Masih banyak orang yang menganggap bahwa beragama Islam adalah untuk mencari tiket ke surga dengan cara sekadar menjalankan ritual-ritual keagamaan. Mulai dari sholat, puasa sampai haji.
Hal tersebut terbukti dengan semakin banyak masjid-masjid yang eksklusif. Seakan-akan beragama Islam sekadar eskapisme dari kehidupan dunia yang memang rumit dan penuh masalah.
Padahal jika kita melihat sejarah Islam, diterimanya wahyu justru menjadi titik balik bagi Nabi untuk melakukan perubahan sosial di wilayah sekitarnya. Kalau Islam memang sekadar eskapisme dari kehidupan dunia seharusnya dulu sejarahnya setelah Nabi menerima wahyu Nabi tak peduli dengan kehidupan sosial.
Puncaknya adalah ketika di Madinah. Nabi Muhammad bisa mendamaikan pihak-pihak yang berseteru dan sering beperang. Khususnya suku Aus dan Khazraj. Tak berhenti sampai di situ Nabi Muhammad bahkan bisa membuat Piagam Madinah yang merupakan embrio konstitusi modern.
Bahkan beratus tahun setelahnya Islam mengubah jazirah Arab yang sebelumnya adalah tanah antah berantah menjadi kekuatan besar dunia. Tapi kan seringkali perluasan wilayahnya dengan berperang? Kalau kita melihat sejarah di tahun-tahun 1000-an masehi wilayah mana yang tidak berperang? Bahkan di Nusantara saja banyak terjadi perebutan kekuasaan dengan cara pertumpahan darah. Bukan berarti itu menormalisasi hal tersebut. Kondisi zamanlah yang agaknya tidak bisa mengelak dari keadaan tersebut.
Oleh karenanya, komunitas yang berkecimpung di masjid yang menjadi salah satu subyek representasi Islam di masyarakat seharusnya tak sekadar membuat masjid menjadi mewah dan enak untuk sholat. Tetapi juga menjadikan masjid sebagai batu loncatan untuk memulai gerakan sosial yang bisa memberikan perubahan bagi masyarakat atau bisa menjadi solusi bagi permasalahan masyarakat sekitar.
Tapi kan untuk melakukan hal seperti itu butuh dana besar? Membuat masjid menjadi mewah pun membutuhkan dana besar. Kenapa dana besar sekadar digunakan untuk membuat bangunan masjid menjadi mewah, bukankah bisa juga digunakan untuk melakukan gerakan sosial?
Tapi kan gerakan sosial semacam itu adalah tugas pemerintah? Betul sekali, itu adalah tugas pemerintah. Tapi apakah pemerintah sudah maksimal dalam menyelesaikan masalah masyarakat? Apakah kemiskinan di kampung-kampung atau di dusun-dusun sudah beres? Apakah permasalahan petani di dusun-dusun sudah beres? Di Jogja bahkan ada permasalahan sampah dan pemerintah sekadar melakukan sosialisasi melalui berbagai forum—itu pun tidak jarang nimbrung di forum yang tidak diadakan pemerintah—supaya masyarakat menyelesaikan persoalan sampah di wilayah masing-masing. Itu adalah celah-celah yang bisa diambil oleh komunitas masjid untuk memberikan kemanfaatan bagi masyarakat sekitar.
Selain itu, seharusnya orang-orang yang rajin ke masjid tidak bersikap ekslusif. Di dusun banyak terjadi, orang yang yang sering datang ke masjid, tidak tua tidak muda malah bersikap seperti priyayi. Ketika ada kegiatan dusun yang umum, yang dianggap tak ada hubungannya dengan ritual keagamaan seperti kerja bakti, alih-alih aktif malah diam saja, atau bahkan tidak keluar. Justru yang aktif adalah orang-orang yang dianggap jauh dari agama.
Hal-hal seperti itu terjadi, sekali lagi, karena masih banyak orang beranggapan bahwa beragama adalah untuk mencari tiket ke surga yang dipersempit dengan sekadar menjalankan ritual keagamaan.
Iming-iming surga adalah tingkatan awal dalam beragama. Ibaratnya anak kecil yang mau mengerjalan sesuatu karena mendapatkan imbalan permen. Ketika seseorang mencapai titik yang lebih tinggi dalam beragama seharusnya motifnya berubah menjadi lebih tinggi: menjadi manusia yang bermanfaat.
Namun, jika motif ingin masuk surga tersebut tak bisa diubah dan menganggap motif lain tak masuk akal, seharusnya cara pandang proses untuk mencapainya yang harus diubah. Tak lagi eksklusif dan sempit dengan sekadar menganggap bahwa tiket surga didapat dengan menjalankan ritual keagamaan tetapi tiket surga dapat didapat dengan cara menjalankan ritual keagaaman sekaligus menjadi manusia bermanfaat.