Di desa tempat tinggal saya, bulan Ramadan identik dengan takjil, tarawih dan tadarus Al-Qur’an. Sejauh saya rasa, hal-hal tersebut membentuk suasana khas. Di kota—menurut pengalaman hidup dan amatan saya—bulan Ramadan selain identik dengan takjil, tarawih dan tadarus Al-Qur’an, juga identik dengan festival kuliner. Mulai dari banyaknya orang berjualan makanan dan minuman untuk berbuka sampai kegiatan buka bersama yang dilaksanakan di warung-warung makan, hotel, restoran.
Masih sejauh saya rasa, hal-hal tersebut juga membentuk suasana khas. Perbedaannya, di kota suasana khas lebih terasa karena festival kulinernya, alih-alih takjil, tarawih dan tadarus Al-Qur’an.
Hal tersebut menunjukkan bahwa di desa, bulan Ramadan sekadar menjadi mesin sedekah—takjil biasanya terlaksana karena sedekah warga, konsumsi untuk tadarus Al-Qur’an ada juga karena sedekah warga. Di kota, selain menjadi mesin sedekah, bulan Ramadan juga menjadi mesin ekonomi.
Kondisi tersebut sebenarnya wajar saja jika dilihat dari kondisi sehari-hari di desa atau pun kota di luar bulan Ramadan. Di luar bulan Ramadan, sehari-harinya desa memang bukan tempat identik dengan kegiatan ekonomi. Sebaliknya, di kota begitu berdesak kegiatan ekonomi.
Oleh karenanya, jika orang-orang kota tidak pernah hidup di desa pergi ke desa dan tinggal barang 2 atau 3 hari, berkeliling dan mencoba menjalin keakraban dengan warga desa, ia akan menemui sesuatu bersifat anomali menurut cara pandang kota: banyak orang desa terlihat tidak bekerja, santai saja di rumah, tetapi bisa menghidupi keluarga. Sebaliknya, kalau kita tinggal di kota tidak bekerja, boro-boro bisa menafkahi keluarga, untuk hidup sendiri saja sulit.
Dari mana sebagian besar orang-orang desa mendapat penghasilan? Tentu saja bukan dari main kripto, trading, apalagi menjadi affiliator aplikasi judi dibalut trading dan menipu banyak orang, tetapi dari pertanian dan peternakan. Oleh orang desa, dua hal tersebut dimanfaatkan sebisanya. Untuk kehidupan sehari-hari memanfaatkan hasil pertanian—sebagian dijual supaya ada uang pegangan, sebagian untuk pasokan kebutuhan harian. Untuk pengeluaran-pengeluaran besar, seperti menyekolahkan anak, atau membiayai pernikahan anak di masa depan, dengan menjual hewan-hewan ternak (biasanya kambing dan atau sapi).
Itu semua dikerjakan dengan cara petani dan peternak desa. Dengan lahan seadanya. Dan jumlah hewan ternak juga seadanya. Bukan cara-cara indsutri yang membutuhkan lahan sangat luas dan jumlah hewan ternak sangat banyak.
Kegiatan pertanian, ketika tidak masa tanam dan panen, hanya membutuhkan waktu sekira 1-2 jam di pagi hari. Dan kegiatan peternakan membutuhkan waktu sekira 1 jam di pagi hari dan sekira 1 jam di sore hari. Itu pun tidak setiap hari. Kondisi tersebut membuat banyak orang desa seakan terlihat tidak bekerja.
Berbeda dengan desa, kota—sekali lagi saya tegaskan—berjubel kegiatan ekonomi. Di luar bulan Ramadan saja kondisinya seperti itu, apalagi di bulan Ramadan dengan peluang-peluang untuk meningkatkan kegiatan ekonomi yang terbuka lebar karena budaya komunal masyarakatnya.
Menurut saya, kalau dilihat sekilas, situasi dan kondisi dusun lebih kondusif untuk melaksanakan ibadah puasa. Ya, puasa itu membatasi diri, dan festival kuliner tentu saja adalah antitesis puasa. Walaupun di zaman kiwari, karena kemudahan transportasi, banyak orang desa yang menjadi bagian dari riuh rendah festival kuliner Ramadan di pusat-pusat keramaian seperti kota.
Namun, entah bagi orang desa atau kota, Ramadan ada benang merah maknanya. Kalau memang puasa Ramadan yang identik dengan batas, outputnya menjadi manusia tahu batas dan bisa membatasi diri dalam banyak hal, tetapi banyak dari kita yang tidak sepenuhnya bisa melatih diri dengan batas, paling tidak puasa mengingatkan kita semua—baik orang desa atau kota—tentang nikmatnya hidup bersama tanpa permusuhan.
Di luar bulan Ramadan, sehari-hari kita capek membenci. Di gardu ronda hampir setiap hari para peronda membicarakan kejelekan tenggaanya. Di tempat kerja hampir setiap hari para karyawan membicarakan keburukan bos, teman, saudara. Di sosmed banyak terjadi ujaran kebencian, fitnah dan pertengkaran. Tentu saja itu semua adalah embrio dari timbulnya permusuhan. Dan bukan tidak mungkin hal-hal tersebut terus dilakukan di bulan Ramadan.
Paling tidak di tengah ramainya orang-orang makan takjil di masjid, tarawih di masjid, orang-orang tadarusan di masjid atau dari rumah ke rumah, orang-orang menikmati festival kuliner, dengan melihat banyaknya orang terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut kita jadi sedikit sadar, betapa nikmatnya hidup tanpa membenci, betapa nikmatnya hidup tanpa permusuhan.