Sejak terbit pada Maret 2022, buku monograf berjudul “Wali Pitu and Muslim Pilgrimage in Bali, Indonesia” yang ditulis oleh Dr. Syaifudin Zuhri (Dosen dan Peneliti di UIN Sayyid Ali Rahmatullah, Tulungagung) memikat penulis untuk menguliknya. Tak heran, fenomena “Wali Pitu di Bali” memiliki pro dan kontranya tersendiri, baik dari segi historis maupun politis.
Pada hari Rabu, 2 November 2022, karya ini menjadi bagian dari salah satu sesi “Book Review” dalam acara the 21st Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang diadakan di Bali. Sayangnya, penulis tidak sempat mengikuti acara tersebut. Alhasil kesempatan untuk menuntut ilmu serta bertemu pengarang buku tersebut pun hilang.
Beruntungnya pada malam harinya, penulis berkesempatan berjumpa dengan Dr. Syaifudin Zuhri secara singkat dan hanya menyempatkan bersalaman serta memperkenalkan diri sekilas tanpa foto bersama karena keterbatasan waktu beliau.
Pertemuan tersebut mendasari tulisan ini lahir, walaupun sebenarnya ide ini sudah terbesit sejak lama. Melalui laman facebooknya, Syaifudin Zuhri mengunggah link bagaimana cara mengakses buku Wali Pitu tersebut. Sayang sekali versi lengkapnya tidak tersedia dan kita harus membelinya untuk mengakses secara keseluruhan. Apalagi buku ini terbit di Leiden University Press yang tentu saja harganya cukup menguras kantong dan belum tersedia di toko buku Indonesia.
Penulis hanya dapat membaca bagian pendahuluannya saja dalam format pdf. Walaupun hanya menampilkan sedikit dari keseluruhan isi buku, gambaran dan cerita pengalaman musonif bagaimana menulis buku ini terbilang cukup untuk dijadikan referensi.
Istilah Wali Pitu
Wali Pitu di Bali memiliki banyak pro dan kontra, meskipun sudah banyak peziarah yang mengunjunginya sejak beberapa tahun terakhir. Setidaknya hal ini terlihat dari cerita Syaifudin dalam buku tersebut. Beliau menuliskan bahwa fenomena yang sedang viral di “Pulau Dewata” ini memiliki banyak kontroversi baik bagi para muslim di Bali sendiri maupun para peneliti, seperti yang terjadi di daerah Jembrana, Wali Negara. Hanya saja, perdebatan tersebut nampaknya tidak berlaku bagi para peziarah. Sehingga mereka tetap menikmati wisata religi ini.
Dalam introduction buku tersebut, Syaifudin menerangkan bahwa ia hanya meneliti Wali Pitu di 3 tempat saja, Wali Negara, Wali Seseh Mengwi, dan Wali Bukit Bedugul. Ke 4 Wali Pitu yg lain yaitu, Wali Keramat Pemecutan, Wali Kusamba, Wali Kembar Karangasem, dan Wali Karang Rupit tidak dijelaskan dalam penelitiannya. Mungkin, hal ini disebabkan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh Syaifudin.
Apakah 4 Wali Pitu dari daerah yg lain memiliki kesamaan dengan 3 wilayah sebelumnya? Atau justru memiliki keunikan tersendiri?
Yang penulis maksud dari kata “kesamaan” dan “keunikan” di sini merujuk dari penelitian etnografi yang dilakukan penulis buku tersebut, dimana seorang peneliti melakukan kajian mendalam tentang objek penelitiannya (sekelompok orang) dan mengungkapkan sosio-kultural mereka. Patut diduga dari keseluruh tokoh yang dianggap Wali Pitu tersebut memiliki tradisi masyarakat yang berbeda-beda. Sehingga penelitian ini dapat memberikan penjelasan yang lebih komprehensif apabila masing-masing dari ke tujuh wali tersebut diungkap. Untuk lebih lanjut tentang apa itu etnografi bisa baca di sini.
Syaifudin menyebut bahwa fenomena ziarah Wali Pitu ini dicetuskan oleh Toyyib Zaen Arifin pada 1992, seorang ulama lokal dari Sidoarjo. Beliau menulis buku “Sejarah Wujudnya Makam ‘Sab’atul Auliya’, Wali Pitu di Bali” (Ponpes Lirboyo, Kediri, Jatim,1998).
Beberapa penelitian menyebutkan, seperti apa yang ditulis oleh Amin Tohari (hal.124), “was discovered” atau ditemukan olehnya, Toyyib Zaen Arifin.
Padahal yang lebih tepat adalah “was created” atau dibuat olehnya. Karena Wali Pitu ini merupakan buatan beliau sendiri terinspirasi dari pengalaman rohani yang dialaminya. Referensi menarik lainnya yang dikutip oleh Amin, yaitu tulisan dari M. Slama. Hanya saja penulis belum sempat untuk membacanya. Namun, ini menunjukkan bahwa Wali Pitu sudah menarik perhatian para peneliti di Indonesia maupun mancanegara.
Namun, penulis dalam konteks ini kurang setuju dengan fenomena ziarah tersebut. Pada dasarnya terdapat beberapa kepentingan di dalamnya. Atau kata lainnya, Wali Pitu sebenarnya bukan wali yang orang-orang asumsikan seperti Walisongo di Jawa. Melainkan, Wali Pitu tersebut didesain sedemikian rupa dengan berbagai alasan, yang salah satunya adalah kepentingan pariwisata agar para wisatawan lebih banyak berdatangan ke Bali.
Mengenai hal tersebut, penulis belum mampu memaparkan argument yang kuat. Hanya saja literatur yang mengkritisi Wali Pitu sendiri sudah cukup banyak. Salah satunya tulisan yang ditulis oleh Edy M Yakub.
KH. Fathurrahim (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ikhlas Jembrana Bali) juga memiliki pendapat yang sama. Ia menerangkan bahwa Wali Pitu secara historis tidak bisa disamakan dengan Walisongo di Jawa yang memiliki karomah sebagaimana yang kita ketahui. Wali Pitu (tanpa merendahkan sosok yang diwalikan tersebut) merupakan kepentingan pariwisata saja yang dapat menarik orang Islam khususnya dari Jawa untuk berkunjung ke Bali (wisata sekaligus ziarah).
Amin dalam tulisannya (hal.126) menyebutkan bahwa sejarah Wali Pitu merupakan berkaitan dengan sejarah awal mula masuknya Islam di Bali. Hal tersebut kurang tepat adanya karena, pertama, Wali Pitu tidak memiliki keterkaitan langsung dengan kedatangan Islam pertama di Bali. Kedua, Wali Pitu merupakan hasil gagasan dari Toyyib Zaen Arifin yang jika ingin dikaitkan dengan penyebar Islam di Bali dibutuhkan kajian yang mendalam untuk menghubungkan apakah Wali Pitu benar-benar memiliki garis keturunan atau hubungan erat dengan penyebar Islam pertama di Bali.
Terlepas dari segala perdebatannya, Ziarah Wali Pitu Bali menjadi destinasi menarik bagi para wisatawan yang ingin menikmati ziarah dan liburan dalam satu momen. Bahkan, Wali Pitu bisa menjadi provinsi yang memiliki Indonesian Halal Tourism Destinations sebagaimana yang ditulis oleh Khairuddin. Tak heran, saat ini sudah banyak biro travel yang menyediakan paket wisata sekaligus ziarah dengan harga yang terjangkau. Selain sebagai wisata religi, agaknya momen ini juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat Bali, yang mana pada masa pandemi kemarin terdampak cukup parah. Wallahu a’lam bisshowab.