Setengah paradoks. Tuhan membolehkan manusia melakukan apa saja. Tapi juga melarang manusia melakukan sebagian hal.
Membolehkan manusia melakukan apa saja karena pada kenyataannya orang mencuri tidak lantas dilenyapkan atau dihukum oleh-Nya saat itu juga. Melarang manusia melakukan sebagian hal dan Allah memberitahukan hal-hal yang dilarang tersebut melalui agama.
Membolehkan manusia melakukan apa saja asalkan siap menerima konsekuensinya. Melarang manusia melakukan sebagian hal dengan cara memberitahukan konsekuensinya.
Ini tidak bermaksud mencampur adukkan sesuatu yang bertentangan. Juga tidak bermaksud membatalkan logika-logika yang berlaku. Karena memang seperti itulah kenyataannya.Yang pasti di dalam setiap bagiannya ada perhitungan matematisnya.
Karena Allah membolehkan banyak hal untuk dilakukan manusia, maka sebenarnya manusia bisa melakukan sesuatu yang nyerempet-nyerempet keadaan berbahaya asalkan perhitungan matematisnya pas. Ini mirip dengan para pemain saham yang tidak pernah kalah. Tahu celah-celah tertentu yang terletak di tempat sangat rumit. Hanya orang dengan bakat dan kecerdasan tertentu yang bisa melakukan itu.
Karena Allah melarang sebagian hal kepada manusia, maka perhitungan matematisnya, supaya selamat manusia harus menghindar sejauh-jauhnya dari hal yang berbahaya. Ini yang secara umum dipahami kebanyakan manusia.
Yang dimaksud bahaya dalam kedua konteks tersebut bukan dalam artian yang paling kasat. Realitas kasat adalah kiasannya. Mungkin seperti naik motor dengan cara ngebut. Tetapi bukan peristiwa naik motor dengan cara ngebut menurut pertimbangan mata jasmaniah.
Yang menarik dari berbagai paradoks tentang jalannya kehidupan tersebut adalah tentang kehidupan para Nabi.
Saya mengambil contoh para Nabi karena mereka ini bisa dikatakan sebagai manusia dengan kualitas paling baik dari keseluruhan manusia. Oleh karennya, Allah bukan hanya mencatat perencanaan dan sejarahnya tapi juga menyajikannya sebagai pelajaran bagi umat manusia. Sehingga Dia menyebut mereka ini di dalam firman-Nya dalam Alquran.
Para Nabi di dalam hidupnya memakai pehitungan matematis yang berbeda dengan kebanyakan manusia. Saya menyebutnya ‘matematika cinta’. Perhitungan matematis dalam matematika cinta ini melampaui dua hal yang saya sebut di atas. Baik melewati keadaan berbahaya atau pun menghindar sejauh mungkin dari bahaya.
Maka, timbul efek yang berbeda. Misalnya, Nabi Ibrahim dibakar tetapi tidak terbakar. Nabi Musa memukulkan tongkat ke Laut Merah lalu terbelah. Nabi Isa menghidupkan orang mati. Nabi Muhammad memperlihatkan bulan terbelah kepada seorang raja. Itu bukan karena kemampuan para Nabi. Tetapi kehendak-Nya. Untuk mencapai itu perlu matematika cinta.
Muara dari matematika cinta berbeda dengan perhitungan matematis serumit apa pun yang dipahami secara umum oleh kebanyakan manusia. Matematika cinta tidak terpaku pada materialisme. Matematika selain matematika cinta tidak jarang terperosok kepada materialisme.
Maka, mukjizat para Nabi jika dipahami bukan dengan matematika cinta yang tersisa adalah mitologinya, keajaibannya. Bukan perhubungan saling mencintainya antara hamba dengan Sang Pencipta atau Sang Pencipta dengan hamba.
Apakah privilage menguasai matematika cinta itu hanya dimiliki para Nabi saja? Iya, kalau yang dimaksud menguasai tersebut secara maksimal. Tapi, bukan berarti tak bisa dipelajari dan diimplementasikan oleh manusia yang tak mencapai derajat Nabi.
Siapa teman dekat cinta? Ya, tepat sekali setia. Agaknya itu bisa dijadikan pintu masuk.
Lalu apa setia? Cinta memang buta dan kesetiaan bisa menuntun manusia kepada kebutaan itu. Tapi, Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan makanlah ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.
Kesetiaan yang tepat adalah kesetian yang dibatasi. Yang mengondisikan manusia tetap pada kesadaran terbaiknya. Lapar sulit berpikir. Kenyang malas berpikir. Keadaan yang terbaik adalah tidak lapar dan tidak kenyang.
Dalam buku sejarah agama yang umum, Nusantara tidak pernah menjadi tempat munculnya para Nabi. Terlepas benar atau tidaknya, walaupun seperti itu ada sebuah sejarah yang menunjukkan bahwa ketika Islam pada abad ke-7 dan 8 datang ke Nusantara dibawa oleh para pedagang Arab tidak banyak orang yang memeluk agama Islam.
Tetapi, sekira abad ke-14 dan 15 Islam disebarkan oleh para wali, dengan tokoh utamanya Walisongo, Islam dipeluk oleh banyak orang. Perlahan namun pasti. Juga tidak menimbulkan perpecahan yang mengerikan sebagaimana yang ketika berkembang di masa awal–awal Islam di Makkah.
Agaknya, selain para nabi dan wali tersebut, khususnya Walisongo bisa dijadikan referensi untuk mempelajari matematika cinta. Wallaahua’lam.