Sedang Membaca
The Bee Gees dan Stigma Mereka
Deda Ibrahim
Penulis Kolom

Wirausahawan, penulis, movie freak, tinggal di Taliwang, Sumbawa.

The Bee Gees dan Stigma Mereka

The Bee Gees

The Bee Gees adalah fenomena musik populer. Mereka adalah ikon musik disko sekaligus stigma. Hingga kini, stigma yang melekat tidak sepenuhnya mampu mereka bersihkan.

The Bee Gees, beranggotakan tiga bersaudara Gibb: Barry, Maurice, dan Robin, adalah salah satu ikon musik pop Barat. Sebagai ikon, mereka mungkin tidak memiliki citra sekuat dan sebesar The Beatles atau The Rolling Stones. Tetapi, lagu dan prestasi bermusik mereka, termasuk penjualan rekaman mereka, sulit untuk dipandang sebelah mata.

Secara garis besar, karier bermusik mereka dapat dibagi dua masa: masa musik rock dan balada serta masa disko dan funk. Masa musik rock dan balada terjadi di awal karier mereka yang dimulai di Inggris—mereka adalah imigran dari Australia—dan berakhir sekitar tahun 1974. Inilah puncak kejayaan mereka yang pertama, dengan lagu-lagu hits seperti To Love Somebody, How Can You Mend The Broken Heart, I Started A Joke, dan lainnya—termasuk lagu yang saya sebut di atas.

Fase kedua dimulai sebagai reaksi dari periode pertama mereka saat mereka tergelincir dari puncak kejayaan. Tidak ada yang mendengarkan musik mereka lagi. Musik mereka dianggap tidak lagi relevan dengan musik era pertengahan 1970an.

Robert Stigwood, manajer mereka dari awal karier The Bee Gees, menawari mereka untuk membuat lagu tema bagi film Saturday Night Fever, dimana Stigwood sendiri adalah produser film tersebut. Lagu-lagu dalam soundtrack film disko itu, seperti Staying Alive, Night Fever, Jive Talkin’, More Than A Woman, dan lainnya adalah lagu hits yang kembali menempatkan mereka di puncak. Bahkan, mereka melampaui kesuksesan di periode pertama. Mereka menjadi ikon suatu genre musik yang baru muncul: disko.

Saat itu, tren musik disko mewabah; ia menyapu dan menyingkirkan jenis musik lain. Sebagian band dan musisi harus beradaptasi untuk bertahan. Rolling Stones menciptakan lagu dengan memasukkan unsur funk dan disko, seperti Emotional Rescue (1980) dan Miss You (1978). Begitu pula dengan Paul McCartney dari The Beatles dengan Coming Up (1980).

Baca juga:  NU dan Tanggungjawab Internasionalnya

“Ini adalah penemuan,” ujar Barry Gibb, salah satu anggota Band. “Kami telah menemukan para pendengar baru.”

Suatu tren yang mewabah biasanya mendorong anti tren tersebut. Steve Dahl, seorang disc Jockey radio WLUP-FM, menjadi penganjur terbesar dari gerakan anti-disko. Bahkan, ia mengadakan Malam Peledakan Rekaman Disko di Comiskey Park, Chicago.  The Bee Gees, sebagai ikon musik disko, ikut terseret pusaran ini dan terpukul oleh backlash tersebut.

Dengan puncak popularitas ganda, mereka menjadi band yang dipenuhi oleh teka-teki. Meski memiliki kemampuan menulis lagu-lagu yang keren, menjadikannya hits di seluruh dunia, dan memiliki vokal harmoni yang unik, The Bee Gees relatif kurang diakui oleh komunitas musik rock; satu komunitas dimana karier mereka berawal.

The Bee Gees adalah satu dari sedikit band (atau musisi atau penyanyi) yang mampu menempatkan lima single mereka di daftar 10 lagu teratas di Amerika Serikat di minggu yang sama. Ini menjadi prestasi besar, meskipun mereka belum dapat menumbangkan rekor The Beatles dengan lima single di daftar 5 lagu teratas di Amerika Serikat.

Kesuksesan mereka adalah kutukan—Moby menyebutnya kutukan The Bee Gees (Bee Gees curse). Mereka “menulis lagu-lagu yang luar biasa, menjual jutaan rekaman, dan sebagai akibatnya menimbulkan kemarahan dan ketiadaan minat dari kalangan terobsesi dengan musik rock,” ujar musisi dan penyanyi tersebut, saat mengomentari Duran Duran, yang mengalami kemiripan nasib dengan Mereka. Saat menerima penghargaan dari Rock and Roll Hall of Fame, Barry Gibb mengatakan, “The Bee Gees pada kenyataannya adalah suatu enigma dengan stigma.”

Baca juga:  Masa Depan Afghanistan?

The Bee Gees: How Can You Mend A Broken Heart (2020, selanjutnya disebut The Bee Gees: How) adalah film dokumenter yang mengisahkan perjalanan karier mereka yang berangkat dari skena musik Australia hingga saat ini, dimana Robin dan Maurice Gibb sudah tiada.

Film ini disutradarai oleh Frank Marshall dan berdurasi 1 jam 50 menit, cukup detail memaparkan apa, mengapa, dan bagaimana The Bee Gees, baik secara kolektif maupun individual, memberikan reaksi mereka terhadap dunia musik populer di luar band mereka maupun antar diri mereka.

Bagi yang ingin mengenal The Bee Gees sedikit lebih dalam, dokumenter ini cukup representatif. Mereka yang enigmatik, khususnya fase puncak kedua mereka, diuraikan dengan cukup panjang dan mendalam. Bagaimana transisi dari tergelincirnya mereka di fase puncak pertama ke puncak kedua juga didiskusikan dengan baik.

Karena The Bee Gees: How adalah film dokumenter, film tersebut berbicara tentang sejarah. Sejarah hampir tidak pernah disampaikan secara utuh, sebagaimana adanya. Sejarah kerap penuh dengan revisi dan penyuntingan.

Salah satu yang tidak disebutkan dalam dokumenter ini adalah urusan The Bee Gees dengan obat terlarang. Saat karier mereka tergelincir di akhir fase puncak pertama, frekuensi penggunaan obat terlarang anggota mereka.

The Bee Gees memang menyebutkan isu obat terlarang Andy Gibb, adik bungsu mereka. Andy sendiri meninggal karena miokarditis, penyakit radang otot jantung akibat infeksi virus. Tetapi, mengapa hanya Andy yang disebutkan? Bagaimanapun, Mereka adalah Barry, Maurice, dan Robin Gibb. Andy baru bergabung sekitar akhir 1970an dan tidak pernah sepenuhnya menjadi anggota band.

Baca juga:  Sastra yang Melawan Pendangkalan

Ganjilnya, sudut pandang yang diambil adalah sudut pandang seorang abang (Maurice Gibb) kepada adik bungsunya (Andy) yang bermasalah, seakan sang abang tidak melakukan hal yang sama.

Hal yang lebih serius—dan, tentunya menjengkelkan mereka—adalah isu The Bee Gees sebagai imitator The Beatles. The Beatles adalah band yang sangat memengaruhi The Bee Gees. Itu diakui oleh Barry dalam dokumenter ini.

Ganjilnya, dokumenter ini tidak menyebutkan sama sekali satu proyek bernama Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (1978) (Sgt. Pepper’s sendiri adalah judul album The Beatles yang ikonik). Keganjilan ini terutama karena The Bee Gees adalah pemeran utama sekaligus pengisi musik di album soundtrack tersebut.

Proyek Sgt. Pepper’s adalah proyek gagal. Kritikus membantai film tersebut. Barry Gibb sendiri menyalahkan proyek ini sebagai salah satu sebab tergelincirnya popularitas The Bee Gees. Ini tentunya memperkuat stigma buruk The Bee Gees sebagai imitator The Beatles. Bayangkan band sebesar The Bee Gees bermain film bertema judul album The Beatles dan menyanyikan ulang 16 dari 31 lagu The Beatles yang ada dalam soundtrack film tersebut?

Ini adalah stigma buat mereka. Persoalannya adalah mengapa mereka tidak menyebutkan proyek ini dalam The Bee Gees: How?

Anda, jika sempat menyaksikan dokumenter ini, akan menentukan sendiri jawabannya.[]

 

Identitas Film

Judul: The Bee Gees: How Can You Mend A Broken Heart

Sutradara: Frank Marshall

Produser: Frank Marshall, Jeanne Elfant Festa, Nigel Sinclair, Mark Monroe

Skenario: Mark Monroe

Pemeran: Barry Gibb, Robin Gibb, Maurice Gibb, Eric Clapton, Noel Gallagher

Durasi: 1 jam 50 menit.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top