M. Dani Habibi
Penulis Kolom

Lahir di Lampung, 1996. Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Isalam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan saat ini tinggal di PP Wahid Hasyim

Islam dan Budaya dalam Perkawinan Suku Sasak di Lombok

Perkawinan di mana saja tempatnya, budayanya, agamanya, adalah ritual penting, tak terkecuali dalam tatanan suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Dalam budaya pernikahan suku Sasak, berkembang adat tradisi mengharuskan anak gadis bangsawan menikah dengan laki-laki dari garis keturunan bangsawan dan tidak boleh menikah dengan laki-laki dari garis jajar karang. Dalam dogma yang berkembang, kalangan bangsawan adalah kalangan yang memiliki strata sosial yang lebih tinggi dari kalangan jajar karang.

Upaya pencegahan pernikahan anak gadis dengan laki-laki non bangsawan selalu diupayakan. Sanksi adat yang biasanya diberlakukan bagi pelanggar ketentuan adat ini cenderung bersifat sikap. Seperti bagi gadis bangsawan yang telah melarikan diri untuk menikah dengan pria di luar strata kebangsawanannya, maka sanksinya akan dibuang dan tidak diakui lagi sebagai bagian dari keluarganya serta pemutusan hak waris-mewaris.

Yang menjadi persoalan di sini adalah bagaimana tradisi tersebut bisa bertahan dan dapat berinteraksi dengan agama Islam. Kita ketahuhi didalam Islam terdapat beberapa unsur dimana jika ada budaya yang tidak sesuai dengan syariat Islam maka harus dihilangkan.

Namun jika kita melihat dari kacamata antropolgi, sebuah tradisi merupakan sebuah budaya. Budaya yang sudah mendarah daging dan menjadi sistem nilai, sistem tingkah laku dan mengandung nilai-nilai luhur yang harus dipertahankan dan dilerstarikan.

Baca juga:  Endhog–endhogan: Tradisi Perayaan Maulid Nabi Masyarakat Banyuwangi

Dalam fenomena seperti ini, apakah adat tradisi Sasak yang sudah lama mengakar dan diperaktekkan harus dihapus karena tidak sesuai dengan Islam? Ataukah ada semacam rasionalitas kultural yang melahirkan beberapa alteratif yang bisa dipraktekkan dan menjadi budaya baru?

Istilah perkawinan dalam Islam disebut nikah atau ziwaj. Kedua istilah ini dilihat dari arti katanya dalam bahasa Indonesia ada perbedaan, sebab kata ‘nikah’ berarti hubungan seks antara suami-istri sedangkan ‘ziwaj’ berarti kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam hubungan suami-istri untuk mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadat kebaktian kepada Allah. Dan jika kita lihat didalam Komplikasi hukun Perkawinan, Pasal 2 berbunyi pernkahan adalah salah satu perintah Allah yang jika dilaksanakan maka memuat unsur ibadah.

Sedangkan tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah berbakti kepada Allah; Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi hukum antara pria dan wanita itu saling membutuhkan; Mempertahankan keturunan umat manusia; Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria dan wanita; Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia untuk menjaga keselamatan hidup.

Seperti pada umumnya, sebuah resepsi perkawinan di daerah mempunyai ciri khas masing-masing. Di dalam tradisi suku Sasak, hal tentang perkawinan pada umumnya dilakukan melalui tahapan-tahapan tertentu yang berdasarkan pada tuntunan adat. Proses tersebut meliputi diantaranya yaitu proses perkenalan, lari bersama untuk kawin dan proses penyelesaianny serta akad perkawinan.

Baca juga:  Generasi Milenial Arab Lebih Suka Bicara Bahasa Inggris

Masa perkenalan dan pemilihan jodoh melalui suatu lembaga adat yang disebut midang. Midang adalah kunjugan seorang laki-laki kepada seorang perempuan dengan maksud untuk mengadakan perkenalan, pendekatan dan menjalin hubungan cinta.

Setelah beberapa kali midang dilakukan, barulah si pemuda menanyakan apakah perempuan pujaannya itu benar-benar mencintainya dan bersedia menjadi istrinya.

Jika tawarannya diterima, barulah terjadi beberayean. Jika dua sejoli sudah sepakat untuk kawin, maka selanjutnya yang dilakukan adalah melarikan si gadis dari lingkungan orangtua serta keluarganya. Tidakan ini disebut merarik atau melaiang.

Proses tersebut adalah proses yang sudah mendarah daging dalam tradisi perkawinan di suku Sasak. Tidak heran jika, banyak orang yang terkejut jika melihat tradisi seperti di Lombok. Setelah merarik atau mealaing. Selanjutnya ada bale panyeboan, yang mana kedua calon mempelai terikat dengan berbagai ketentuan adat yang ketat. Misalnya mereka tidak boleh tidur bersama di satu tempat tidur sampai benar-benar telah menjadi pasangan suami istri yang sah.

Tradisi pernikahan suku sasak telah ada sejak lama, dan sebelum Islam masuk pun suku Sasak sudah mengenal perkawinan. Oleh karenanya, Islam datang dan menyebar di daerah Lombok melalui tradisi dan budaya. Di situlah terdapat keterhubungan antara tradisi budaya daerah dengan nilai-nilai Islam yang menjadikan sebuah tradisi yang utuh dan dapat dilestarikan sampai saat ini.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top