“Selama beberapa dekade, identitas Palestina telah dihapus secara sistematis dari budaya popular yang dikonsumsi oleh mayoritas warga dunia,” kata Ahmed Twaij, seorang jurnalis dan film-maker dalam artikel bertajuk Mo is the inspiration Palestinian cinema needs, yang tersiar di kolom opini Aljazeera (13/9/2022).
Kolom itu semacam ulasan kritis atas serial komedi semibiografi berjudul Mo, karya sineas Palestina-Amerika, Mohammed Amer, yang ditayangkan Netflix, Agustus 2022 silam. Twaij mencatat, di media-media global, termasuk film, khazanah budaya Palestina sudah lama diabaikan atau bahkan diklaim sebagai budaya Israel. Ambil contoh hummus (sejenis pasta kental yang terbuat dari buncis, biji wijen, minyak zaitun, lemon, dan bawang putih) yang sejatinya adalah makanan khas orang Palestina, tapi sering diberi label Israel di banyak restoran dan toko-toko di seluruh Amerika.
“Apakah Anda ingin mencoba cokelat hummus?” kata kasir di sebuah supermarket dalam salah satu episode Mo. “Kamu bilang cokelat hummus? Kamu menghina nenek moyangku,” begitu protes Mo yang diperankan oleh Mohammed Amer. Si kasir kemudian menjawab, “Lo siento [maaf], saya tidak tahu hummus adalah orang Meksiko.” Bukan saja soal hummus yang terasa sudah begitu jauh dari jejak warisan Timur Tengah, khususnya Palestina, publik Amerika Serikat pun hampir tak bisa membedakan ciri-ciri fisik orang Palestina dengan orang Meksiko. Dialog ringan itu memperlihatkan betapa efektifnya propaganda penghapusan semua jejak kultural Palestina di belahan dunia Barat sejak era David Ben-Gurion (Bapak pendiri Israel).
Serial televisi Mo digarap oleh komedian Palestina-Amerika Mohammed Amer yang berkolaborasi dengan aktor Mesir-Amerika Ramy Youssef. Cerita berkisar di seputar kehidupan sehari-hari protagonis, Mo Najjar dan keluarga Palestinanya, yang sedang berlindung di Houston, Texas, AS setelah mengungsi dari Palestina pasca Nakba (1948) dan kemudian melarikan diri dari Kuwait selama Perang Teluk (1991).
Dibumbui dengan humor-humor satir, kegembiraan, kesedihan, film ini menyentuh topik-topik serius seperti perbatasan, trauma, dokumentasi hukum, dan warisan Palestina melalui kacamata seorang pengungsi di Houston. Menurut para analis, film ini lebih dari sekadar hiburan dan menawarkan sudut pandang baru tentang orang Arab, khususnya Palestina, yang pengalaman-pengalaman getir mereka, sebagian besar telah diredam, distereotipkan, dan diredupkan di layer sinema Barat. Film ini mendapat sambutan hangat karena menyentuh hati banyak orang Timur Tengah yang bermukim di belahan dunia Barat.
Episode pertama saja sudah memicu kerumitan, ketika Mo Najjar dipecat dari pekerjaannya di sebuah kios servis telpon pintar, dan terpaksa mencari pekerjaan, tanpa dokumen resmi. Saat Mo berupaya mendapatkan pekerjaan tambahan, mulai dari menjual barang-barang tiruan di bagasi mobilnya, hingga menjadi Disk Jockey (DJ) di klub tari telanjang, serial ini mulai mengeksplorasi kompleksitas budaya masyarakat Timur Tengah di mana pria sebagian besar diharapkan menjadi pencari nafkah keluarga, sekaligus memperlihatkan contrasting tajam antara tradisi keluarga yang konservatif dengan kehidupan keseharian yang mereka hadapi di dunia Barat.
Keluarga Muslim Najjar yang taat, tak terkecuali dengan perlakuan tabu budaya Arab terhadap topik-topik seperti tato, pernikahan beda agama, kecanduan, dan hubungan seks bebas. Film ini menekankan betapa menantangnya cara menyeimbangkan kontras antara tradisionalisme dan progresivisme, masa lalu dan masa kini. Keanekaragaman global juga terasa kental tergambarkan oleh Mo Amer, misalnya sahabat masa kecil Mo bernama “Nick” yang diperankan oleh aktor Afro-Amerika Tobe Nwigwe, kekasih Mo bernama “Maria”, seorang gadis Katolik asal Meksiko yang diperankan oleh Teresa Ruiz, dan pengacara imigrasinya diperankan karakter Yahudi-Amerika “Lizzie Horowitz” oleh komedian dan aktor Lee Eddy.
Mo secara singkat juga menyinggung konflik Palestina-Israel, yang sebagian besar bernada komedi, seperti ketika ia berkata, “Ya, ini masalah branding yang nyata,” sebagai tanggapan atas sapaan “Shalom,” atau ketika ia memberitahu teman-temannya, “Ini seperti melempar batu, orang Palestina harus menjadi yang terbaik dalam hal ini,” katanya sambil bermain game Arkade. “Penting untuk mengkomunikasikan (konflik Palestina-Israel) dengan sangat jelas tanpa berlebihan. Banyak acara yang dipenuhi propaganda dan ingin memaksakan diri. Padahal ini hanya kisah yang sangat lembut tentang sebuah keluarga yang berjuang secara emosional setelah terlantar untuk kedua kalinya dan mencoba menyatukannya kembali,” jelas Amer dalam sebuah wawancara, sebagaimana dikutip Dana Hourany (2022) dalam Mo brings Palestine to Western Audiences.
“Saya belum pernah ke Palestina, saya tidak memiliki kewarganegaraan di sana, tidak memilikinya juga di sini,” kata Mo Amer dalam sebuah forum. Melalui humor, Amer, yang kini berusia 41 tahun, berbagi pengalaman hidupnya, dan berusaha mendapatkan status kewarganegaraan AS, yang prosesnya telah memakan waktu lebih kurang 20 tahun. Menurut catatan Indlieb Farazi Saber (2022), dalam esai Netflix’s Mo: Rebranding Palestine, Amer sejatinya sedang berkisah tentang dirinya sendiri, seorang bocah Palestina berusia sembilan tahun yang melarikan diri dari Kuwait setelah diserang Irak pada 1990. Tiba di Texas bersama ibunya, Yusra, dan saudara perempuannya, Haifa.
Lima tahun kemudian, pada usia 14 tahun, ayah Amer wafat karena serangan jantung, meninggalkan keluarga, dan status suaka mereka belum sempat terselesaikan. Periode dalam hidup getirnya inilah yang digambarkan Amer dalam serial komedi Mo. “Saya tidak peduli lagi. Saya menyerah pada segalanya, gagal di sekolah sampai salah satu guru menyarankan saya untuk tampil. Kemudian saya melihat pertunjukan Bill Cosby dan hanya itu. Saya tahu, saya ingin menjadi seorang komedian.” Inilah awal mula Amer muda berada di jalur stand-up comedy. Sejak itu, ia mulai berkeliling, menghibur pasukan AS di seluruh dunia, kemudian menjadi bagian dari trio komedi Allah Made Me Funny, dan pada 2015 ia melakukan tur dengan Chappelle. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 2017, Mo Amer memulai debutnya di The Late Show bersama Stephen Colbert.
Dominasi sinema-sinema pro-Israel di belahan dunia Barat bukan karena para sineas Palestina tidak berbakat, atau karena kalah bersaing dengan sinema-sinema pro Israel dalam meraih sebanyak-banyaknya audien Barat. Jauh sebelum Israel berdiri, perfilman Palestina terkenal di seluruh dunia Arab. Film Palestina pertama adalah dokumenter bisu pada 1935, yang mengilhami peluncuran banyak produsen film di Palestina. Bioskop terbesar pada saat itu, adalah Alhambra, dibangun di Jaffa pada tahun 1937, dan menampung raksasa budaya pop Arab seperti Umm Kulthum dan Farid al-Atrash.
Pada 2002, film Palestina Divine Intervention karya Elia Suleiman dipertimbangkan untuk Penghargaan Palme d’Or di Cannes tetapi gagal masuk Oscar di bawah kategori Film Asing Terbaik karena Palestina tidak dianggap sebagai negara berdaulat. Tahun berikutnya, dalam upaya untuk meningkatkan inklusivitas, Oscar memilih untuk memperlakukan Palestina seperti halnya negara-negara tidak berdaulat lainnya, membuka jalan bagi Paradise Now karya Hany Abu-Assad untuk nominasi Oscar 2006. Diplomat Israel saat itu sangat menentang keputusan komite penjurian karena penghargaan terhadap film itu pada akhirnya akan mendeklarasikan pengakuan terhadap wilayah teritorial Palestina.
Narasi pro palestina yang terbuhul dalam setiap episode Mo, dapat dipandang sebagai penyeimbang atau penyangkalan lunak atas perspektif Israel (terhadap budaya Arab) yang terlalu dominan. Netflix sendiri menawarkan cukup banyak bukti perihal dominasi sinema pro Israel ini. The Spy, misalnya, serial televisi yang diproduksi Gideon Raff, menampilkan kisah agen ganda Israel Eli Cohen sebagai pahlawan dengan orang Arab sebagai musuh bebuyutannya. Contoh lainnya Fauda dan Inside the Mossad, yang hampir semuanya menampilkan orang Palestina dan orang Arab lainnya sebagai pelaku kekerasan, dan orang Israel sebagai pahlawan. Serial televisi semacam itu sejatinya tak lebih dari propaganda Israel lewat budaya popular dalam menghapus seluruh jejak kultural bangsa Palestina.
Begitulah cara kerja Mo Amer. Sebagai representasi imigran Palestina di Amerika Serikat, yang selama bertahun-tahun hendak “ditiadakan”, komedian cum film-maker yang tumbuh besar di Houston itu tidak mengajak saudara-saudara Palestinanya meratapi nestapa, tapi menertawakan peruntungan buruk mereka. Lewat adegan-adengan dalam serial Mo, ia justru menertawakan dirinya dan keluarganya yang tak kunjung berhasil mendapatkan paspor AS, sementara seekor anjing pelacak milik kepolisian AS yang sekali waktu memeriksa antrean kendaraan pribadi yang dicurigai, divisualkan sebagai hewan yang memiliki kelengkapan dokumen kewarganegaraan AS. Anjing pelacak yang memeriksa barang-barang seludupan di bagasi mobil (barang-barang yang biasa dijual Mo secara sembunyi-sembunyi) itu lebih mujur dari Mo, dan karib-kerabat imigran Palestina lainnya. Barangkali humor-humor satir garapan Mo Amer lebih tajam dari ratapan dan airmata kaum migran Palestina.