Saat diminta pamannya, Kiai Abdul Fattah Hasyim (W. 1977) untuk membantu mengurus Pesantren Tambakberas, Gus Dur muda manut saja. Gus Dur pun manut saat diminta menjadi kepala keamanan pesantren.
Itulah Gus Dur, manut sama kiai, lebih-lebih pamannya sendiri. Padahal, sebagai cucu Kiai Hasyim Asy’ari dan sebagai anakmuda yang pintar, bisa saja Gus Dur minta menjabat lurah pondok agar lebih keren, atau kepala madrasah diniyah agar lebih tampak intelek. Namun, aji mumpung itu dipakai Gus Dur. Ia memilih diam dan manut, meski posisi keamanan resiko tinggi: dimusihi banyak santri nakal bin bandel.
Suatu hari, Gus Dur menghadapi satu kasus nyeleneh, yakni banyaknya aduan berupa hilangnya celana dalam sejumlah santriwati. Bhaa..
Gus Dur pun memutar otak. Para santri dikimpulkan di masjid. Kemudian semua pengurus ditugaslan merazia semua sisi kamar pondok dan sekitarnya. Ketemulah sebuah lemari santri yang menyimpan sejumlah celana dalam cewek.
Pelakunya dipanggil, disidang ramai-ramai dengan kepala sidang Gus Dur, sang kepala keamanan. Hasilnya, pengurus pondok memutuskan untuk mengeluarkan santri itu.
Lalu Gus Dur pun menghadap sang pengasuh, ke Kiai Fattah. Gus Dur menceritakan semua kejadian itu beserta rekomendasi pengurus untuk mengeluarkannya. Alasan pengurus yang paling utama ialah perbuatan tersebut tak sepantasnya dilakukan oleh santri yang belajar agama, dan tentu saja memalukan nama besar pesantren.
Kiai Fattah menyetujui usul yang disampaikan Gus Dur supaya santri itu dikeluarkan dari pondok. Beliau berpesan supaya santri itu beserta seluruh barangnya dibawa ke hadapannya.
Setelah santri tersebut dihadapkan ke Kiai Fattah, beserta seluruh barangnya yang telah dikemas, Kiai Fattah malah memberikan sebuah ruangan di ndalem (rumah kiai) kepada satri tersebut.
Gus Dur dan semua pengurus musykil, heran. Akhirnya memberanikan bertanya, “Kenapa ini malah ditampung di ndalem, Pamanda?”
“Lah ya kan sudah sesuai rekommu,” sahut Kiai Fattah. “Santri ini dikeluarkan dari pondok dari kamarnya, karena perbuatannya. Ya ini, sekarang saya tampung di kamar saya….” sambungnya.
Kiai Fattah tersenyum. Beliau mengerti kemusykilan Gus Dur dan kawan-kawan pengurus. Gus Dur dan para pengurus tak bisa berkata apa lagi.
Sejak saat itu, setiap Kiai Fattah beraktivitas di dalam dan luar pesantren, santri nakal tersebut menyertainya. Mulai dari menyiapkan kitab-kitab buat ngaji, ragam peralatan salat, hingga menemui tamu sebelum sang kiai menemui, dan lain sebagainya.
Bertahun-tahun melakoninya, santri tersebut dengan sendirinya menjelma sosok yang luar biasa. Ngajinya bagus, gaulnya bagus, dan sebagainya.
Ia, si santri pencuri celanan dalam atau cawat itu, lalu disebutkan menjadi kiai di kampung halamannya.
Suatu hari, belasan tahun kemudian, ndilalah Gus Dur yang telah menjabat ketua umum PBNU berjumpa dengan santri nakal yang telah jadi kiai tersebut. Ia tertawa ketika Gus Dur mengatakan: “Selain ngaji dengan tertib sebagaimana lazimnya orang nyantri, untuk menjadi kiai ada jalan lain, yakni ngoleksi sempake santriwati….”
Keduanya terbahak.
Gus Dur nyeletuk lagi, “Kang, dulu ada sempaknya santriwati yang warna merah toh? Sepertinya itu sempak yang paling bagus ya….”
Keduanya ngakak lagi.