Gus Dur adalah kebudayaan, yang tak akan aus digerus zaman. Ide-idenya masih terus diperdebatkan. Wajahnya pun semakin jamak ditemukan pada poster, selembaran, dan grafiti, di jalanan dan media sosial, di halaman-halaman majalah atau koran nasional. Ia sangat dikagumi, dicintai, oleh sebagian besar orang, dan disalahpahami oleh sebagian kecil lainnya.
Namun, selain karena pemikirannya yang cemerlang dan sikapnya yang teguh dalam memperjuangkan keadilan, yang membuat saya takjub dari Gus Dur adalah kegemarannya dalam hal membaca. Mungkin karena saya termasuk orang yang keranjingan membaca, terutama karya-karya sastra. Dan Gus Dur merupakan sosok pembaca yang rakus dan sangat mencintai sastra.
Jika Borges membayangkan surga adalah perpustakaan yang besar, saya membayangkan Gus Dur adalah perpustakaan berjalan, yang tak akan bosan untuk terus dikunjungi. Tulisan-tulisannya selalu menghadirkan beragam referensi yang segar, selain ketajaman analisisnya dan gayanya yang ringan.
Ada salah satu humor Gus Dur yang sangat saya sukai. Mungkin mampu menggambarkan kepribadiannya yang sangat mencintai buku dan membaca: “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya. Dan hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang telah ia pinjam.”
Gus Dur sangat mencintai buku dan keranjingan membaca. Kecintaannya itu, telah ditekuninya sewaktu ia masih remaja. Saat Gus Dur menjadi santri pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan Kiai Ali Ma’shum, yang dikenal sangat egaliter. Pada masa itu, toko-toko buku bekas di Yogyakarta, menjadi surga tersendiri baginya.
Selain toko-toko buku bekas di Yogyakarta, Gus Dur pun mendapat pasokan buku-buku dari gurunya Ibu Rupiah dan Pak Sumantri, yang merupakan eksponen PKI, seperti buku Das Kapital Marx, Whats To Be Done dan Romantisme Revolusioner karya Lenin. Melalui buku yang terakhir ini, Gus Dur memperoleh istilah infantile leftism (kiri kekanak-kanakan).
Maka tak mengejutkan, jika Gus Dur tak memiliki paranoia pada Marxisme atau Komunisme seperti kebanyakan tokoh Islam pada masanya. Ia tak merasa cemas dengan menggeluti teori-teori Marxis yang seringkali dianggap “membahayakan” iman. Bahkan, dalam esainya yang berjudul Pandangan Islam Terhadap Marxisme-Leninisme, yang dimuat pertama kali dalam Persepsi No. 1 tahun 1982, Gus Dur sangat mengapresiasi upaya-upaya pembacaan Marxisme dari sudut pandang Islam.
Bagi Gus Dur, meski ia cenderung terganggu dengan antagonisme Marxisme terhadap agama, ada kesamaan orientasi antara Islam dan Marxisme: menentang ketidakadilan. Sebab itu, perlunya sebuah upaya teoritis untuk mencari keselarasan antara Islam dan Marxisme. Ia pun mengkritik sikap anomali kaum muslimin Indonesia yang menolak kehadiran Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR. Lebih jauh lagi, Gus Dur menganjurkan adanya kajian atas ayat-ayat Alquran dan hadis dengan “pembacaan kelas”.
Gus Dur muda menjadikan Marxisme sebagai pisau analisis untuk membedah ketimpangan struktural, dan melancarkan kritik kepada rezim despotik Orde Baru. Selain itu, Gus Dur sempat mencetuskan konsep gerakan keagamaan berwawasan struktural, yang ia petik dari teologi pembebasan para pastor di Amerika Latin, salah satunya Gustavo Guiterez.
Tak hanya keranjingan dengan teori-teori sosial Eropa, filsafat, atau studi formal Islam, Gus Dur pun sangat kecanduan dengan cerita-cerita silat yang ditulis oleh para penulis Indonesia peranakan Cina, selain menyukai film dan wayang. Menurut Gus Dur, meski cerita silat bukanlah sastra adiluhung, tapi di dalamnya memiliki muatan filosofis Cina yang sedikit banyak berbekas pada pemikirannya, seperti kesetiaan seorang murid kepada gurunya yang lekat dengan tradisi pesantren.
Dalam konteks sastra adiluhung, Gus Dur melahap pula karya-karya Ernest Hemingway, Turgenev, John Steinbeck, Andre Malraux, dan karya-karya sastra Uni Soviet, seperti Pushkin, Tolstoy, dan Dostoyevsky, yang ia dapatkan dari gurunya Ibu Rupiah itu.
Gus Dur pun membaca dengan sangat antusias novel La Porte Etroite karya Andre Gide. Novel ini kemudian sangat berkesan dalam diri Gus Dur. Ia sangat menyukai tokoh Alisa, seorang biarawati yang sangat berbakti kepada Tuhan, hingga menjadi teladan bagi Gus Dur dalam hal kemanusiaan. Karena teramat cintanya kepada tokoh Alisa ini, putri pertama Gus Dur diberi nama Alissa.
Pengetahuan sastra Gus Dur, sangatlah mumpuni. Hal itu dapat dibuktikan dari kritiknya terhadap karya Hamka, termasuk olok-olokannya kepada Cak Nur. Dalam esainya yang berjudul Cak Nur: Tetap Tapi Berubah, Gus Dur mengomentari kualitas bacaan Cak Nur yang masih berjalan di tempat, “Selera bacaan memang masih belum bervariasi, belum tampak novel dari tingkat dunia menghiasi lemari bukunya. Jadi masih berorientasi buku teks, sudah tentu dalam artian sumber bacaan, buku model berpikir…,” ujar Gus Dur kepada sahabatnya itu.
Sementara komentarnya kepada Hamka, dalam esainya yang cukup panjang berjudul Benarkah Hamka Seorang Besar?, Gus Dur melontarkan kritik yang sangat tajam. Menurutnya, karya Hamka tak ubahnya karya picisan belaka, yang tak memiliki kedalaman, seperti dalam novelnya Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Gus Dur membandingkan karya Hamka itu dengan novel The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway, yang mengisahkan tentang kegetiran nasib manusia. Kemudian, dengan War and Peace karya Tolstoy, dan Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Dari sini, dapat kita lihat betapa luasnya wawasan sastra seorang Gus Dur.
Menurut Greg Barton dalam Biografi Gus Dur (2008), saat Gus Dur menjabat sebagai ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), di meja kerjanya itu hanya dipenuhi dengan buku-buku dan surat-surat. Di belakang tempat ia duduk pun terdapat sebuah rak buku, yang judul-judulnya seringkali menarik. Kebanyakan di antaranya adalah sastra Barat, seperti Moor’s Last Sigh karangan Salman Rushdie.
Karena itu, menjadi hal yang wajar, saat masyarakat muslim mengutuk dam menentang peredaran novel The Satanic Verses karya Salman Rusdhie, Gus Dur justru menentang pelarangan peredaran novel itu. Ia melahap novel tebal The Satanic Verses itu dalam perjalanan udara dari Jakarta sampai Surabaya. Ia tak alergi dengan novel yang provokatif, nakal, dan penuh humor itu. Mungkin karena Gus Dur pun merupakan sosok yang humoris, selain karena ia sangat mencintai sastra dan konsisten dalam mewujudkan nilai-nilai demokrasi.
Bahkan, saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, ia merupakan satu-satunya kepala negara yang mengunjungi kediaman para sastrawan terkemuka negri ini seperti Pramoedya Ananta Toer, A.A Navis, dan Mochtar Lubis. Gus Dur sangat menyukai ketiga karya sastrawan ternama itu.
Gus Dur merupakan teladan dalam segala hal, termasuk ketekunannya dalam hal membaca. Dengan membaca, Gus Dur menyerap berbagai khazanah pengetahuan, gagasan, dari Timur sampai Barat, yang kemudian menjadi bahan permenungannya dan buah pemikirannya kemudian. Bagi Gus Dur, membaca adalah gerbang dalam memahami komplesitas kehidupan, corak pemikiran dan watak manusia.
Di abad informasi ini, di mana dusta (hoax) menjadi permasalahan yang cukup krusial, membaca dapat menjadi salah satu strategi untuk menghalau pelbagai dusta yang disebarkan. Dengan membaca seseorang bisa lolos dari jaring-jaring fanatisme agama yang dangkal. Sebagaimana Gus Dur muda, alih-alih melakukan petualangan intelektual, Gus Dur sempat dibuat bimbang dan hampir terjerumus kedalam fundamentalisme Islam. Tapi, karena Gus Dur seorang pembaca yang rakus, ia pun dapat terselamatkan hingga menjadi guru bangsa bagi negri ini.