Terbesit beberapa pertanyaan, sudah makan apa hari ini? Sudah beli jajanan apa hari ini? berapa duit dihabiskan untuk membeli jajanan hari ini? Beberapa pertanyaan mencuat dilontarkan dan menghujam benak kawula muda khususnya generasi Z. Pertanyaan ini lazim adanya mengingat jiwa konsumtif remaja di era Kiwari sangatlah tinggi.
Rasa-rasanya bila hari ini kita menyoal makanan sampai kudapan yang tersaji mulai dari stand pinggiran jalan sampai resto atau café ternama tak akan ada habisnya. Berbagai makanan berkelindan memancing lidah kita untuk sekedar mencicipi maupun rutin (ketagihan) menyantapnya. Makanan itu identik dengan penyajian yang cepat atau istilah kerennya Junk Food, sebuah julukan untuk makanan-minuman cepat saji.
Istilah kecepatan selain merebak di arenan perlombaan, ia kini juga merasuk di lahan kuliner. Istilah ini malah mengingatkan kita pada buku Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis (2001) karangan AB Susanto. Ia menyebutnya dengan istilah Fast Food, ia menulisnya di tahun 2001, tahun pertama cetakan buku itu. Hal ini wajar, sebab istilah Junk Food memang baru tenar di era kiwari. Itu tak mengapa, sebab dua istilah itu mempunyai esensi yang sama. Menurutnya, “Fast Food menjadi gaya hidup yang dominan. Semua orang ingin serba cepat dengan efisiensi waktu yang singkat”. Walhasil, fast food menjadi sebuah gaya hidup yang dominan.
Istilah Fast Food ini merupakan dampak dari budaya instan yang marak terjadi di kota-kota besar. Sebab kehidupan kaum urban di perkotaan selalu disibukkan dengan rutinitas yang melelahkan. Hal ini membuat sesuatu yang instan sangat digemari dan melahirkan budaya baru yakni budaya instan. Sebuah budaya yang mengesampingkan suatu proses.
Ambivalensi Zaman Digital
Belakangan makanan-makanan junk food ini naik daun alias melejit namanya lewat pemasaran di internet (sosial media). Istilah “viral” kemudian disematkan pada makanan yang belakangan sedang populer dan banyak digemari dan diburu masyarakat umum. Sebut saja Korean Street Food, Corndog, Hottang, Kue Pancong, Es Nitrogen Cair, Es Coklat Celup, Es Kepal Milo, Dalgona Kopi sampai Mixue lewat es krimnya dengan berbagai varian rasa. Kesemua jajanan itu mewarnai belantika kudapan favorit kawula muda.
Syukur-lah berkat bantuan pemasaran lewat internet banyak makanan menjadi viral di beranda berbagai sosial media. Nampaknya, sosial media menjadi kepanjangan tangan Tuhan bagi para pelaku usaha kuliner. Berkatnya, sistem pemasaran tidak berbelit seperti pada umumnya. Tidak lagi menggunakan spanduk di cetak besar di tempel pada sebuah baliho, persis seperti kampanye calon legislatif maupun eksekutif.
Sekarang, pemasaran usaha dagang cukup dengan pemaksimalan media sosial beserta perangkat penunjangnya seperti aplikasi editing gambar dan video. Selain itu, di era digitalisasi ini metode pembayaran juga beranjak maju. Sistem pembayaran konvensional mulai ditinggalkan dan beralih ke dompet digital. Dompet digital semakin mempermudah metode pembayaran. Cukup dengan scan barcode dari sistem pembayaran dompet digital yang sudah disediakan, secara otomatis barang yang akan dibeli sudah lunas terbayarkan. Begitu cara kerja zaman digital, semua dibikin mudah olehnya.
Namun, kemajuan teknologi dan cepatnya arus informasi ternyata belum merata. Sebagai contoh pelaku usaha jajanan tradisional atau tenongan pasar. Mereka masih dalam belenggu paradigma awal yakni perilaku transaksi konvensional, sebuah proses niaga yang dilakukan dengan interaksi langsung antara penjual dan pembeli tanpa pemasaran produk yang luas. Dengan itu, mereka masih belum paham apa itu digitalisasi? apa itu branding produk? Sampai apa itu teknik pemasaran digital?
Imbasnya, kudapan tradisional kian tergerus bahkan ‘tersuruk’ dalam sudut arus pasar kuliner saat ini. Kudapan tradisional kurang mendapat perhatian khalayak luas. Masyarakat justru terbuai dengan jajanan “impor” alias bukan produk negri dengan berbagai teknik branding dan pemasaran produk lewat kecanggihan teknologi di era kiwari. Bahkan, belakangan muncul stereotipe bahwa kudapan ini merupakan “jajanan kampungan” kurang kekinian sampai kurang higenis.
Esensi Makanan
Urusan makan atau minum suatu hal biarlah jadi selera masing-masing orang. Kita tak akan membahas itu lebih jauh. Kelindan jajanan kekinian atau viral sudah-lah cukup mewarnai belantika kuliner di negri ini. Alih-alih membahas digitalisasi zaman dengan berbagai perangkatnya.
Kita malah lebih tertarik menyoal kandungan nutrisi-kadar gizi dalam suatu makanan dan implikasinya pada tubuh manusia. Hal ini jadi mengingatkan kita pada sebuah buku tipis berjudul Makanlah Makanan Jang Sehat, buku ini digubah oleh Nji S. Hadisutirta dan diterbitkan oleh W.Versluys N.V Jakarta. Yang menarik, walaupun buku berhalaman 24 lembar ini di cetak di Jakarta. Namun,buku itu disjahkan oleh Inspeksi Pendidikan Masjarakat Propinsi Sulawesi di Makasar, tanggal 7 Februari 1953. Yang benar saja, tahun itu tentunya kita-kita ini belum pada nongol dimuka bumi.
Mula-mula buku ini mengajak kita untuk sekedar berfikir sejenak bahkan ber-refleksi atas maraknya makanan cepat saji (budaya instan) yang belum terjamin asupan gizi dan manfaatnya untuk tubuh. Makanan cepat saji, dengan kecepatannya menyajikan suatu sajian, tentunya tidak dibayar dengan harga murah. Jika dibandingkan dengan jajanan tradisional, masakan cepat saji jauh lebih tinggi nilai jualnya. Selain itu, makanan jenis ini juga terkesan mewah. Hal ini menandakan bahwa ihwal ini “makanan cepat saji” jauh dari nilai kesederhanaan.
“Sekedar petundjuk tjara memasak, menjadjikan makanan, sederhana, sehat, dan manfaat untuk badan. Mudah ditjari, mudah di dapat dengan tidak melupakan kantong yang ketjil”.
Ungkapan ini seakan memberi pesan agar manusia tak menghambur-hamburkan uang sekedar untuk membeli makanan yang mewah, sukar didapat dan jauh dari kata sederhana. Alih-alih menghamburkan uang, isi dompet ini juga sudah kering keronta seperti orang berpuasa. Pencarian makanan harus didasarkan pada kemaslahatan untuk tubuh setiap manusia.
Di buku tipis nan kusam itu seolah mengajak dan mengingatkan kita akan pedoman mengatur makanan mulai dari menu yang harus disiapkan sampai petunjuk memasak sayuran, daging, ikan, mempersiapkan bumbu sampai uraian vitamin dalam buah-buahan. Memasak sampai mengatur makanan dan memperhatikan apa yang di konsumsi oleh tubuh juga dibutuhkan suatu pengetahuan, suatu ilmu yang akan mengantarkan tubuh pada kesehatan jasmani.
Lagi-lagi buku yang masih menggunakan ejaan lama itu mendedahkan hal perkara ilmiah namun mudah cerna para pembaca. Sekaligus memberi penekanan akan pentingnya sikap refleksi dengan menjauhi sifat hedonis yang mengedepankan kemewahan dan ketamakan dalam ritual konsumsi suatu makanan.
Munculnya berbagai macam varian kudapan merupakan buah dari kreativitas-inovasi dari masing-masing pelaku usaha. Namun, kita sebagai manusia yang di karunia akal tentunya harus lebih selektif lagi juga memikirkan ihwal jangka panjang kehidupan masing-masing. Jangan sampai dengan kegemaran mengonsumsi makanan cepat saji malah-malah menjerumuskan kita ke jurang penderitaan berlebih akibat kelebihan gula, lemak jahat sampai kolesterol yang menjurus pada penyakit organ dalam
Belum lagi kita sekarang sedang dalam naungan bulan puasa. Jangan sampai tradisi ngabuburit hanya dihabiskan untuk berkelana mencari makanan budaya instan (junk food/fast food) yang belum jelas kandungan gizi dan nutrisi bagi tubuh. Alangkah lebih baik jika waktu ngabuburit dihabiskan dengan memakmurkan langgar atau surau sekitar dengan kajian Taman Pembelajaran Al-Qur’an setiap sorenya. Insya Allah lebih barokah. Wallahu’alam bishawab.