Hidup adalah sebuah paradoks. Apa itu paradoks? Paradoks adalah sesuatu yang berlawanan yang terjadi sekaligus. Dalam hidup, kita disuguhi banyak sesuatu semacam itu. Contoh: oksigen itu salah satu yang membuat manusia hidup. Kita menghirup oksigen supaya bisa bernafas. Tetapi di sisi lain oksigen itu membuat kulit-kulit kita menua. Salah satu sumber penuaan adalah oksigen. Dalam kasus ini oksigen itu menghidupi sekaligus menuntun kita kepada kematian sedikit demi sedikit.
Coba kita perluas lagi contohnya. Kita lahir itu sebenarnya untuk hidup atau mati? Jawabannya tidak bisa dikatakan untuk hidup saja. Karena nyatanya dalam jangka waktu tertentu, bisa 1 bulan, 1 tahun, 10 tahun, 63 tahun, atau mungkin 100 tahun (kalau diberi bonus) kita akan mati. Tetapi kalau lahir dikatakan sekadar untuk mati atau menunggu mati saja juga tidak tepat, karena nyatanya Allah, melalui Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk menjadi khalifah di bumi atau bahasa mudahnya menjadi makhluk yang mengelola bumi.
Selanjutnya, coba kita elaborasi dengan sifat Allah. Allah itu tidak hanya maha menghidupkan, tetapi juga maha mematikan. Dalam satu detik berapa banyak manusia lahir, tumbuh-tumbuhan muncul dari sebuah biji, dedauanan tumbuh, hewan-hewan lahir, atau bahkan planet-planet baru lahir? Tentu saja tidak bisa dihitung karena saking banyaknya. Tetapi bersamaan dengan itu, berapa banyak manusia mati, tumbuh-tumbuhan mati, dedaunan jatuh, hewan-hewan mati, atau bahkan planet-planet baru mati dan hancur? Jawabannya sama dengan pertanyaan sebelumnya, tidak bisa dihitung karena saking banyaknya.
Kita mengira bahwa selama ini hidup adalah sebuah gerak positif. Kalau kita melakukan A akibatnya adalah A juga. Kalau kita melakukan B akibatnya adalah B juga. Kalau kita melakukan C akibatnya adalah C juga. Hidup lebih rumit dan random dari yang kita bayangkan. Kita harus siap kalau kita punya keinginan A ternyata yang muncul di hadapan kita adalah Z, yang sama sekali tak pernah kita bayangkan.
Berkaitan dengan itu ada contoh memilukan. Ada sebuah kasus berkaitan dengan sebuah pondok pesantren, yang bisa dikatakan cukup tua. Dalam angan-angan kita, tidak mungkin salah satu pengasuh pondok pesantren tersebut melakukan perbuatan keji kepada santrinya. Nyatanya putra kyai atau yang biasa kita sebut gus melakukan perbuatan keji terhadap santri. Tidak tanggung-tanggung, merebut kehormatan santri tersebut. Tidak hanya satu santri, tetapi banyak. Contoh lain: selama ini kita menganggap habib, atau keturunan nabi pasti baik. Pada kenyataannya tidak semua keturunan nabi baik.
Mungkin, dulu ketika kita berada di alam sebelum lahir merasa ingin lahir di dunia karena kita melihat banyak rekan-rekan kita sesama ruh lahir satu persatu. Sebagaimana ketika kita masih kecil dulu, karena kita menganggap orang-orang dewasa boleh melakukan banyak hal, kita jadi ingin lebih cepat dewasa. Kita di alam sebelum lahir memohon-mohon kepada Allah untuk dilahirkan ke dunia. Dan setelah kita dilahirkan, ternyata kenyataan tidak seperti apa yang kita bayangkan dulu ketika kita berada di alam ruh. Begitu juga ketika kita sudah dewasa, ternyata kehidupan dewasa tidak seperti angan-angan masa kecil dulu yang menganggap bahwa menjadi dewasa itu hidup serba enak karena boleh melakukan hal-hal tidak diperbolehkan ketika kita kecil dulu.
Dalam segala kesalahpahaman atas ketidaksesuaian antara keinginan, idealisme, angan-angan tentang kehidupan ideal dengan kenyataan, hal yang perlu kita tekankan dalam hidup adalah sikap tidak mudah kaget. Ya, itu saja.
Lagi pula dalam Al-Qur’an, Allah memberitahukan kepada kita kalimat “inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun” yang artinya, sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali atau bisa juga diartikan, sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada-Nya kita kembali. Seekstrim apapun paradoks-paradoks yang kita lewati, kita alami dalam kehidupan, inti dari kehidupan yang selama ini kita jalani adalah kembali kepada Allah.
Bisa jadi Allah itu mengizinkan sebagian ruh-ruh untuk mengalami kehidupan dunia dalam rangka “men ngrasakke (supaya merasakan)”. Dan besok, ketika kita bertemu Allah, Allah akan bilang, “piye rasane? Wis puas urip nang dunya apa durung? (Gimana rasanya? Sudah puas hidup di dunia atau belum?)” dan kita akan menjawab, “Sampun gusti, sampun mawon, kulo ten mriki mawon kalih panjenengan (sudah Tuhan, sudah saja, saya di sini saja bersama engkau)”.