Sedang Membaca
Berjalan-jalan di Kota Manado, Menemukan Keindahan Torang Semua Basudara

Berjalan-jalan di Kota Manado, Menemukan Keindahan Torang Semua Basudara

Img 20211122 Wa0012

Di kota ini, ketika langit berubah jadi jingga dan rintik hujan sudah mulai paripurna, saya berjalan-jalan sendirian menyusuri area Gereja GMIM Sentrum Manado, Sulawesi Utara. Gereja ini adalah saksi sejarah bagi Manado dan Indonesia, sebuah tempat yang jadi saksi hidup perang dunia kedua dan berusia lebih dari satu abad.

Di sepanjang jalan di area gereja ini, sejarah kota Manado terbentang menjadi salah satu kota paling toleran di negeri ini. Sejarah ini terpatri dalam tiap benak warga Manado yang begitu beragam hingga membuat keindahan kota ini muncul di tiap pribadi penduduknya.

“Ayo kita jalan, kita telusuri tempat main Once” tulis sahabat saya Taufani, seorang Makassar yang gemar jalan-jalan dan memiliki begitu banyak ‘basudara’ di kota Manado.

Once adalah vokalis Dewa dan merupakan sosok asli dari Manado. Entah kenapa, ketika berjalan-jalan di kota ini, saya melihat orang-orang kok ya banyak sekali mirip dengan penyanyi itu?

Di kota ini, ketika orang hanya membicarakan keindahan laut Bunaken maupun gemerlapnya pulau reklamasi dan megahnya jembatan Soekarno sebagai ikon baru kota Manado, saya ingin mengenang obrolan dan perjumpaan dengan orang-orang di sini.

“Jika berkunjung ke kota ini, maka kau akan jadi sodara.”
“Betul sekali, apa pun agamamu atau organisasimu.”
“Yang penting kau bisa nyanyi dan joget, habis perkara.”

Baca juga:  Menganyam yang Terpendam (Seusai Menengok Makam Syekh Yahuda)

Kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja di tengah obrolan kami tentang wisata, politik dan remeh temeh tentang hikayat orang-orang Manado.

Lantas, saya bertanya, kenapa orang-orang di Manado kok seakan mudah menerima orang yang berbeda?

Pertanyaan saya ini dengan berkelakar justru dianggap salah. Seorang kawan lantas balik bertanya, kenapa kita harus membedakan orang?

Jawaban itu membuar saya berpikir keras. Ternyata, begini rasanya jadi minoritas. Di tengah obrolan itu, saya menemukan bagaimana rasanya menjadi minoritas dan diterima.

“Sebab Torang Basudara,” kata yang lain.

Obrolan itu pun kian seru. Hingga akhirnya, salah seorang berkelakar, mengajak kami yang terlalu serius dan mulai ngajak bernyanyi bersama.

Ternyata, inilah jawaban tentang kenapa saya melihat semua orang di sini seperti Once terjawab ketika mereka menuju panggung. Aduhai, suara mereka itu, ketika melantunkan lagu begitu pulen. Enak sekali.

Manado sebagai Kota Toleransi, Yang Cantik dan Tampan Semua

Obrolan kami pun bergerak ke banyak hal. Saya datang ke Manado kali terakhir beberapa bulan sebelum pandemi.

Dua tahun setelahnya, tepatnya khir tahun lalu, Manado terpilih menjadi kota toleransi untuk kali keempat. Kota Manado pertama meraih itu 2015 dan terus dipilih menjadi salah satu kota terbaik di Indonesia.

Baca juga:  Mematuhi Pamali: Menjaga Kestabilan Alam

Hal itu berdasarkan Laporan Indeks Kota Toleran (IKT) yang disusun Setara Institute tahun 2020, Manado urutan ketiga dengan skor 6.200 dan Tomohon urutan keempat dengan skor 6.183. Sesuai rilis hasil survei, peringkat pertama diraih oleh Kota Salatiga dengan skor 6.717 dan peringkat kedua Kota Singkawang dengan skor 6.450.

Walikota Manado, Vicky Lumentut, begitu bersyukur atas hasil ini. Penghargaan ini kian meneguhkan dirinya, pemerintah, dan warga Manado secara umum untuk terus menjaga keutuhan dan kehidupan yang beragam di kota yang didirikan tahun

“Puji Tuhan, kerja kolektif Pemerintah, rohaniawan dan rakyat kota Manado untuk pelihara hidup rukun, damai, toleran, tanpa bedakan suku, agama dan RAS di Manado sebagai rumah besar kita bersama. Hari ini kembali Kota Manado bersama Singkawang, Salatiga dan 7 kota lainnya mendapatkan penilaian sebagai kota dengan nilai toleransi tertinggi di lndonesia,” kata Wali Kota Vicky Lumentut, Walikota Manado.

Secara demografi agama, berdasarkan data BPS tahun 2020, penduduk Manado juga beragam. Jumlah itu terdiri Protestan 63,06% Katolik 5,21%, Muslim 30,84%, Budha 0,65% Konghuchu 0,06%.

Meski begitu, jika anda berjalan-jalan di kota Manado, maka akan sulit membedakan agama mereka. Kenapa bisa begitu?

“Karena kalau di jalanan, warga Manado sama-sama cantiknya, sama-sama aduhai tampannya,” tutur sahabat saya, berkelakar.

Baca juga:  Andil Tiongkok pada Kesultanan Banten

Ya, di Manado selain keindahan toleransi sebagai ikon kota ini, keindahan warganya yang guyub dan mementingkan kebersamaan di tengah keberagaman akan selalu terpatri.

 

*Artikel ini adalah hasil kerja sama Alif.ID dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top