi penunjuk jalan bagi manusia, meski rasio memiliki keterbatasan. Dan agama yang bertugas memberi jawaban atas hal-hal yang tak mampu diurai oleh akal sehat. Maka, beragama tanpa menggunakan akal sehat, atau sebaliknya, berpikir tanpa dilandasi agama, adalah nonsense.
Apapun yang orang bilang, Taha Hussein yang mantan Menteri Pendidikan Mesir ini, sohor sebagai “Bapak Pencerahan Mesir”. Gelar ‘Amid al-Adab al-Araby‘ atau Bapak Sastra Arab pun disandangnya, berkat karya-karya sastranya yang berjumlah sekira 60 buku. Mencengangkan, mengingat sejak usia tiga tahun ia tak bisa melihat dunia.
Dosen yang Haus Ilmu
Meski terlahir dalam keluarga sederhana, pada 15 September, 1889, anak ketiga dari tujuh bersaudara ini tak surut semangat belajarnya. Kebetulan Mesir bukanlah tempat bagi pembedaan tempat bersekolah berdasarkan kemampuan fisik. Sehingga pria yang lahir di Izbet el Kilo, sebuah kampung kecil di Provinsi Minya, selatan Mesir, berhasil lulus dari Kuttab (sekolah) setingkat SMA.
Saat menjadi mahasiswa di kampus Al-Azhar, Kairo, ia mempelajari agama dan sastra Arab. Lulus dari Al-Azhar, ia melanjutkan studi di Universitas Kairo, tempatnya berkenalan secara sistematis dengan metode pemikiran Barat modern.
Nama Prof. Nallino, Prof. Ennolittman dan Prof. Santilana, adalah influencer bagi metode pemikiran barat Hussein. Ia yang mengangkat tesis tentang Abu-Alala’ Al-Ma’ari, berhasil lulus dari Universitas Kairo dan meraih gelar Doktor (Ph.D).
Pendidikan rupanya telah menjadi passion Taha. Sehingga, kesempatan menjadi anggota misi pendidikan Universitas Kairo, ia gunakan untuk melanjutkan studi ke Universitas Sorbanne di Perancis. Perkenalannya dengan Suzanne Bresseu, berlangsung saat Hussein menjadi mahasiswa di University of Montpeller, berlanjut ke pelaminan.
Setelah mendapat gelar MA dari University of Montpellier, disusul raihan gelar PhD untuk kedua kalinya. Gelar tersebut kali ini berasal dari Universitas Sorbonne, melalui disertasi doktoralnya mengenai Ibnu Khaldun.
Dua tahun kemudian (1919) ia memutuskan pulang kampung dan membawa keluarganya untuk tinggal di Mesir. Pasangan suami istri itu kemudian menjadi dosen sejarah di Cairo University. Di universitas inilah Thaha berkarir selama tiga puluh tahun sebagai Guru Besar dan administrator.
Di sela kesibukannya mengajar dan melakukan penelitian, ia juga mendirikan sekaligus menjadi rektor di Univeritas Alexandria (Universitas Iskandariyah) pada 1938. Sejatinya, Universitas Iskandariyah yang awalnya bernama Universitas Raja Farouk—hingga Revolusi Mesir 1952, adalah kampus cabang dari Universitas Kairo.
Namun karier Thaha di grup Universitas Kairo ini terhenti, akibat pertanyaannya yang kontroversial tentang kebenaran historis Al-Quran, dalam bukunya On Pre-Islamic Poetry (في الشعر الجاهلي). Buku syair pra-Islam ini sempat dicekal beberapa saat, sebelum akhirnya bisa terbit, dengan beberapa revisi.
Namun Thaha Hussein tak terbendung. Revolusi kudeta terhadap Raja Farouk oleh Jenderal Muhammad Naguib pada 1952, lalu sang jenderal digulingkan lagi oleh wakilnya, Letkol Gamal Abdel Nasser, berujung pada penunjukan Thaha Hussein sebagai Menteri Pendidikan.
Pembaharu Pendidikan Mesir
Hussein bukanlah seorang intelektual yang doyan wacana semata. Dalam dunia sastra, intelektual yang produktif ini dijuluki Doyen des Lettres Arabes, alias sang empu sastra Arab. Sebutan itu mumpuni bagi sastrawan yang telah empat belas kali masuk nominasi “Nobel Prise in Literature”.
Berbekal kedalaman ilmu dan jabatan strategisnya sebagai Menteri Pendidikan Mesir era Gamal Abdel Nasser, Thaha menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk menetapkan kebijakan yang sesuai dengan gairahnya dalam mencerahkan bangsanya.
Demi memperbaiki sistem pendidikan Mesir saat itu, salah satu kebijakan fenomenal yang ia tetapkan adalah sekolah gratis! Sebenarnya hal itu adalah kritiknya terhadap sistem pendidikan, yang semula hanya ramah kepada kaum berduit. Mungkin juga berdasarkan pengalamannya sebagai anak dari keluarga miskin, yang harus belajar ekstra keras dalam ketunanetraannya, supaya bisa tetap bersekolah.
Terbukti, pilihannya untuk menggratiskan biaya pendidikan di Mesir bisa dirasakan langsung oleh seluruh rakyat di negeri piramida itu, hingga saat ini.
Kebijakan lainnya ia tujukan bagi madrasah-madrasah. Semula, madrasah hanya mengajarkan Alquran. Kebijakan Pak Menteri ini membuat madrasah menjadi lembaga pendidikan yang mengajarkan banyak disiplin ilmu, termasuk sains dan agrikultur. Kelak, kebijakan publik yang diambilnya, terbukti mengubah kehidupan masyarakat Mesir yang konservatif menuju masyarakat yang berkemajuan.
Ia juga mengkritik para (calon) intelektual. Menurutnya, menurunnya minat kalangan intelektual terhadap hal-hal yang ‘berat’, menurunkan kualitas diri seseorang. “Membaca saja malas, apalagi menganalisis,” begitu menurutnya. Dan memang benar yang ia bilang, bahwa media-media massa pun lebih senang menyajikan hal-hal yang sangat ringan. Sehingga pembacanya tak perlu berjerih payah menggunakan akal sehatnya untuk memahami masalah.
Adakah buku berbahasa Indonesia yang menyajikan lika liku rihlah ilmiah Seorang Thaha Husein? Jika ada pasti menarik dan inspiratif. Mohon infonya. Terima kasih.