Indonesia dikenal sebagai negara pluralis dengan segala bentuk keragaman suku, budaya, bahasa, hingga agama, serta kepercayaan yang menjadikan Indonesia sebagai contoh bersatunya seluruh keberagaman dalam persatuan. Hal ini sesuai dengan mimpi negara Indonesia yang tertuang dalam kalimat yang terikat pada kaki sang garuda yaitu “Bhinneka Tunggal Ika” yang memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu jua (Unity in diversity).
Namun asa ini dicederai beberapa catatan yang dirangkum oleh SETARA Institute beberapa waktu lalu. Mereka mengidentifikasi ada dua PR besar yang perlu ditindaklanjuti oleh Indonesia dalam hal toleransi, yaitu maraknya kasus penodaan agama dan gangguan tempat ibadah. Persoalan tersebut merupakan dua kategori pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) yang dominan pada tahun 2020 dan 2021.
Di tahun 2020, tercatat setidaknya ada 20 kasus kriminalisasi menggunakan hukum penodaan agama dan terdapat 24 tempat ibadah yang mengalami gangguan. Pada tahun 2021, walau dari sisi jumlah peristiwa terjadi penurunan, tetapi berdasarkan data dari SETARA Institute, penodaan agama dan gangguan tempat ibadah masih menjadi kasus menonjol. Setidaknya ada enam kasus kriminalisasi menggunakan penodaan agama dan enam gangguan tempat ibadah. Jumlah ini belum termasuk kasus-kasus lama yang belum selesai, seperti kasus-kasus gereja di Aceh Singkil atau gereja HKBP Filadelfia di Kabupaten Bekasi.
Hal tersebut semakin menyakinkan kita bahwa predikat Indonesia sebagai salah satu model negara toleran di dunia, tempat agama dan demokrasi dapat hidup secara berdampingan mulai diragukan dalam beberapa tahun terakhir ini.
Tak hanya itu, masih adanya desas-desus serangan teror kian menambah kekhawatiran dan ketakutan masyarakat dunia akan tindak kekerasan yang dilakukan oleh jaringan teroris dunia di Indonesia. Ancaman itu terus menimbulkan persepsi bahwa Indonesia masih menjadi sarang atau tempat berkembangnya kelompok teroris di wilayah Asia Tenggara (homegrown terrorism).
Adanya aksi pengeboman dan konflik komunal yang disalah-artikan sebagai konflik antar umat beragama di berbagai wilayah di Indonesia, juga telah mencoreng wajah Islam di Indonesia karena secara fakta, para pelakunya adalah individu-individu yang beragama Islam. Mispersepsi dan misinterpretasi negara-negara di Barat yang mengkaitkan Islam dan terorisme tentunya merugikan negara-negara Islam di dunia termasuk Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Tidak hanya mencoreng citra Indonesia sebagai negara paling toleran di dunia tetapi berbagai konflik yang bermunculan sekaligus menjadi ancaman nyata bagi keutuhan negara Indonesia. Lebih lanjut, bila kebebasan beragama semakin dibatasi, riset dari Georgetown University dan Brigham Young University justru memperlihatkan bahwa pertumbuhan sosial ekonomi suatu negara akan menjadi terhambat.
Ketika kebebasan beragama tidak dihormati, kemungkinan peningkatan kekerasan dan konflik justru kian menjadi-jadi. Kegiatan ekonomi malah semakin rentan terhadap gangguan keamanan. Hal tersebut akan bisa mengguncangkan dinamika investasi lokal dan asing yang was-was terhadap progres pembangunan berkelanjutan.
Contoh nyata bisa dilihat di Mesir, di negeri Cleopatra itu peraturan agama dan konflik telah berdampak buruk pada geliat industri pariwisata. Dari sana, kita bisa belajar bahwa toleransi adalah unsur utama dalam mewujudkan perdamaian dan stabilitas sosial politik hingga ekonomi, yang tentunya sangat penting bagi bisnis karena ketika stabilitas telah tercipta, akan ada lebih banyak kesempatan untuk berinvestasi dan melakukan operasi bisnis yang normal dan dapat diprediksi.
Oleh karenanya, jika perayaan Natal tahun ini kita masih saja berkoar-koar persoalan yang sama, dan belum mampu menjadi role model toleransi kelas dunia, pantas saja posisi Indonesia kerap dipandang sebelah mata. Bagaimana tidak, kita hingga kini belum sepenuhnya menginternalisasi pesan Gus Dur tentang prinsip dasar kemanusiaan yang menjadi fondasi kuat bagaimana menciptakan stabilitas sosial ekonomi kokoh demi berkompetisi di tingkat global.