Duet musisi Eissa dan Nagm, sudah langganan keluar masuk penjara, sejak Mesir dipimpin Presiden Nasser. Teriakan mereka dalam tembang-tembang ciptaannya, bagai bensin bagi para demonstran.
Melalui lagu-lagu politiknya, duet musisi Eissa dan Nagm, melawan imperialisme, rasisme, dan Zionisme, serta oknum elit penguasa yang korup. Dianggap mewakili suara rakyat Mesir yang terpinggirkan, lagu dan syairnya mengejutkan dan bikin merah kuping pejabat.
Dalih Sheikh Imam Eissa dan Ahmed Fouad Nagm, nama duet musisi asal Mesir itu, karya mereka mencerminkan cinta untuk negaranya, sekaligus kritik pedas terhadap penyakitnya. Menyuarakan perasaan rakyat saat kekalahan memalukan di tangan Israel pada 1967, perjanjian damai 1979 dengan Israel, dan pemerintahan Hosni Mubarak.
Bagi mahasiswa Indonesia yang pernah berada di tengah arus demonstrasi Mesir pada 2011, mungkin pernah mendengar lagu politik karya Eissa dan Nagm dinyanyikan. Bagai bensin pembakar semangat bagi kaum demonstran, tembang berbahasa Arab sehari-hari itu bagai refleksi suara hati, tanpa polesan. Hal itu pula, menjadi ihwal mereka disukai kaum kiri, intelektual, rakyat jelata, dan musisinya dianggap ‘pro kiri’.
“Seorang hakim pernah mengatakan kepada saya bahwa puisi saya kasar,” kenang Nagm. “Saya bertanya kepadanya: ‘Apakah ini lebih kasar daripada apa yang terjadi di Mesir?’ Hakimnya tertawa.”
“Kami adalah masyarakat yang hanya peduli pada yang lapar ketika mereka adalah pemilih (dalam pemilu). Dan hanya peduli pada yang telanjang, ketika mereka perempuan,” katanya. Ia menunjukkan bahwa manusia umumnya lebih peduli tentang “moralitas” daripada memastikan semua orang bisa membeli pakaian.
Pernah menerima “The Prince Clous Award”, salah satu penghargaan budaya terbaik dari Belanda. “Nagm adalah ikon dan pahlawan rakyat, yang terkenal di kalangan sastra karena kualitas, lirik dan keindahan karyanya, dari lagu-lagu cinta hingga sindiran-sindiran radikal, yang membawa bahasa Arab yang kompleks dan sangat bernuansa, ke tingkat puitis yang belum pernah terjadi sebelumnya,” demikian sambutan pihak pemberi penghargaan dari kerajaan Belanda ini.
Meski Eissa dan Nagm sudah menghadap Sang Maha Pencipta, tapi lagu politik dan tema sosial yang mereka usung tetap berkumandang. “Dia dirayakan di jalan-jalan Kairo dan di seluruh dunia Arab, karena menyuarakan semangat gerakan rakyat untuk keadilan sosial.”
Eissa dan Nagm Mengkritik Zionis, Imperialis, Nasser, Sadat, hingga Mubarak
Kemarahan dan kesedihan rakyat, pasca kekalahan Mesir oleh Israel dalam Perang Enam Hari (Six Days War) pada Juni 1967, mendorong rakyat dan mahasiswa turun ke jalan. Mereka berdemonstrasi menentang imperialisme dan zionisme.
Setelah pasukan Mesir terjebak di lorong-lorong Sinai barat, akhirnya Mesir mengumumkan gencetan senjata. Disusul pengunduran diri Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser pada 9 Juni 1967. Lahirlah puisi Bakaret Haha terinspirasi oleh penolakan massa dari pengunduran diri Abdul Nasser dari kursi kepresidenan.
Masa-masa itu memengaruhi kehidupan para seniman Mesir. Kreativitas mereka seolah ambruk, kehilangan motivasi dalam menciptakan seni, lagu, puisi atau buku.
Beberapa seniman berjuang bertahan hidup, melawan frustrasi dan rintangan. Sebagian lainnya menjadi lebih berani dan proaktif bergabung dengan gerakan pemuda yang dibentuk setelah Perang Arab-Israel. Yang jelas, tema-tema protes rakyat saat itu, lazim digunakan sebagai alat ekspresi dalam puisi dan musik.
Seni rakyat menjadi alat komunikasi dan ekspresi frustrasi. Eissa dan Nagm adalah dua nama terdepan dalam hal itu. Puisi Bakaret Haha Puisi yang ditulis pada hari-hari awal kemitraan Eissa dan Nagm, dianggap paling pas dalam melambangkan rasa sakit Mesir setelah kekalahan dari Israel.
Saat yang sama, kondisi sosial, ekonomi, dan politik Mesir saat itu, terlanjur terjungkal. Jangan lupa, lebih dari satu juta kilometer persegi wilayah Mesir adalah gurun. Empat musim yang berlangsung di Mesir, menyajikan suhu panas dan iklim dingin yang sama-sama ekstrim.
Kondisi kalah perang, memperburuk kehidupan rakyat yang menempati wilayah pemukiman hanya seluas 40.000-an km2. Atau 1/3 (satu pertiga) luas Pulau Jawa (128.297 km²).
Ada sekitar 300 lagu karya Eissa dan Nagm, dan sebagian besar bertema kritik politik. Ujungnya, Eissa dan Nagm, keluar masuk penjara dalam empat insiden yang berbeda. Yakni pada tahun 1969, 1972, 1975, 1977, dan 1978.
Puisi-puisinya menjadi semakin penting selama tahun-tahun pemerintahan Mubarak. Saat kemarahan rakyat Mesir membara terhadap korupsi, taktik polisi yang tidak jujur, dan janji-janji reformasi yang rusak.
Mengenai hal itu, Nagm berkata pada 2006, “Dibandingkan dengan Mubarak, Abdel-Nasser adalah seorang nabi. Dan Sadat adalah orang yang sangat baik.”
Berteman Akrab dengan Kemiskinan dan Kelaparan
Syekh Imam Eissa sang pencipta lagu, serta rekan duet sejatinya Ahmad Fouad Nagm sang penyanyi dan komposer, adalah duet maut dalam ‘genre’ lagu politik di Mesir. Keduanya sama-sama memiliki latar belakang kehidupan yang jauh dari enak. Kemiskinan dan penderitaan, rupanya menjadi modal bagi tembang dan puisi ‘unik’ mereka, yang mewakili jerutan hati kelas bawah.
Sheikh Imam Eissa yang lahir pada 2 Juni 1918 di sebuah desa kecil miskin berjuluk ‘Abu al-Numrus’, 50 mil selatan Kairo, menjadi buta pada usia lima bulan. Konjungtivitis atau radang mata, memang merenggut penglihatannya, namun tidak dengan kecerdasan dan bakat musikya.
Eissa balita justru unggul di kelas pembacaan, dan hafal seluruh isi Alquran pada usia 12 tahun. Kepergiannya ke Kairo adalah untuk mempelajari bacaan Alquran dari Sayyid al-Ghouri. Dan musik, dikenalnya pada 1945, berkat pertemuannya dengan Syekh Darwish al-Hariri musisi hebat dari Mesir hebat. Hariri yang mengajari Eissa dasar-dasar musik.
Selanjutnya, Eissa menetapkan diri bahwa memainkan musik adalah hobinya, dan membaca Alquran adalah kariernya. Di tengah komunitas sufi, Eissa jatuh cinta pada Oud (gitar gambus khas Arab). Tiga tahun kemudian, Eissa sudah tampil bernyanyi dan memainkan oud-nya, di acara pernikahan dan ulang tahun.
Kemudian ia bergabung dengan kelompok pelantun agama, pimpinan mubaliq terkenal Abed Al Sami Bayoumi. Dalam bermusik, Eissa mulai tampil membawakan karya-karya
Muhammad Uthman, Abduh Hamouli dan legendaris Sayid Darwish. Eissa yang mukim di Hawsh Kadam, sebuah daerah padat penduduk di lingkungan El Ghouria dekat Kairo, berkenalan dengan Nagm di sebuah rumah temannya di El Ghouria pada 1962.
Ahmad Fouad Nagm lahir pada 1929 di Sharqiyya. Ibunya buta huruf, pendidikan formal Nagm pun hanya sedikit. Namun seperti mayoritas anak-anak Mesir masa itu, Nagm bergabung dengan kelas agama “kuttaab” (Wassim) di desa. Hasilnya, Nagm pernah bekerja sebagai gembala, buruh kereta api, tukang pos, hingga penjaga gorila, sebelum ia memutuskan untuk menjadi seorang penyair.
Nagm ‘menginap’ di hotel prodeo selama 18 tahun semasa pemerintahan mantan presiden Gamal Abdel-Nasser dan Anwar Sadat, karena pandangan politiknya. Tapi Nagm mempersembahkan kritiknya yang paling keras terhadap Mubarak, yang memerintah Mesir selama 29 tahun tanpa pernah memenjarakan penyair.
Sepeninggal Eissa, Nagm masih tajam. Ia mendukung pemberontakan 2011 yang menggulingkan rezim Mubarak.
Syairnya seringkali dipenuhi dengan permainan kata-kata kasar atau vulgar, suatu sifat yang menjadi ciri bahasa jalanan di Mesir. Penampilan dan gaya Nagm yang terus terang, selalu mengenakan galabia, jubah Mesir. Rumah terakhirnya adalah sebuah apartemen kecil di proyek perumahan pemerintah. Itu pun didapatnya dari pihak berwenang ketika Nagm kehilangan rumah sederhananya akibat gempa bumi 1992.
“Kemiskinan adalah pilihan saya. Seluruh keluarga saya miskin, jadi mengapa saya harus berbeda?” katanya. “Saya tinggal bersama rakyat miskin, makan apa yang mereka makan dan dikelilingi oleh polusi dan sampah yang sama,” kata Nagm, si perokok berat berambut perak.
Nagm dikabarkan menikah enam kali, dan menjadi ayah dari tiga putri: Nawara, Zeinab, dan Afaf. Salah satu putrinya adalah aktivis dan kolumnis terkenal Nawara Negm.
“Kamu mungkin tidak menemukan sesuatu dalam kehidupan ayahmu untuk dibanggakan. Tetapi kamu pasti tidak akan menemukan apa pun yang membuatmu malu,” pesannya kepada ketiga putrinya.
Meskipun keduanya dianggap tidak terpisahkan, dan meskipun hubungan mereka terhormat dan profesional, Imam dan Nagm bubar pada pertengahan 80-an. Keretakan terbukti tidak bisa diperbaiki pada tahun 1993 ketika Nagm menyerang Imam dalam memoarnya di majalah Mesir Rose El Yusif.
Pada 7 Juni 1995, setelah lama sakit, musisi dan penyanyi Mesir Sheikh Eissa wafat pada usia 78. Pada hari-hari terakhirnya, Imam hidup sendirian, kadang-kadang dikunjungi oleh tetangga atau teman-temannya. Namun di banyak panggung, musisi-musisi muda Mesir membawakan karya-karyanya di seluruh dunia.
Ahmed Fouad Negm, “penyair rakyat” Mesir yang sajak politiknya tajam menusuk dan menginspirasi para pengunjuk rasa dari tahun 1960-an, meninggal pada 3 Desember 2013 di Kairo, dalam usia 84 tahun.