Dani Ismantoko
Penulis Kolom

Guru dan tinggal di Panjangrejo, Pundong, Bantul.

Ramadan dan Tadarus Al-Qur’an

Sepengetahuan saya ada tiga metode membaca Al-Qur’an yang melibatkan orang banyak yang sering dipakai di Indonesia. Pertama, muqoddaman. Muqoddaman adalah membaca Al-Qur’an dengan cara membagi jumlah bacaan kepada seluruh peserta. Biasanya, targetnya pada hari itu juga khatam. Misal, dalam satu rombongan ada 30 orang. Berarti satu orang mendapat jatah membaca satu juz. Dibaca pada waktu itu juga sampai setiap orang selesai membaca jatah jumlah bacaan yang didapatnya.

Kedua, sima’an. Seringkali metode sima’an ini berhubungan erat dengan seorang hafidz/hafidzoh (penghafal) Al-Qur’an. Berfungsi sebagai metode untuk mengetes sejauh mana hafalan Al-Qu’an para hafidz/hafidzoh. Teknisnya, ada hafidz/hafidzoh yang membaca. Dan peserta sima’aan yang tidak mendapat jatah membaca menyimak.
Ketiga, tadarusan. Metode ini teknisnya adalah, dalam satu kelompok membaca bergantian. Sekali baca ada yang dua, tiga, empat atau lima ayat. Tergantung jumlah anggotanya. Semakin banyak anggota dengan mayoritas anggota belum terlalu fasih membaca Al-Qur’an semakin sedikit jatah membaca setiap anggota. Supaya putarannya cepat dan tidak bikin ngantuk. Seseorang yang belum mendapat giliran, menyimak sekaligus mengoreksi bacaan orang yang membaca. Sebaliknya, ketika ia membaca, anggota yang lain menyimak sekaligus mengoreksi bacaan. Metode ini lebih ke saling belajar satu sama lain.

Baca juga:  Historiografi Al-Qur’an dan Perjanjian Baru dalam Tinjauan Kesarjanaan Revisionis

Sepengalaman saya sebagai warga dusun, biasanya para pemuda-pemudi dusun memilih metode ketiga untuk mengisi malam-malam bulan Ramadhan. Metode ini bisa dibilang cukup efektif untuk membuat orang bisa membaca Al-Qur’an secara baik dan benar dengan cara yang tidak memaksa. Pokoknya, siapa yang sebelum mengikuti kegiatan tersebut tajwidnya belepotan ketika membaca Al-Qur’an, karena mengikuti kegiatan tersebut tanpa terasa bisa berubah tidak belepotan tajwidnya.

Tapi ada syaratnya. Metode saling menyimak dan mengoreksi harus benar-benar dilaksanakan. Dengan seperti itu siapa pun saja bisa belajar satu sama lain. Kalau ada anggota yang membaca dan salah tajwidnya kita bisa belajar dari kesalahan orang kita tersebut. Kalau kita salah tajwidnya ketika membaca, kita juga bisa belajar dari anggota yang lain karena mereka pasti akan mengingatkan kita.
Kalau satu rombongan itu tidak ada yang bagus bacaan qur’annya bagaimana? Ya, memang syarat yang lain adalah ada anggota yang bacaan Al-Qur’annya bagus. Satu orang sudah cukup. Namun, sepengalaman saya mengikuti kegiatan tersebut biasanya tidak muncul permasalahan tersebut. Dari keseluruhan pemuda-pemudi dusun bisanya minimal ada tiga sampai lima orang yang bacaan Al-Qur’annya bagus.

Selain itu saya kira—hal ini baru saya pahami belum lama ini—anak-anak muda yang memutuskan malam-malamnya untuk tadarusan, secara tidak langsung melanjutkan laku puasanya yang dilakukan pada siang hari. Bahkan dengan level yang lebih tinggi menurut saya. Ketika siang hari dengan aturan wajibnya, banyak orang akan berpuasa, khususnya tidak makan dan minum. Karena banyak orang yang melaksanakan, hal itu terasa mudah-mudah saja. Ketika malam hari, saat-saat ketika kita boleh makan, sehingga memungkinkan untuk melakukan kegiatan menyenangkan tanpa perlu merasa lapar dan haus pemuda-pemudi yang memutuskan untuk mengikuti kegiatan tadarus Al-Qur’an menahan diri untuk tidak melakukan hal tersebut.

Baca juga:  Tafsir Surat An-Nisa Ayat 1: Patutkah Perempuan Menjadi Objek Kekerasan Seksual?

Ada banyak godaan hal-hal menyenangkan yang bisa dilakukan di malam hari. Nonton film sambil ngemil. Nongkrong bersama teman-teman sambil ngopi. Pergi ke tempat-tempat wisata malam. Dan pemuda-pemudi yang mengikuti kegiatan tadarus Al-Qur’an memilih untuk tidak melakukan kegiatan menyenangkan sebagaimana yang dilakukan anak-anak muda pada umumnya. Mereka lebih memilih untuk duduk di masjid atau di mana pun tempatnya, melingkar, saling belajar membaca Al-Qur’an. Bukankah puasa semacam itu—yang dalam bentuk lain namun secara substantif sama, yang kita lakukan di luar bulan Ramadan—adalah jenis puasa yang sulit?

Tentu saja, hal tersebut tidak lantas menganggap orang-orang yang tidak mengikuti atau tidak mengadakan kegiatan tadarusan Al-Qur’an sebagai orang berperangai buruk, tidak tahu etika, atau apa pun sangkaan yang punya tendensi buruk. Memilih untuk tadarusan atau tidak bebas-bebas saja. Toh, itu bukan sesuatu yang wajib, baik secara syari’at maupun secara kultural. Ini hanya berbagi perspektif saja.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top