Erik Erfinanto
Penulis Kolom

Bekerja sebagai editor di penerbit Turos Pustaka. Alumni di Al-Azhar Kairo. Kini tinggal di Jakarta.

Gamal Abdel Nasser “Membully” Ketua Ikhwanul Muslimin: Hijab Tidak Wajib

Coup d’état, 1952. Mesir baru saja digulung Revolusi 23 Juli. Gamal Abdel Nasser dan Mohammad Naguib yang mewakili kaum nasionalis Mesir, tampil memimpin proses pelengseran kekuasaan Raja Farouk II.

Namun mereka tak sendiri. Ada kelompok-kelompok lain, yang meski berbeda paham—namun satu tujuan. Salah satunya, dan kelak menjadi musuh bebuyutannya kaum nasionalis, adalah kelompok Ikhwanul Muslimin (IM).

Bukan berita baru, jika kedua kelompok ini kerap baku gontok. Namun ada kisah unik, saat Presiden Nasser mengolok polah petinggi IM, dalam sebuah pidatonya pada tahun 1966. Pidato yang diwarnai gelak tawa para hadirin itu, dipicu oleh hal yang dianggap konyol oleh Nasser. Yaitu tentang ngototnya Ketua IM  soal pasal “Wajib Jilbab” bagi kaum hawa Mesir.

Suatu hari pada 1966, dalam pidato kepresidenan, Nasser bercerita, mengenai pertemuannya dengan ketua IM. Pidato tersebut dapat kita saksikan dalam sebuah video berdurasi 2 menit 37 detik. ( Videonya bisa dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=0fswb4a9jcU )

Isi pidatonya sebagai berikut.

“Pada 1953, kami bersedia menjalin kerja sama dengan IM. Syaratnya, mereka bersedia mengikuti cara yang kami anggap benar dan layak. Maka kami pun bertemu.

Ketika kami bertemu, Ketuanya duduk bersama saya. Kemudian ia mengajukan permintaannya. Anda tahu apa yang dia minta?

Permintaan pertamanya: bahwa jadikan penggunaan hijab sebagai mandat di Mesir. Sehingga semua perempuan, wajib mengenakannya saat berjalan di luar rumah. Wajib Bagi Semua Perempuan!”

Tiba-tiba, di tengah pidato Presiden Nasser tersebut, tampak seseorang nyeletuk dari kerumunan, “Suruh saja dia (Ketua IM) yang memakai.”

Nasser tersenyum mendengar celetukan itu. Suasana hening ruangan auditorium, pecah oleh tawa. Para hadirin tak dapat menahan gelak, termasuk Nasser yang sedang berdiri gagah di atas podium.

Lanjut Nasser, Jika undang-undang itu sampai disahkan, orang akan bilang: kita bakal balik ke masa lalu. Saat Alhakim Bi Amrillah melarang warganya untuk keluar rumah, kecuali di malam hari.

Baca juga:  Kisah Kecerdikan Umar bin Khattab dan Amr bin Ash dalam Menangani Wabah Pes

Menurut pendapatku, setiap orang berhak menentukan aturannya masing-masing mengenai hal pribadi. Hijab itu urusan personal.

Saudara-saudara, ketua IM itu lalu menjawab: “Tidak bisa! Sebagai seorang pemimpin, Anda lah yang harus bertanggung jawab untuk itu.”

Saya pun menanggapinya begini, “Wahai Ustaz yang terhormat, Anda ini kan juga punya anak perempuan yang sedang kuliah di fakultas kedokteran, dan dia tidak mengenakan jilbab. Mengapa bukan anak perempuanmu saja yang duluan Anda suruh pakai jilbab?”

Penonton makin tertawa, sejadi-jadinya, selama beberapa detik. Dan Nasser, dengan senyum yang amat sarkas, ikut tertawa, sambil mundur sedikit dari mikrofon.

“Jika Anda tidak bisa membuat satu orang saja, memakai jilbab…” 

Untuk menguatkan kesan dramatis, pertanyaan itu diulang lagi oleh Nasser: 

“Jika Anda tidak mampu membuat satu perempuan saja memakai hijab, dan orang itu adalah anak Anda sendiri, lantas bagaimana Anda ngotot memaksa saya untuk menyuruh 10 juta perempuan Mesir memakai hijab? Saya sendirian pula?” 

Nasser pun ngakak… Diiringi gemuruh tepuk tangan dari segala arah, sambil terpingkal-pingkal…

Mirip dengan Bung Karno, Nasser merupakan orator andal pada zamannya. Bedanya, Nasser lebih unggul dalam mengolah lelucon. Hal ini bisa kita jumpai di banyak dokumen visual Nasser di kanal youtube.

Raja Farouk yang Glamor

Sebagai penguasa Mesir ke-10 dari Dinasti Muhammad Ali, Raja Farouk rupanya membuat rakyat gerah. Korupsi dalam pemerintahannya, dan tak becus memimpin negara, menjadi alasan rakyat ‘naik setum’. Alias marah tingkat dewa, pada raja yang masih ABG (belum genap 17 tahun) saat kepalanya dipasangi mahkota ayahnya, Raja Fuad I, pada 1936.

Farouk II ini dikenal shopaholic alias gila belanja dan hidup glamor, kerap salah urus dalam berbagai hal terkait memerintah dan mengelola negara. Ketidakbecusannya memuncak, terlihat pada runyamnya strategi yang diambil dalam perang Arab-Israel tahun 1948. Akibatnya, perang yang dipicu proklamasi berdirinya negara Israel oleh David Ben Gurion  pada 14 Mei 1948. Padahal, Israel seharusnya keok, karena dikeroyok Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir, Irak dan negara-negara Arab lainnya.  

Baca juga:  Sejarah Singkat Kopi: antara Konservatisme dan Kenikmatan

Serangan Mesir dan Yordania terhadap pasukan Israel di Negba pada 21 hingga 27 Mei 1948, acak adul. Pun serangan Mesir terhadap Tel Aviv, mandul. Padahal saat itu Israel belum punya Angkatan Perang (IDF, Israel Defence Forces), dan hanya Haganah: pasukan paramiliter yang terlatih dan merupakan bagian dari militer Inggris. Salah satu pentolannya, Moshe Dayan yang legendaris itu.

Baginda Farouk II yang didaulat sebagai pecundang oleh rakyat, akhirnya dikudeta. Ia dimakzulkan, lalu dibuang jauh-jauh ke Monako dan Italia. 

Revolusi 1952 yang dipelopori duet Nasser-Naguib berhasil menumbangkan 150 tahun monarki Mesir, digantikan republik. Sekaligus membebaskan Mesir dari tirani kolonialisme yang berlangsung cukup lama, dengan  Inggris sebagai penutup sejarah pendudukan atas negeri 1000 menara ini.

Tapi revolusi ternyata tak pernah melahirkan sesuatu yang ajeg. Ia berproses, dan kadang sangat menyakitkan. Sampai-sampai Bung Karno, sahabat Gamal Abdel Nasser, pernah berkata, “Dalam sebuah revolusi, bapak makan anak adalah hal yang lumrah.”  

Dan ‘kutukan revolusi’ itu pun terjadi di Mesir: setahun berselang, kepentingan politik dalam negeri pun berlomba-lomba muncul dan baku sikut. Bahkan para pemimpinnya pun baku-bully, dan lucunya: kalau perlu adu bacot. 

Sejatinya revolusi Mesir 1952 ini, dipelopori oleh kaum nasionalis, dengan Nasser sebagai pionirnya. Namun sulit diingkari pula, kaum ‘konservatif’ dari Ikhwanul Muslimin (IM), juga urun andil. Maka IM merasa lumrah meminta jatah.

Sejarah mencatat, pergantian monarki menjadi republik, teramat membutuhkan demokrasi sebagai rohnya. Masalahnya, IM bukanlah kelompok yang sepenuhnya sepakat dengan konsep demokrasi.

Pada era Perang Dunia II,  IM membentuk “aparat khusus” sebagai sayap militernya. Untuk menunjang kemahiran berperangnya, pada awal 1940-an, IM mendirikan kamp latihan gerilyawan di Bukti Mukatam, Kairo. Maka kelompok yang mahir olah bom ini, dikenal ogah kompromi dengan Bangsa penjajah.

Baca juga:  Mewaspadai Gerakan Delegitimasi Konstitusi

Pada akhir Perang Dunia II, IM mengklaim punya dua juta pengikut di Mesir. Penuh percaya diri, mereka mendirikan ‘pengadilan semi yudisial’ untuk mengeluarkan fatwa. Implementasinya: IM merasa berhak  mengadili orang-orang atau kelompok yang mereka anggap mengkhianati negara dan agama. 

Masa-masa muak rakyat Mesir terhadap Farouk II, diwarnai pengeboman kompleks perbelanjaan Circurrel pada 1948. Ditengarai, sayap militan IM yang berada di belakang peristiwa tersebut. Teror IM belum berhenti, saat terjadi pembunuhan Hakim Ahmed Al-Khizindaar, serta Perdana Menteri Mahmoud al-Nuqrashi Pasha. .

IM sempat berjalan bersisian dengan Kolonel Nasser. Namun, situasi berbeda saat tujuan bersama telah teraih. Pihak yang menjadikan demokrasi sekedar alat, bukan sebagai tujuan, harus terima konsekuensi: terdepak dari altar kekuasaan. Golongan nasionalis dan IM akhirnya pisah kongsi.

***

Terlepas dari wajib tidaknya memakai hijab, produk budaya atau perintah agama, rasanya Nasser punya banyak persoalan negara yang lebih mendesak untuk diselesaikan, lebih-lebih bangsanya baru saja merdeka. Wajar saja bila Presiden Nasser senang menceritakan guyonan penting ini.

Nasser adalah pemimpin bangsa Arab kala itu. Omongannya didengar oleh seluruh warga Arab. Gagasan-gagasannya dicontoh oleh pemimpin negara-negara Arab lain. Dia bukan hanya milik rakyat Mesir semata. Bahkan, Moammar Khadafy, pemimpin revolusi Libya, kesengsem padanya. Khadafy takzim pada Nasser, bahkan mengaku sebagai anak ideologinya Nasser.

Nasser bukan tak kenal Islam. Dia membaca Alquran, mengerti hadis, suka dengan karya Ahmed Shawqi, mengagumi Taufiq Hakim, yang kebetulan juga membaca sepak terjang Kemal Attaturk. Dirinya tidak sedang gerah dengan Islam, tapi rasanya dia tahu betul apa itu prioritas.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top