Urusan berdagang mengantarkan kaum Arab ke Jakarta sembari menyebarkan misi dakwah Islam. Peninggalan wakaf menjadi jalan menancapkan pengaruh yang bertahan sampai saat ini.
Bangunan berlantai dua yang terletak di sebelah selatan Jalan Pekojan nampak bersahaja. Deretan toko kecil penjual minyak wangi khas Arab dan tempat tinggal pengurus bangunan mengisi lantai dasar bangunan bercat putih ini. Bangunan sederhana ini dikenal sebagai Masjid Langgar Tinggi.
Siapa sangka bahwa bangunan yang disalah persepsikan sebagai masjid ini sudah berdiri dua abad yang lalu. Sebenarnya bangunan ini adalah musala sesuai dengan namanya Langgar Tinggi. Meski begitu, langgar dualisme fungsi ini tidak lepas dari catatan sejarah yang menarik.
Tanah Wakaf Wanita Keturunan Arab
Wilayah Pekojan memiliki beberapa tempat ibadah bagi kaum muslim yang berdiri berkat interaksi jalur perdagangan berabad-abad lamanya. Nama Pekojan berasal dari kata Khoja yang merupakan kaum muslimin dari India terutama Bengali. Berada di aliran kali Angke memungkinkan hubungan dagang antar bangsa terjadi di wilayah ini khususnya orang Arab yang kebanyakan berasal dari wilayah Hadramaut. Dan dari sinilah banyak kaum Arab yang bermukim di daerah ini.
Menilik sejarah Langgar Tinggi dapat ditemukan sekelumit penggambarannya melalui pengamatan Jacques Dumarcay dan Henri Chambert-Loir dalam buku Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas Karangan (2018). Tercatat bahwa tanah tempat berdirinya Langgar Tinggi ini merupakan tanah wakaf dari Syarifah Mas’ad Babrik Ba’alwi yang merupakan keturunan Arab kaya dari Palembang. Wanita itu mengamanahkan tanah wakafnya untuk dikelola oleh Sa’id Na’um.
Nama Syeikh Sa’id bin Salim Na’um terukir dalam prasasti yang ada di atas mimbar di dalam Langgar Tinggi ini. Prasasti itu berisi permohonan rahmat bagi Syeikh Sa’id yang telah menghibahkan mimbar itu bertitimangsa 1275 H (1859). Mimbar berukiran halus itu dicat lak Palembang. Mimbar itu masih ada sampai sekarang menjadi penanda peran Sa’id Na’um di Langgar Tinggi ini.
Dumarcay dan Chambert-Loir menemukan keterangan historis tambahan dari buku van den Berg bertajuk Le Hadramout et les colonies arabes de l’Archipel Indien (Hadramaut dan masyarakat Arab di Kepulauan India) terbit tahun 1886. Dalam keterangan itu menyebutkan bahwa Langgar Tinggi didirikan oleh komunitas Arab. Sebelum tahun 1844 kaum Arab di Batavia tergolong sedikit dan mereka hidup di daerah orang Bengali di Batavia yaitu Pekojan. Seiring berjalannya waktu, jumlah kaum Arab di wilayah itu menjadi lebih banyak dibanding orang Bengali yang lebih awal bermukim di situ. Meskipun tidak menyiratkan dari mana asal komunitas Arab yang dimaksud tapi menunjukkan adanya perkembangan jumlah orang Arab yang tinggal di wilayah Pekojan.
Merunut peliputan Republika.co.id (13/3/20) berjudul “Menengok Langgar Tinggi, Tempat Persinggahan Para Saudagar” oleh Zainur Mahsir, Langgar Tinggi ini dijadikan tempat persinggahan pedagang dan saudagar India atau Arab. Mengutip ucapan pengurus Langgar Tinggi ini, dikatakan bahwa para pedagang yang baru datang di pelabuhan menggunakan sampan untuk singgah menuju ke kali Angke untuk beristirahat di Langgar Tinggi. Sambil beristirahat diiringi pula dengan rencana berdakwah.
Dahulu, terdapat dua pintu jalur masuk ke Langgar Tinggi. Saat tiba melalui kali Angke (lewat jalur air), pintu masuk selatan sebelah kali menyambut manusia dari sisi itu. Masuk ke Langgar dan ke luar melalui pintu yang satunya yang menghadap ke jalan Pekojan. Jalur ini juga digunakan untuk memasukkan barang dari kali Angke. Foto tahun 1900 dalam buku Sastra dan Sejarah Indonesia: Tiga Belas Karangan (2018) menunjukkan masih berfungsinya jalur kali Angke dengan bertenggernya sampan. Namun, seiring tercemarnya kali Angke dan oleh karena itu tidak lagi digunakan sebagai jalur perdagangan, pintu masuk selatan ditutup.
Satu Bangunan Empat Budaya Arsitektur
Jika memerhatikan segi arsitektur Langgar Tinggi maka kita akan melihat adanya keragaman dari bagian-bagian yang menopang bangunan ibadah bersejarah ini. Mengutip Dumarcay dan Chambert-Loir, “Pendampingan beberapa unsur Eropa dan Tionghoa di atas dasar Jawa asli yang telah menyerapkan sebuah unsur India merupakan tanda khas arsitektur Jawa pada abad ke-19.” (Halaman 279). Meskipun nampak dari jauh Langgar ini sederhana tetapi bagian-bagian Langgar Tinggi punya keragaman arsitektur yang mewakili empat budaya.
Dalam buku Akulturasi Arsitektur Masjid-masjid Tua di Jakarta (2018) yang ditulis oleh Ashadi dijelaskan bagian-bagian langgar yang menampilkan bentuk keragaman. Terdapat empat bentuk arsitektur yaitu arsitektur Kolonial Belanda, Timur Tengah, Tionghoa, dan tradisional Betawi. Pengaruh arsitektur kolonial dapat terlihat dari bentuk dinding tembok tebal dan kolom serambi bergaya klasik. Lebih tepatnya yaitu pilar batu gaya Toskan dan Dorik Yunani.
Sentuhan Timur Tengah dapat kita lihat dari bentuk dinding tembok berlubang setengah lingkaran pada fasad lantai dasar (Halaman 288). Sedangkan pengaruh arsitektur Tionghoa terdapat pada penyangga atap dan bentuk atap limasan yang melengkung pada keempat jurainya. Dan bentuk arsitektur Betawi terlihat dari bentuk spiral pada jendela langgar.
Menelusuri garis sejarah Langgar Tinggi memberikan gambaran geliat ekonomi lintas bangsa yang berada di Batavia khususnya wilayah Pekojan. Misi dakwah tersampaikan sembari berdagang. Dan dengan membangun tempat ibadah menjadikan simbol pengaruh Islam kokoh sampai saat ini selain memang ditujukan sebagai tempat untuk beribadah. Langgar Tinggi menampilkan keragaman warna budaya pada arsitekturnya yang menunjukkan pula khas bangunan pada abad 19. Kesemuanya itu menampilkan sisi kesejarahan bangunan agama sederhana di pinggir kali Angke ini.