“Ayam saya sakkit Pak Kiai. Minta’ do’a saya, biar yam-ayam saya itu sembuh,” kata Ahmo kepada seorang kiai. Sang kiai bingung doa apa yang hendak diberikan. Tapi kemudian Kiai itu menjawab, “Ada doanya. Tapi pakai bahasa Jawa. Ini doa mantra. Paham bahasa Jawa kan?” tanya Pak Kiai.
“Addoh, ya ndak paham saya Kiai. Tak pa-appalah, Kiai, pake bahasa Jawa. Yang penting yam-ayam saya sembuh.”
“Baiklah. Caranya, kamu nanti pegang kepala ayammu, terus baca doa ini. TIIK..PITTIK, NEK AREP URIP WARASO. NEK AREP MATI, MUDARO.” Maksud dari mantra itu, “Hai Ayam, jika hendak hidup, sehatlah. Jika ingin mati, mati saja.”
Singkat cerita, ayamnya Ahmo sembuh. Giranglah hatinya dan dia sowan kembali ke rumah kiai untuk mengucapkan terima kasih.
“Pak, Kiai, terimakasih. Yam-ayam saya sembuh. Doanya Sampean itu manjur,” kata Ahmo.
“Ya, syukurlah kalau begitu. Tapi saya sekarang sedang kurang sehat. Sudah beberapa hari tak bisa ngajar santri,” kata kiai.
Waduh, kasihan Pak Kiai. Ini kaccau kalau sampe tak bisa ngajar santri-santrinya. Demikian pikir si Ahmo.
“Tolong doakan ya, semoga saya sembuh,” pinta sang kiai.
Dasar Ahmo. Karena merasa punya doa yang manjur, dia langsung menyanggupi permintaan si kiai.
“Baik, Pak Kiai,” kata si Ahmo sambil berdiri dan memegang kepalanya si kiai. Maka dibacalah doanya, doa berbahasa Jawa yang digunakan untuk mendoakan ayam, “TIIK PITTIK, NEK AREP URIP WARASO, NEK AREP MATI, MUDARO.” “Hai Ayam, jika hendak hidup, sehatlah. Jika ingin mati, mati saja.”
Pak kiai ngakak sampe keringetan. Demamnya hilang…