Tak dapat dimungkiri, eksistensi dukun condong dipandang sebelah mata oleh suatu kalangan tertentu. Acapkali dukun mendapat cibiran dari mereka yang tampak agresif terhadap posisi maupun fungsinya di tengah-tengah masyarakat. Bahkan kita sudah terbiasa mendengar klaim musyrik atas tindak-tanduk yang berkaitan dengan ranah perdukunan.
Di Madura, entah siapa pencetusnya, kata dhukon (dukun) diakronimkan sebagai dhu-buddhuna lalakon, yang menurut hemat saya berarti paling sialnya ikhtiar. Akan tetapi, hal ini berbanding balik dengan realitas yang ada. Nyatanya, orang Madura tidak pernah lepas dari dunia klenik dan mistik. Sedikit-banyak hidup mereka punya ketergantungan dengan sesuatu yang sifatnya irasional itu.
Madura, dengan corak keislaman yang kental, tak membuat keimanan goyah walau harus selalu bersinggungan dengan adat-istiadat yang melingkupinya. Mereka memegang erat tradisi yang diwariskan nenek moyang dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara sebagian dari banyaknya tradisi itu cenderung melibatkan campur tangan seorang dukun.
Tradisi nyontheng, misalnya, sering dilakukan oleh mereka yang salah satu dari keluarganya terkena pansapan atau epasapa. Istilah ini digunakan untuk menyebut orang yang kesurupan, kecelakaan, atau anak kecil yang menangis sejadi-jadinya dan tak kunjung henti, akibat melewati tapak dangdang (jalan simpang empat) maupun sebuah tempat yang diyakini dihuni dedemit. Supaya terhindar dari kejadian ini, sesepuh kami menganjurkan agar membaca selawat atau melempar sedikit makanan saat melintasi jalan/tempat tersebut. Bagi yang sudah telanjur epasapa, disarankan segera nyontheng. Yakni meletakkan sesajen di lokasi kejadian sesuai petunjuk dukun yang kami tanyai.
Contoh lain, tradisi oro’ kandung, selamatan tujuh bulan usia kandungan seseorang. Lazimnya, setelah diadakan acara mengaji dan menyenandungkan selawat bersama-sama oleh tuan rumah serta para tamu undangan, perempuan yang sedang hamil tujuh bulan akan dimandikan bersama suaminya menggunakan air kembang. Gayung yang dipakai buat memandikan yaitu batok kelapa, lengkap dengan daging kelapa itu sendiri yang masih menempel.
Sedangkan gagang gayung itu terbuat dari ranting beringin yang daun-daunnya dibiarkan utuh. Ketika proses pemandian usai, pasangan suami-istri tadi berganti pakaian, berbedak, bercermin, lalu masing-masing menggendong kelapa gading sembari berjalan ke dalam rumah mengikuti langkah dukun kandungan yang mendampingi tradisi oro’ kandung ini sedari awal.
Selain peran pentingnya pada dua contoh di atas, dukun menjadi objek yang selalu dibutuhkan jasanya dalam banyak hal. Tak ayal, masyarakat Madura sangat butuh akan petuah atau ramalannya mengenai peristiwa yang hendak, sedang, maupun sudah dihadapinya. Seperti orang yang hendak menikah, hendak berangkat merantau, hendak membuka usaha, dll.
Seperti orang yang sedang menghadapi persoalan dalam rumah tangga, sedang memikul beban hidup yang sangat berat, sedang kehilangan barang yang amat berharga, dll. Seperti orang yang ingin tahu kenapa usaha dagangnya selama ini sering rugi, ingin mengembalikan kedamaian dua pihak yang terpecah-belah, atau sekadar penasaran apakah mantan suami/istri kita masih punya rasa sayang sama kita atau tidak, dll.
Dan tentu saja masih banyak dorongan serta alasan lain yang mengharuskan orang Madura menemui seorang dukun untuk dimintai pertolongan. Dari keperluan yang relatif sepele hingga yang terbesar sekalipun. Sebagaimana jamak diketahui, bahwa peran yang tak kalah penting dari seorang dukun adalah mengobati segala jenis penyakit sesuai kapasitas ilmu yang dimilikinya. Inilah yang membuat kedudukan dukun hampir setara dengan dokter. Lebih-lebih, menurut orang Madura, ada penyakit yang tidak bisa ditangani oleh dukun dan mesti ditangani oleh dokter. Sebaliknya, ada penyakit yang tidak akan mampu ditangani oleh dokter dan cuma bisa ditangani oleh dukun.
Adapun landasan dari tindakan dan cara-cara yang dipakai para dukun itu bermacam-macam. Secara empiris—karena cukup sering saya berurusan dengan dukun, baik itu keperluan keluarga, kerabat ataupun teman—beberapa di antaranya menggunakan kitab primbon, kartu ceki, dan penerawangan. Ada pula yang memanfaatkan bantuan jin khadam dan arwah. Tanpa validasi apa pun, itu semua dapat diterima oleh masyarakat Madura dengan akal sehat.
Begitulah. Betapa berharganya kehadiran sosok dukun bagi penduduk Pulau Garam itu, terlebih bagi mereka yang tetap menyunggi nilai-nilai tradisionalisme kuno sebagai salah satu jalan ikhtiar. Tanpa ada unsur glorifikasi apalagi bermaksud menuhankan seperti klaim-klaim gegabah yang kerap mengusik pendengaran kita. Karena pada kenyataannya, sesuai apa yang acap orang Madura lontarkan, “Ini hanya adat. Perantara.”