Redlining merupakan upaya pengaturan residensial antara warga kulit putih dan warga kulit berwarna yang termasuk di antaranya orang-orang kulit hitam dan imigran yang terjadi di banyak kota besar di Amerika Serikat antara tahun 1930-1960an. Upaya ini dipelopori oleh pebisnis-pebisnis perumahan yang pada awalnya menawarkan orang-orang kaya kulit putih ‘kenikmatan’ tinggal jauh dari penduduk kulit hitam yang sering distigmakan negatif. Pebisnis-pebisnis ini, atas dukungan pemerintah, mendesain sebuah peta khusus yang dengan warna biru, kuning, dan merah yang ditujukan untuk memandu calon pembeli rumah menentukan daerah tempat tinggal mereka.
Daerah yang diberi warna biru menandakan area terbaik untuk tempat tinggal: lokasinya nyaman, banyak fasilitas umum dan pertokoan, dan yang paling penting, jauh dari pemukiman orang kulit hitam. Area berwarna kuning mengindikasikan penurunan kualitas lingkungan, biasanya karena dekat dengan pabrik atau ada pemukiman baru yang diisi pendatang yang bukan kulit hitam. Sementara area yang digarisi merah (redlined) diberi label hazardous atau berbahaya. Di sinilah penduduk-penduduk kulit hitam tinggal. Dari sinilah istilah redlining yang merujuk pada upaya pemisahan residensial orang kulit hitam dan putih berasal.
Pewarnaan ini tidak hanya menjadi panduan bagi calon pembeli rumah, tetapi juga bagi mereka yang membuka usaha. Warna kuning dan merah menjadi alarm bagi para pebisnis untuk segera memindahkan bisnis mereka dengan alasan keamanan dan penurunan potensi ekonomi. Perginya para pebisnis ini menjadikan penduduk di zona garis merah kehilangan akses untuk memenuhi kebutuhan harian mereka dan akhirnya memperburuk kualitas kehidupan mereka. Lambat laun, redlining melahirkan sebuah norma tegas: area biru hanya untuk orang kulit putih dan kaya, sementara orang kulit hitam hanya boleh tinggal di area merah dan tidak diizinkan memasuki atau mendekati area biru.
Setelah keberhasilan gerakan sosial menuntut hak-hak sipil orang kulit hitam yang dipimpin oleh Martin Luther King, Jr., Malcolm X, Rosa Parks, dan kawan-kawannya, redlining dinyatakan illegal dengan ditandatanganinya Civil Rights Acts 1964 oleh Presiden Lyndon B. Johnson. Akhirnya orang-orang kulit hitam dapat pindah dari area kumuh ke area yang lingkungan dan akses ekonominya lebih baik.
Namun sebuah riset dari Brookings Institute pada 2019 menemukan bahwa saat ini, area-area yang dulunya digarisi merah ini tidak hanya diisi oleh orang kulit hitam. Cukup mudah menemukan orang kulit putih dan pengungsi asal Asia dan Afrika di kawasan ini. Demografi penduduk sudah berubah menjadi lebih beragam, tetapi kualitas lingkungan dan perekonomian tidak banyak berubah. Mereka yang tinggal di area ini memiliki pendapatan rata-rata jauh di bawah rata-rata pendapatan kota, kekurangan fasilitas umum, serta masih kesulitan mendapatkan akses pemenuhan kebutuhan sehari-hari karena jarangnya pertokoan. Area bekas zona merah ini menjadi cikal bakal slum area di kota-kota besar Amerika Serikat.
Salah satu area kumuh bekas zona merah di Seattle, kota terbesar di barat laut Amerika Serikat, kini memiliki populasi Muslim yang cukup besar dari etnis Campa. Secara historis, Islam di Nusantara memiliki hutang kepada etnis Campa. Di masa lalu, Kerajaan Campa merupakan kerajaan besar dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam. Kerajaan Campa membangun interaksi kebudayaan yang sangat erat dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, baik melalui perkawinan maupun pengiriman ahli agama sebagai duta kebudayaan. Sebagaimana disebut K.H. Agus Sunyoto dalam karya Atlas Wali Songo (2016), Raden Rahmat yang seorang beretnis Campa tiba di Jawa pada 1443 Masehi dan menginisiasi pendirian Masjid Ampel sebagai pusat kegiatan sosial dan kebudayaan masyarakat di Nusantara saat itu. Kelak, Sunan Ampel dikenang sebagai guru dari para wali penyebar agama Islam di Nusantara, dengan Masjid Ampelnya sebagai pusat integrasi kebudayaan Islam dan lokal pada masa kemunduran Majapahit.
Sejak keruntuhan Kerajaan Campa pada abad ke-19, etnis Muslim Campa menjadi etnis minoritas di Vietnam dan Kamboja. Mereka mengalami penindasan dan genosida akibat tensi politik dan agama, sementara yang tersisa memilih untuk mengungsi. Pada 1970-an, gelombang pertama pengungsi Campa mulai memasuki Seattle. Mereka ditempatkan di daerah sekitar Beacon Hill, Seattle, yang sudah ditinggalkan oleh orang-orang kulit hitam pasca Civil Rights Act 1964. Disinilah para pengungsi Campa ini mulai membangun komunitas mereka, diawali dengan membangun masjid. Masjid ini menjadi pusat dari berbagai kegiatan masyarakat Campa di sana, mulai dari kegiatan agama, layanan kesehatan dan sosial, hingga aktivitas ekonomi. Tidak jauh dari masjid ini, terdapat sebuah restoran dimiliki oleh seorang pengungsi Campa yang menjual masakan halal. Orang Indonesia yang datang ke restoran ini tidak pernah segan menyebut menu “nasi goreng”, bukan fried rice, dan kokinya akan membuatkan sepiring nasi goreng yang rasanya sangat akrab dengan lidah kita. Setiap Ramadhan, area Muslim Campa ini sangat meriah dengan kegiatan-kegiatan keagamaan yang beragam, mulai dari tadarus, pengajian, buka dan sahur bersama, hingga layanan psikologi dan kesehatan.
Namun wabah COVID-19 menyingkap kegetiran dan mengungkap betapa keroposnya tatanan sosial di Amerika. Terlepas dari kemeriahan kegiatan keagamaannya, area Muslim Campa di Seattle ini tetaplah daerah garis merah. Fasilitas umum, kualitas lingkungan, dan tingkat perekonomian masih jauh tertinggal dibandingkan area lain di Seattle. Rumah-rumah yang berdempetan dan ruang aktivitas individu yang sempit menyebabkan penyebaran virus sangat sulit dikontrol. Data resmi pemerintah Seattle menunjukkan area ini memiliki jumlah kasus COVID-19 terbanyak dan tingkat kematian yang cukup tinggi. Sekali lagi, area ini digarisi merah, namun dengan tujuan berbeda. Data nasional juga senada: daerah yang dulu digarisi merah merupakan daerah yang paling terdampak oleh COVID-19. Memang COVID-19 adalah bencana katastropik dengan dampak yang sangat parah pada masyarakat kelas bawah, namun yang mungkin tidak kita sadari adalah ternyata ada komunitas Muslim di garis merah Amerika.
Apa yang terjadi pada Muslim di garis merah Amerika adalah dampak persisten dari tindakan diskriminarif di masa lalu. Tingginya kasus COVID-19 di garis merah Amerika membuktikan diskriminasi bukanlah isu masa lalu karena dampaknya masih ada hingga saat ini. Ini juga menampik anggapan bahwa kita tidak perlu ikut-ikutan dengan Gerakan Black Lives Matter di Amerika. Bukankah kita memiliki ikatan historis dengan etnis Campa di garis merah Amerika?