Dari sekian konser yang digelar di lebih dari 42 negara, hanya ada satu konser yang cukup menyita perhatian dunia: segerombolan anak metal Israel mengadakan tur keliling Eropa bareng Khalas, salah satu band Palestina.
Keputusan ini tentu menuai kritik dari banyak pihak. Aktivis Palestina menuduh konser ini mencederai hati rakyat Palestina. Perlawanan yang sekian tahun dibangun bak runtuh sia-sia. Ada 1,5 juta rakyat Arab yang hidup di di bawah bayang-bayang Israel. Penderitaan yang dialami sekian tahun itu bakal semakin menjadi-jadi.
Bahkan kritik itu muncul dari sesama musisi. Roger Waters, pentolan band Pink Floyd yang selalu lantang menyuarakan Israel sebagai penjahat kemanusiaan pun turut serta. Dirinya memboikot seluruh musisi Israel, dan melarang band di luar Israel untuk konser di tanah yang penuh konflik ini.
Melihat aksinya diboikot, dalam sebuah wawancara oleh Indepedent, Farhi selaku otak di balik konser ini, sekaligus vokalis Orphaned Land mengatakan: selama 13 tahun, gerakan boikot ini tidak mengubah apa-apa. Saya pribadi tidak tahu mengapa Israel begitu dibedakan dengan negara lain dalam segala hal. Namun, dengan pendekatan (seni) yang kami lakukan, terbukti lebih efektif.
“Kita semua tahu, isu kemanusiaan itu tidak begitu berpengaruh, baik di Arab maupun di Timur Tengah. Musik bukan sesuatu yang bisa diboikot,” Farhi.
Kolaborasi antara musisi Israel dengan musisi Palestina dalam musik metal memang belum pernah dilakukan. Padahal, tadinya, Edward Said pernah menggaet Daniel Borenboim, seorang musisi berdarah Yahudi untuk menggarap sebuah proyek orkestra bersama pemuda Israel, Palestina, dan beberapa orang Arab.
Baik Edward Said maupun Roger Waters, keduanya punya niat baik, yang kebetulan mereka terlahir bukan dari rahim Islam. Akan tetapi keduanya dikenal sebagai tokoh yang getol menyuarakan perlawanan atas penjajahan Israel pada Palestina. Ini merupakan satu bukti bahwa persoalan Israel-Palestina adalah persoalan kemanusiaan. Yang sangat rumit.
***
“Shall we see the end of war, blood brothers? Or shall we fill another grave, for ourselves we couldn’t save.”
Blood brothers, dalam lirik lagu Disciples of the Sacred Oath, tidak lain adalah saudara seiman mereka. Bukan sebentuk kepercayaan pada Tuhan yang sama, melainkan iman pada dentuman musik cadas yang sama, Heavy Metal.
Konflik Israel-Palestina yang rumit itu punya sejarah sangat panjang. Segala upaya telah dilakukan, namun hingga kini pun tetap ada. Orphaned Land sebetulnya tidak betul-betul ingin mendamaikan konflik ini. “Kami tidak bisa mengubah dunia, tetapi kami bisa memberi contoh bahwa hidup berdampingan itu memungkinkan.” Ungkap Farhi, seperti yang dikutip The Guaridan.
Cuplikan lirik di atas, mudah kita jumpai dalam banyak nomor yang dibawa band beraliran cadas ini. Di tengah panggung yang eksentrik, sambil headbang dengan seragam berwarna hitam, penggemarnya seolah diberi ceramah soal perdamaian. Soal hidup harmoni, berdampingan bersama saudara dari latar belakang yang berbeda.
Orphaned Land dibentuk pada 1992. Sebelumnya, pada 1991 mereka menamai diri dengan Resurrection. Terdiri dari segerombolan pemuda yang mengaku ateis, beberapa personilnya ada pula yang mengaku agnostik. Dalam diri mereka mengalir darah Yahudi. Agama-etnis tertua dari tiga bersaudara keturunan Ibrahim.
Mereka didaulat sebagai band pertama yang memasukkan unsur oriental dalam musik metal. Memadukan alunan gitar dengan distorsi, musik-musik tradisional Arab, hingga meleburkan langgam Yahudi tradisional macam qiraah yang kerap didengungkan di synagoge.
Eksperimen tersebut nyatanya berhasil menyita perhatian pendengar metal yang tadinya hanya didominasi oleh kelompok musik dari Amerika, Skandinavia, dan Eropa. Kini hegemoni musik itu perlahan terkikis. Pada 22 Mei, 2010, Band ini sempat tampil sebagai pembuka pada konser Metallica di Israel.
Kapasitas bermusik mereka pun patut diperhitungkan. Tidak banyak band dari negara-metal-ketiga macam Mesir, Israel, atau Indonesia yang berhasil mangantongi undangan manggung di Wacken Open Air—sebuah pesta musik cadas paling mentereng di dunia, yang diselenggarakan di Jerman.
Terbukti, dengan sajian musik yang khas, Orphaned Land berhasil mengantongi undangan manggung di sana. Tak hanya itu, sejumlah perhelatan musik dunia seperti Summer Breeze Open Air, Sonisphere Festival, Gods of Metal, Rock Hard Festival dan masih banyak lagi panggung-panggung besar bertaraf internasional yang turut menikmati sajian oriental metal khas Israel ini.
Beragam penghargaan pun datang bertubi-tubi pada mereka. Dunia mulai menghargai mereka, tidak hanya pada sisi musikalitas yang memadai, tetapi juga pada sikap politik mereka yang unik. Pada 2012, bahkan band ini diusulkan agar dapat Nobel Prize, lantaran mereka tetap mengizinkan penduduk Arab mendengarkan musik mereka, meskipun secara resmi Liga Arab melarang mendengar musik mereka dicekal.
Dari sisi musiknya sendiri, Metal Hummer pada 2014 memberi penghargaan kepada mereka sebagai pemenang Global Metal Band of The Year. Pada saat yang sama, band Metal asal Indonesia, Burgerkill mendapat nominasi sebagai Metal Ass Award. Metal Hummer merupakan majalah musik bulanan, berkedudukan di Inggris, yang rajin memberi penghargaan bagi pegiat musik cadas.
Farhi, sang vokalis kelahiran Jaffah, Israel tahun 1975 ini bahkan pernah mendapat tiga penghargaan perdamaian sekaligus. Kali ini malah dari negara berpenduduk mayoritas Islam, yang cukup disegani dunia, Turki. Penghargaan itu melalui tangan Istanbul Commerce University, Mayor Çankaya (salah satu distrik di Ankara, Turki), dan terakhir dari Penasihat Negara Turki.
Bersamaan dengan prosesi pemberian penghargaan tersebut, Orphaned Land juga diminta manggung di Turki. Dalam kesempatan yang sama, uang hasil konser tersebut didonasikan semuanya kepada korban gempa bumi 2011 di Van, salah satu wilayah Turki bagian Selatan.
Lika-liku musik mereka yang unik itu, mengingatkan kita pada sebuah frasa menarik dari Phytagoras. Ia mengatakan bahwa tujuan tertinggi dari musik adalah untuk menghubungkan jiwa seseorang dengan sifat Ilahi mereka, bukan semata hiburan.
Dan Plato, pada kesempatan lain, memaknai musik sebagai jiwa bagi dunia. Sejatinya, musik itu tidak berkelamin, dan seharusnya ia menyenangkan. Siapa pun berhak menikmati anugerah ini dengan baik. Tak terkecuali segerombolan permuda yang kebetulan lahir dari rahim Yahudi ini.
Mereka bisa saja menamai bandnya dengan ha-Aretz ha-Muvtakhat, Promised Land, atau Tanah Yang Dijanjikan. Tapi, dengan segenap rasa kemanusiaan dari dalam jiwa metalhead mereka yang paling dalam, mereka menamai bandnya dengan Orphaned Land, yang artinya tanah yang dipenuhi dengan anak yatim.
Sebagai penggemar band Orphaned Land saya apresiasi dengan adanya media Indonesia yang membahas band ini.
Musik merupakan bagian dari warna-warni kehidupan manusia seperti kesenian pada umumnya.. Seni adalah kebutuhan batin manusia.. Pemboikotan akan musik merupakan sebuah kebodohan & pembodohan, apalagi dikaitkan dengan atas nama agama, etnis, ataupun politik..
Filter akan produk budaya luar negeri memang harus ada mengingat dampak positif dan negatifnya..
Tapi haruskah sebuah band musik dengan konten perdamaian diboikot karena sentimen akan politik dan agama dari negara asalnya?