Tensi konflik Israel-Palestina kembali memanas. Pemicunya adalah pengakuan sepihak Presiden Amerika Serikat Donald Trump: Yerusalem sebagai ibukota Israel. Trump juga mengaku sedang bersiap-siap memindahkan kantor kedutaan besar AS, dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Trump mengeluarkan dua pernyataan di atas dan sejumlah provokasi pendukungnya di Gedung Putih, Washington DC, pada hari Rabu (06/12) waktu setempat, atau Kamis (7/12) waktu Jakartal.
Bukan Trump memang kalau tidak menyemburkan pernyataan dan kebijakan kontroversial. Dan seperti tabiatnya, Trump acuh terhadap respon-respon penting dunia atas dirinya, termasuk acuh dan masa bodoh bahwa dirinya telah memantik ketegangan baru Israel-Palestina. Cita-cita masa depan perdamaian di Israel-Palestina gelap lagi. Dan kegilaan Trump penyebabnya.
Mengingat konflik antara kedua kubu tersebut merupakan yang paling seksi dan paling banyak menyita perhatian internasional dalam kurun puluhan tahun terakhir. Tentang pernyataan Trump tersebut pun ada yang mengecam tegas tindakan Trump dan AS tersebut, ada pula acuh dan menganggap itu sebagai pernyataan biasa dan tidak perlu direspon secara berlebihan. Saya termasuk berada di posisi yang secara tegas mengecam pernyataan presiden ke-45 Amerika tersebut.
Saya melihat pernyataan Trump adalah hal yang “nekat”. Trump dengan pidato yang sekejap itu, akan memperkeruh suasana konflik berkepanjangan di Israel dan Palestina. Sedikitnya ada tiga alasan mengapa saya katakan pernyataan Trumph tersebut adalah pernyataan yang “nekat”
Pertama, tindakan Trump sesungguhnya merupakan pelanggaran serius terhadap klausul kesepakatan damai yang dibuat oleh Israel-Palestina tentang penangguhan status kota Jerusalem. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam resolusi Majelis Umum PBB No. 181 tahun 1947 (United Nations partition plan for Palestine).
Secara umum, draf resolusi PBB tersebut membagi wilayah teritori Israel-Palestina ke dalam tiga bagian. Satu, daerah yang sepenuhnya menjadi otoritas pemerintahan Israel. Dua, wilayah yang menjadi otoritas tempat bernaung warga Palestina. Tiga, wilayah yang hak keberadaaanya di bawah kewenangan internasional atau dalam pantauan PBB, atau dengan kata lain wilayah yang diberikan status hukum dan politik yang terpisah (separated body).
Yerusalem termasuk ke dalam wilayah yang ketiga tersebut, mana status hukum dan politiknya ada pada kewenangan PBB, bukan Israel maupun Palestina. Karenanya, memindahkan ibu kota Israel dari Tel-Aviv ke Yerusalem sesungguhnya adalah cacat hukum selain juga sangat berdampak pada semangat perdamaian yang dituangkan dalam klausul perdamaian tersebut.
Kedua, pengakuan sepihak Yerusalem sebagai ibu kota Israel juga akan memicu terjadinya gejolak politik internal antara Israel dan Palestina, tidak menutup kemungkinan bagi wilayah sekitar Timur Tengah lainya. Muaranya adalah gejolak instabilitas politik dan keamanan di negara konflik tersebut akan kembali terganggu. Saat genderung perang ditabuhkan, kemelut dan baku hantam akan kembali terjadi, tidak menutup kemungkinan korban bentrokan akan kembali berjatuhan.
Ketiga, pernyataan Trump sesungguhnya juga telah mendatangkan respon negatif hingga kecaman dari banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
Menunggu Lobi Presiden Jokowi
Presiden RI Joko Widodo, secara terpisah juga merespon tindakan sepihak AS tersebut. “Indonesia mengecam keras pengakuan sepihak Amerika Serikat terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Pengakuan itu melanggar resolusi DK dan Majlis Umum PBB,” akun resmi Twitter Joko Widodo, Kamis, 7 Desember 2017.
Pernyataan presiden tersebut rencanananya juga akan ditindaklanjuti dengan menyerukan agar OKI dan PBB untuk segera turun tangan merespon pidato Trump tersebut.
Terlepas dari itu semua, saya melihat di balik pernyataan kontroversial Trump, fenomena ini sekaligus bisa menjadi ajang unjuk gigi bagi kedua presiden, Trump maupun Jokowi, untuk memikat hati para pendukungnya.
Kalau Trump dalam salah satu kesempatan pasca menyampaikan pandangan kontroversialnya menyatakan bahwa dirinya telah menunaikan janji kampanye beberapa presiden terdahulunya untuk memindahkan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, kini, kita warga Indonesia juga bisa kembali menagih janji kampanye presiden Jokowi untuk berjuang totalitas mewujudkan kemerdekaan Palestina secara utuh.
Sejauh mana lobi politik internasional Jokowi bisa berhasil dan memikat negara lain untuk terus berada di garda terdepan dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. (Dito Alif Pratama)