Sebagai umat Muslim, terkadang kita terkesan acuh pada hal-hal yang bukan merupakan ritus agama. Seperti arsitektur masjid misalnya. Luput dari pemikiran atau bahkan mungkin tidak pernah kita pertanyakan. Apakah ada pakem atau aturan mengenai arsitekturnya.
Bahkan, sebagian kalangan kita justru sudah menjustifikasi bahwa masjid dengan gaya kubah adalah gaya Islam. Sehingga terjadi kehebohan ketika ada desain masjid gaya baru yang muncul.
Seperti beberapa waktu yang lalu. Media sosial diramaikan oleh kritik seorang Ustadz terhadap masjid karya Ridwan Kamil. Masjid yang dimaksud adalah masjid Al Safar. Dikatakannya bahwa masjid yang dominan dengan bentuk segitiga itu menyerupai simbol illuminati. Sebuah organisasi yang sudah ada sejak abad XVII. Dalam dunia nyata, keberadaan kelompok ini sendiri masih diragukan keberadaannya. Namun sebuah karya fiksi berjudul The Illuminatus Trilogy (1975) karya Robert Shea dan Robert Anton Wilson membuat nama illuminati kemudian banyak digaungkan. Dipercaya sebagai sebuah kelompok misterius yang mendalangi kejadian-kejadian besar di dunia, termasuk pembunuhan terhadap Presiden John F. Kennedy, misalnya.
Terlepas dari benar atau tidaknya tudingan bahwa desain Masjid Al Safar merujuk pada simbol-simbol illuminati, saya lantas tertarik apakah benar bahwa dalam Islam ada pakem tentang arsitektur masjid? Kita tahu bahwa sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam mengatur segala aspek keidupan. Mulai tata cara bermuamalah dengan Allah, bermuamalah dengan makhluq, masuk kamar mandi, adab ketika kencing maupun berak, bahkan adab bersenggama dengan istri pun ada dibahas dalam Islam. Namun arsitektur Masjid? Kalaupun ada mungkin adalah pendapat yang tidak masyhur. Sehingga literasi tentangnya tidak banyak kita kenal.
Achmad Fanani dalam bukunya Arsitektur Masjid (2009: 27) menyebutkan bahwa bahwa penggunaan simbol, yang dalam hal ini berkaitan dengan arsitektur masjid tidak dikenal pada awal perkembangan Islam.
“Memang betul pada bagian awal perkembangan peradabannya, Islam lebih berkonsentrasi pada pengaturan perilaku ketimbang membuat bentuk lambang-lambang. Muhammad ketika diangkat menjadi rasul, tidak dibekali dengan sebuah cetak biru bangunan masjid atau gambar benda-benda perlambang dan sejenisnya.”
Masjid Quba, yang dalam sejarah dunia Islam dikenal sebagai masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah tidak meninggalkan aturan baku tentang bentuk masjid. Literatur tentang masjid Quba hanya sedikit menyebutkan tentang bentuk arsitektur masjid tersebut. Diantaranya ditulis oleh Namin Asimah Asizun dalam Misteri Mukjizat Makkah & Madinah (2014: 99-100). Bahwa masjid Quba adalah sebuah masjid yang sangat sederhana. Ia memiliki ruang bersegi empat yang berdinding disekelilingnya. Disebelah utara dibangun serambi dengan tiyang pohon kurma, atapnya dari pelepah dan daun kurma yang bercampur tanah liat. Ditengah ruang terbuka dalam masjid yang kemudian disebut sahn, terdapat sebuah sumur untuk berwudhu. Meski kemudian banyak diikuti dan menjadi acuan model masjid setelahnya, namun, bukan berarti bentuk masjid harus monoton seperti itu.
Terbukti, pada masa dinasti Muawiyah, ketika kekuasaan Islam semakin meluas, banyak terjadi adopsi bentuk arsitektur untuk pembangunan masjid. Bahkan, umat muslim kala itu tidak segan menerima pengalaman tradisi membangun dari umat Kristiani. Salah satu contohnya adalah arsitektur Masjid Agung Damaskus. Sebelum menjadi masjid, bangunan ini pada mulanya adalah Kuil Yupiter dari tradisi Romawi. Kemudian umat Kristiani mengubah fungsi Kuil tersebut menjadi gereja. Ketika kedaulatan muslim menguasai daerah tersebut, bangunan gereja ini kemudian diubah menjadi masjid. Banyak bagian-bagian dari gereja yang dibiarkan tetap utuh. Sementara beberapa bagian lain disesuaikan untuk keperluan sholat berjamaah (Fanani, 2009: 29-30).
Demikian pula di Nusantara pada masa lalu. Ulama-ulama yang menyebarkan Islam di Nusantara dengan bijaksana tidak membangun masjid dengan desain arsitektur seperti yang ada di Negara asal mereka. Tetapi menggunakan desain arsitektur tempat-tempat ibadah yang sudah ada terlebih dahulu di Nusantara. Seperti yang diuraikan oleh Gus Sunyoto dalam buku Atlas Walisongo (2017: 450) bahwa desain masjid dengan atap susun tiga (masjid tradisional) di Jawa adalah adopsi dari langgar Kapitayan (di tanah Sunda Kapitayan disebut juga dengan kepercayaan Sunda Wiwitan). Tentu saja dengan penyesuaian filosofi-filosofi keislaman. Misalnya masjid dengan atap susun tiga dimaknai sebagai representasi dari Iman-Islam-Ihsan.
Dari keterangan beberapa literatur tersebut kita tahu bahwa tidak ada pakem khusus dalam arsitektur Masjid. Bentuk masjid yang berbeda-beda di masing-masing daerah merupakan dialog antara ajaran Islam dengan kebudayaan lokal. Dengan perkataan lain, ajaran Islam membuka diri terhadap kebudayaan yang dalam hal ini adalah bentuk arsitektur dari luar Islam itu sendiri. Tentu saja dengan batas-batas tertentu. Sehingga tidak mengurangi bahkan menghilangkan esensi dari syariat Islam. (RM)