Sedang Membaca
Generasi Milenial Arab Lebih Suka Bicara Bahasa Inggris
Erik Erfinanto
Penulis Kolom

Bekerja sebagai editor di penerbit Turos Pustaka. Alumni di Al-Azhar Kairo. Kini tinggal di Jakarta.

Generasi Milenial Arab Lebih Suka Bicara Bahasa Inggris

Menurut laporan UNESCO, 230 bahasa dinyatakan musnah dalam kurun antara 1950 dan 2010. Sementara itu, sepertiga bahasa dunia hanya digunakan oleh 1.000 orang. Setiap dua minggu, menurut Nasional Geografi, satu dari sekian bahasa dunia dinyatakan lenyap dari peradaban. Akankah bahasa Arab menjadi bagian yang akan musnah?

Penutur bahasa Arab diperkirakan sebanyak 400 juta, dengan miliaran umat muslim yang setidaknya punya pengetahuan dasar mengenai bahasa ini. 

Akan tetapi, sebuah lonceng bahaya dibunyikan oleh para pakar untuk menandai kondisinya saat ini. Bahasa yang resmi digunakan oleh 22 negara ini, lambat laun semakin ditinggalkan. Arus globalisasi, kolonialisasi, kurangnya inovasi dalam mengajar, arus informasi berbahasa non-Arab, serta kurangnya pengaruh politik yang kuat untuk mencegahnya dinilai penyebab dari semua ini.

Tak ketinggalan, sebuah survei mutakhir pada 2013 lalu di Dubai menyimpulkan bahwa ada fenomena baru di tengah penduduk Arab. Mereka gemar mencampur bahasa Arab dengan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari. Tren ini biasa disebut “Arabizi”.

Tren ini datang bukan tanpa sebab. Pada akhir abad 20, alat komunikasi berbasis teks seperti sms, website, email, IRC dan sebagainya berkembang dengan pesat di Timur Tengah. Umumnya teknologi ini hanya menyediakan fitur huruf Latin, fitur huruf Arab sangat sedikit sekali. Akibatnya, orang Arab melakukan transliterasi tanpa kaidah yang jelas. Demikian ditulis Najwa Abdulatif di alwatan.net

Baca juga:  Rajaban di Buntet Pesantren, dari Ngaji hingga Genjringan

Menurut survei The 2017 Arab Youth, 86% penduduk Arab Teluk umur 18-24 lebih sering menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Arab dalam keseharian mereka. Angka itu meningkat 12% sejak 2016. Sementara penutur Arab Fushah lambat laun kian menurun dengan drastis.

Sementara, menurut laporan The New York Times, mayoritas pelajar di Kampus Northwest University’s Qatar dinyatakan tidak layak berbicara di kanal Al Jazeera. Sementara itu, seorang dosen di Uni Emirat Arab mengeluhkan, lulusan kampus sini kebanyakan tidak mampu membuat kalimat bahasa Arab dengan benar.

Erin Burnett dalam artikelnya di majalah Fortune menemukan kesimpulan yang patut kita telaah, dia mengatakan, Orang Arab itu, semakin kaya semakin jarang menggunakan bahasa Arab di dalam rumahnya. 

Lonceng bahaya telah dibunyikan. Kini, bunyi itu semakin keras

Dr Muna Al Saheli, dalam sebuah konferensi bahasa yang diselenggarakan oleh UNESCO dan persatuan kampus negara Teluk menyatakan, “jika seseorang tak punya kebanggaan untuk mengenal identitas diri, mereka akan mudah menjadi korban kolonialisasi.”

Lebih lanjut, ucapnya, “Saat belajar bahasa Arab, para pelajar merasa sedang memasuki mesin waktu dan dibuang ke reruntuhan masa lalu. Kurikulum yang digunakan sangat merusak perkembangan bahasa, para guru seolah memutus hubungan bahasa dengan masa kini, dan memperkuat gagasan bahwa bahasa Arab itu kuno dan jadul, tidak cocok dengan konteks kekinian.”

Baca juga:  Wayang dari Kacamata Gus Dur: Medium Transformasi Nilai-Nilai Masyarakat

Lain kesempatan, Dr Eiden ahli bahasa dari Irak mendapati bahwa para pelajar yang membaca referensi berbahasa asing itu beralasan bahwa referensi sains dalam bahasa Arab jumlahnya amat sedikit. Sebab penerjemahan buku-buku sains masih sangat minim.  Hal ini lambat laun, secara alamiah akan memperpuruk masa depan bahasa Arab.

Dirinya lantas melanjutkan dengan cerita, “Saat Arab jadi pelopor ilmu pengetahuan, bahasa Arab tumbuh dengan baik, meskipun banyak menyerap bahasa Yunani, Persia dan bahasa lain. Berbeda dengan era pos kolonial, saat bangsa Arab umumnya hidup di bawah tirani diktator yang menekan segala jenis kreativitas dan membatasi kebebasan kita, kemudian menghambat perkembangan orang-orang Arab, secara alami, itu juga menghambat perkembangan bahasa Arab.”

Lebih lanjut, Dr Eiden menyatakan, 30 tahun sudah saya mengikuti beragam konferensi bahasa, semua itu hanya berakhir pada omongan tanpa ada aksi yang nyata.

Persoalan bahasa ini rupanya berpengaruh pada dunia buku di Arab. Sebuah data yang disodorkan oleh Sawsan Khalaf dalam artikelnya di en.qantara.de, pada tahun 2018 hanya ada 15.000 judul buku baru yang terbit berbahasa Arab. Jumlah itu lebih sedikit dari jumlah buku yang diterbitkan Pinguin Random House, yakni sebanyak 18.000 tiap tahun.

Akhirnya, bahasa hanya sebuah alat bagi kebudayaan. Enggan menguasai alat utama kebudayaan ini berakibat menurunkan jumlah terbitan buku, website, dan artefak-artefak lain. Jika tak dijaga, bisa jadi anak turun kita tidak lagi mengenali bahasa Alquran ini.

Baca juga:  Mendengarkan Tuhan

Kembali ke Indonesia. Dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia merupakan rumah bagi 3.962.700 santri yang selalu tekun mengkaji bahasa Arab. Keinginan terdalam mereka, menguasai bahasa Arab dengan sempurna, sebagai pencapaian yang sulit dijelaskan. Tanpa peduli dengan kenyataan bahwa orang Arab berlahan mulai melupakan bahasa ibu mereka sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top