Cerita Negeri Kaum Beribadah. Orang sinting ini pun tertawa riuh “… Masjid ialah tempat bersujud. Dan yang namanya tempat itu tidak harus ruang, bangunan, bentuk, dinding, tiang, atau hiasan-hiasan. Ia bisa saja sebuah perbuatan, sekecil apa pun. Setiap perbuatan untuk Allah adalah masjid bagi nilai hidupmu ….”
Penggalan cerita penulis ambil dari buku Seribu Masjid Satu Jumlahnya (Mizan, 2016) karya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Buku ini adalah cetak ulang dari buku sama yang pernah diterbitkan pada tahun 1990-1997 dan telah mencapai cetakan ke-9.
Kita bisa memahami cerita Negeri Kaum Beribadah melalui asal mula kata masjid dalam buku Masjid-Masjid Bersejarah di Jakarta (Kartum Setiawan dkk, 2010) dan buku Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Drs. Sidi Gazalba,
1994).
Masjid berasal dari bahasa Arab sajada-yasjudu-sujuudan, yang berarti sujud menundukkan kepala sampai ke tanah. Dari kata sajada kemudian terbentuk kata masjid (jamak: masaajid) yang artinya tempat sujud. Pengertian tempat sujud di sini tidak mengacu pada bangunannya –beratap atau tidak, berbatas atau tidak– yang pokok adalah tempat sujud. Sajada bisa dimaknai dengna tunduk atau patuh sehingga masjid pada hakikatnya adalah tempat untuk melakukan segala aktivitas yang berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah semata.
Cak Nun mungkin telah memiliki dugaan, di abad mutakhir orang akan memaknai masjid sebagai bangunan fisik yang terikat oleh bentuk, dinding, tiang, dan hiasan-hiasan mewah lainnya yang keluar dari esensi masjid sebenarnya.
Ternyata dugaan itu benar. Saat ini begitu banyak masjid mewah di negeri ini yang dibangun dengan anggaran besar dari pemerintah. Bahkan bangunan pendukung seperti menara, lokasi parkir, kios, kolam, serta taman juga dibangunan dengan anggaran miliaran rupiah.
Misalnya yang dikabarkan Solopos beberapa waktu lalu (19/10/2017). Masjid Agung Al Aqsha Klaten pada tahun 2015 membuat rencana pembangunan menara dengan alokasi dana dari APBD sekitar RP11 miliar.
Menara yang dibangun direncakan memiliki ketinggian 66,66 meter dengan diameter menara pada bagian bawah berukuran 25 meter. Namun hingga dua tahun berlalu target pembangunan tidak tercapai. Hasil mengecewakan
karena ketinggian menara hanya 35 meter.
Maka untuk melanjutkan proyek menara tersebut akan digelontorkan dana lagi Rp3 miliar melalui APBD 2018. Rencananya menara akan dilengkapi lift untuk mempermudah pengunjungi naik menuju ruang pameran
dan gardu pandang.
Harapan dari pemerintah setempat, Masjid Agung Al Aqsha akan menjadi objek wisata baru di Kabupaten Klaten.
Kita bisa membayangkan saat masjid, menara, lokasi parkir, kios, kolam, serta taman sudah jadi dan benar-benar Masjid Agung Al Aqsha menjadi objek wisata, tempat hiburan dan rekreasi. Yang pertama kali dilakukan para wisatawan bukan melakukan shalat sunnah tahiyyatul masjid, justru mengeluarkan kamera untuk memotret seluruh ruangan masjid dan
berpose dibeberapa sudut masjid.
Kemudian mereka akan terkagum-kagum melihat arsitek dan perancang masjid yang dibangun: megah, luas, mewah,
bertingkat, dan berkelas. Para ‘pelancong masjid’ akan berdatangan dari berbagai daerah dan mungkin juga dari mancanegara.
Tentu kesibukan para wisatawan bukan pada ibadah apa yang terbaik jika berada di dalam masjid, melainkan pada menikmati keindahan dan berfoto. Saat sang takmir masjid datang, mereka langsung akan menghujani
dengan berbagai pertanyaan: berapa biaya yang dihabiskan untuk membangun masjid, siapa desainer dan perancangnya, bahan apa saja yang digunakan dalam pembangunan, dan beragam pertanyaan yang sering kali tidak berhubungan dengan ibadah.
Saya jadi teringat dengan sabda nabi bahwa “kiamat tidak akan terjadi hingga orang-orang bermegah-megahan dalam membangun masjid-masjid”.
Itu bukan berarti kita dilarang memperindah masjid. Islam justru menyukai keindahan. Tapi bukan berarti harus bermewah-mewah dan megah-megahan dengan anggaran miliaran rupiah. Apalagi jika niat memperindah itu sekedar untuk kepentingan wisata yang lebih mengarah pada nalar duniawi, konsumtif, dan kapitalis.
Para ulama terdahulu tentu sudah membahas panjang lebar terkait masalah ini. Republika (25/10/2017) pernah merangkumnya. Misalnya lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta) berpendapat diperbolehkan asal tidak berlebih-lebihan (israf).
Pernyataan ini juga diamini oleh Imam As Sarkhasi Al Hanafi dalam kitab Al Mabsuth dan Badruddin bin al-Munayyir al-Maliki dalam kitab Mashabih Al Jami. Begitu juga dengan Imam Az-Zarkasyi dalam kitab I’lam As Sajid.
Mereka semua memperbolehkan dengan syarat: tidak berlebih-lebihan. Dalam konteks membangun menara yang memakan anggaran sebanyak itu apakah masuk kategori berlebih-lebihan? Silakan dinilai sendiri.
Ulama lain justru memakruhkan (seperti Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal) bagi mereka yang bermegah-megah dalam membangun masjid. Bahkan ulama lain seperti seperti Sebagian pakar fikih dari Mazhab Hanbali,
Ibnu al-Hajib, Al Munawi, dan Mazhab Syafi’i, mereka justru dengan mengharamkan dan masuk kategori bid’ah.
Di masa nabi meski masjid dibangun sederhana dan tidak memiliki ambisi mewah, masjid justru memiliki fungsi sosial yang sangat banyak bagi masyarakat di sekitarnya. Para pendatang bisa tidur dan bertempat tinggal di teras masjid yang biasa disebut Shuffah. Orang-orang miskin yang tidak punya tempat tinggal juga boleh berdiam di sana. Orang yang tinggal di shuffah ini dikemudan hari disebut ahlush shuffah atau ashabush shuffah.
Kala itu jumlahnya sekitar 70 orang. Di antaranya adalah Abu Hurairah, Abu Darda, Abu Dzar, dan sebagainya. Karena tinggal di masjid, mereka selali mendengarkan setiap ada ceramah dari Nabi. Sehingga dikemudian hari mereka menjadi ulama tempat bertanya berbagai persoalan. Mereka pun umumnya banyak meriwayatkan hadis.
Masjid kala itu juga digunakan sebagai sarana pendidikan dan membangun peradaban umat. Dalam buku Sumbangan Islam pada Ilmu dan Kebudayaan Modern, (1981) diceritakan bagaimana peran masjid dan lembaga pendidikan Islam di masa kekhalifaan bani Umayyah dan bani ’Abasiah.
Kala itu lewat petunjuk Alquran dan hadis para cendikiawan muslim melakukan kajian komprehensif dan berhasil menemukan metode ilmiah, metode empirik induktif, dan percobaan yang menjadi perintis modernisasi Eropa dan Amerika.
Hingga akhirnya muncul ilmu pasti, pengetahuan alam, teknik, arsitektur, pengetahuan sosial, filsafat, kebudayaan, kesehatan (kedokteran), sampai sastra. Peradaban Islam semakin tersebar hingga di luar Arab: Parsi, Uzbekistan, Turki, Azerbeidjan, Tunisia, Maroko, Andalusia. Di masa itu masjid memegang peranan utama bukan sekedar sebagai sarana ibadah apalagi sarana objek wisata dan rekreasi.
Memang masjid bukan semata bangunan megah, indah, dan penuh dengan keindahan yang dihadirkan oleh estetika. Ia juga tempat hadirnya religiusitas yang dipenuhi kerinduan kepada Tuhan.
Kembali Cak Nun mengingat dalam puisi berjudul “Seribu Masjid Satu Jumlahnya”:
Masjid itu dua macamnya/ Satu ruh, lainnya badan/ Satu di atas tanah berdiri/ Lainnya bersemayam di hati/ Tak boleh hilang salah satunya/ Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu/ Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu/ Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
Kita berharap, semakin banyaknya bangunan masjid mewah tidak hanya masuk dalam ranah duniawi yang sekedar memenuhi nalar konsumtif dan kapitalis.
Publik berharap hadirnya masjid di suatu wilayah benar-benar mencapai akar dan esensinya hingga mampu menjadi petunjuk, ajakan, menggugah, dan penerang jiwa bagi siapa pun yang merindukan-Nya. Kemudian mereka bisa melampiaskan kerinduannya dalam bentuk ‘sujud’ dan ‘ruku’ tanpa ambisi berfoto dan berwisata.