Sedang Membaca
Cerita Nyata Alumni Sekolah Muhammadiyah Daftar di Pesantren NU
Edi AH Iyubenu
Penulis Kolom

Sastrawan, praktisi perbukuan. Tinggal di Jogjakarta

Cerita Nyata Alumni Sekolah Muhammadiyah Daftar di Pesantren NU

  • Tidak dapat dipungkiri, bab "ibadah" menjadi pembeda antara NU dan Muhammadiyah. Meski tidak serta yang qunut itu NU atau yang tidak qunut itu Muhammadiyah, tapi orang NU dipastikan qunut dan Muhammadiyah tidak qunut, kecuali keduanya NU dan Muhammadiyah "bengkok". Tapi alhamdulillah, hari-hari ini qunut dan sejenisnya tidak menjadi persoalan, kecuali yang tidak mengerti.

Beberapa bulan lalu, saya mendaftarkan anak kedua saya, Gara, ke pesantren Pandanaran. Saya mendaftarkannya lewat jalur formal. Daftar daring, lalu melengkapi semua data, dan dapatlah nomor tes masuk serta kisi-kisi soal ujian. Saya pun mempersiapkannya dengan baik.

Saya mengantar Gara lengkap dengan membawa dokumen kopiannya, sesuai ketentuan. Tibalah ia memasuki ruang tes yang terdiri dari sejumlah meja. Para pengujinya saya terka anak-anak setara Aliyah.

Saya mendoakan dari luar semoga proses ujiannya berjalan lancar. Ada ujian hafalan (Alquran)  surat-surat pendek. Ujian pegon. Dan ujian praktik salat. Insya Allah, entenglah.

Sekian menit kemudian, Gara keluar dengan muka pucat. Saya menyongsongnya. Ia berkata, “Yah, kata Masnya, aku nggak lulus tes salatnya….”

Hah? Kaget luar biasa saya. Wong Gara ini rajin banget salatnya. Sering betul ia bareng saya ke masjid atau musala kampung.

Saya penasaran. Saya lalu permisi masuk dan bertanya kepada penguji bagian praktik salat itu.

“Dik, anak saya ini katanya nggak lulus praktik salat, masalahnya di mana ya? Dia rajin loh salatnya….”

“Oh ya, Pak, mohon maaf, bacaan salatnya bukan salat NU, Pak….”

Saya maktratap. Saya ingat satu hal, yang tak saya perhitungkan: Gara ini sejak TK sampai lulus SD, sekolahnya di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Tentulah bacaan salatnya ala Muhammadiyah begitu. Allahumma ba’id baini….dan tak ada qunut.

Baca juga:  Kisah Merpati di Zaman Nabi

Saya berkara lagi, “Dik, kalau melihat dokumen anak saya, dia memang sejak kecil sekolah di Muhammadiyah, kan. Jadi wajar kalau bacaan salatnya ala Muhammadiyah. Nanti kalau sudah masuk, kan dengan sendirinya bisa berubah jadi salat ala NU, ya. Mohon kebijakannya agar ada masa transisi tersebut….”

“Maaf, Pak….”

“Dik, saya ini NU thothok, loh, juga pengurus di PWNU….”

“Mohon maaf, Pak….”

“Ya, ya, saya paham. Sekarang bisa kasih waktu untuk tes ulang soal praktik salat NU itu?”

“Iya, Pak, silakan, tiga hari bagaimana?”

“Oke, insya Allah, bisa. Saya akan sulap dia jadi fasih salat ala NU….”

Jadilah tiga hari kemudian menjadi hari-hari yang NU banget buat Gara. Siang malam saya ajari bacaan-bacaan salat ala NU. Sampai ke qunutnya.  

Agar lebih mantap, saya lengkapi sekalian dengan mengajarkan doa-doa tahlilan lengkap. Plus selawat Nariyah. Bukan kalimat-kalimat thayyibah saja.

Hari Sabtu pagi, saya anter Gara ke pondoknya. Tes lagi. Tak ada sepuluh menit, ia keluar dengan wajah sumringah. Lulus!

Di perjalan pulang, saya membatinkan sejumlah hal:

Pertama, kini telah sah Gara saya NU-kan se-NU-NU-nya. “Gen NU” saya telah menetes deras ke sekujur jiwa raganya.

Kedua, problematis ternyata jika tak menyiapkan secara jangka panjang “hal-hal kecil” beginian semenjak dini. Maksud saya, umpama dari dulu saya kepikiran memondokkan Gara di pesantren NU, tentulah afdal bila sejak dini ia sekolahnya di lembaga-lembaga NU saja. Agar sejak dini telah akrab dan fasih dengan tradisi-tradisi NU, seperti bacaan-bacaan khas tersebut.

Baca juga:  Harlah Lesbumi ke-56: Kebudayaan Pesantren dan Fungsi Politisnya

Bagaimanapun, kendati saya berhasil mempermak Gara dalam tiga hari, perjuangannya untuk mengubah tradisi Muhammadiyah yang telah mengendap lama itu tidaklah ringan belaka. Minimalnya, ia mesti bekerja keras dalam hal menghafal ulang begitu banyak bacaan khas NU.

Pasti saja ada hikmahnya, diharapkan hikmahnya, yakni anak saya, Gara, dapat mengerti perbedaan-perbedaan sejak dini, sehingga kelak dia tidak gumun dengan perbedaan-perbedaan. Terima kasih sekolah Muhammadiyah, terima kasih pesantren NU.

Jadi, saran saja, bila anak-anak Mas Iqbal Aji Daryono, Mas Alim, dan Mas Jumaldi Alfi kelak hendak dipondokkan di pesantren-pesantren NU agar jago Burdahan dan ziarah kubur, penting untuk dipertimbangkan sejak dini perkara tersebut. Demi memudahkan anak saja.

Ketiga, saat ini, jelang keberangkatannya ke pondok, saya sedang berjuang keras mengajari Gara cara mengenakan sarung yang praktis dan cepat. Standar kecepatan yang saya targetkan ialah bisa memakai sarung dengan genah sembari berlari. Ini penting, buat jaga-jaga jika ia nantinya telat bangun Subuh dan mesti lari ke masjid pondok sembari memberesi sarungnya. Semoga saya berhasil lagi kali ini. Mohon doanya ya, amin.

Jogja, 6 Juni 2019

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
4
Senang
2
Terhibur
3
Terinspirasi
4
Terkejut
4
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top