Jika aku harus mati, maka kau harus hidup. Untuk menuturkan kisahku. Jika aku harus mati, maka biarkanlah kematian itu membawa harapan. Biarkan ia menjadi sebuah dongeng, demikian terjemahan beberapa penggalan puisi bertajuk If I Must Die karya Refaat Alareer, yang ia sematkan di profil akun X-nya pada 1 November 2023.
Publik sastra dunia kemudian mengutip versi utuhnya, dan menyebarluaskannya secara seketika, selepas tersiar kabar tentang penyair termasyhur, profesor sastra Islamic University of Gaza, dan aktivis perlawanan Palestina itu, meninggal dunia pada 7 Desember 2023, akibat serangan udara Israel di wilayah permukimannya di Gaza. 2 saudara kandungnya, dan 4 orang anaknya ikut tewas bersamanya hari itu. Viralitas sajak If I Must Die kemudian membuat sajak penghabisan penyair martir itu tertera di plakat, spanduk, bendera, bahkan layang-layang raksasa dalam gerakan massa di berbagai kota di dunia, guna menyuarakan himbauan gencatan senjata dalam perang Hamas-Israel.
“Saya mengenal Refaat Alareer sejak saya berusia 17 tahun. Ia orang pertama yang mengajari saya menulis dalam bahasa Inggris. Lebih dari seorang guru, ia juga mentor, teman, dan benar-benar peduli terhadap murid-muridnya di luar kelas,” ungkap Jehad Abusalem, penulis muda Palestina, sebagaimana dikutip oleh www.newarab.com (8/12/23). “Hidupnya penuh tantangan, ditandai dengan kehilangan keluarganya. Namun, ia bertahan, melawan dan menulis kembali. Kelak, banyak dari kita, sebagai murid Refaat, akan berbagi sebagian dari kisahnya,” lanjut Abusalem.
Di kalangan penulis muda yang tergabung dalam We Are Not Numbers (lembaga nirlaba, basis perlawanan intelektual muda Palestina yang didirikan oleh Refaat Alaleer), ia adalah sosok pria yang tak kenal takut, akademisi pemberani yang menggunakan media sosial secara rutin, untuk melaporkan derita warga Gaza sejak operasi militer Israel berlangsung. Sejarahwan Louis Allday (2023) dalam What existence is worth: The Martyrdom of Refaat Alareer, menyebut kematian Refaat Alareer itu mengingatkan banyak orang pada tragedi yang menimpa Ghassan Kanafani, penulis revolusioner Palestina, yang terbunuh pada 1972. Masa itu, Ghassan meninggal dunia bersama seorang keponakan dan putri saudara perempuannya. Dua penulis tersebut memiliki komitmen yang sangat kuat terhadap perlawanan rakyat Palestina, dan bersuara lantang tentang Palestina sebagai isu kemanusiaan universal. Baik Refaat maupun Ghassan, sama-sama punya keberanian untuk merekam dan menyebarkan budaya dan cerita Palestina, dan keyakinan mendasar akan kebenaran perlawanan Palestina dalam segala bentuknya.
Refaat adalah akademisi berpendidikan tinggi, dengan spesialisi sastra Inggris. Menurut Allday, ia sangat mungkin memperoleh kehidupan lebih baik bagi dirinya dan keluarganya di luar Gaza, demikian pula dengan Ghassan Kanafani, yang pada era 1960-an, dikenal sebagai novelis terkenal, budayawan kondang yang menikah dengan perempuan berkewarganegaraan Denmark, tapi keduanya malah memilih untuk berada di tengah puing-puing kekalahan di Gaza. Dalam salah satu suratnya pada keponakannya, Ghassan menegaskan pilihan untuk “tidak menjadi penonton” dan itu berarti itu ia telah memilih untuk menjalani momen-momen menentukan dalam sejarah mereka, tak peduli betapapun singkatnya momen tersebut. Sebagaimana Ghassan, Refaat juga bukan penonton.
Hingga akhir hayatnya, dengan cara yang bermartabat, ia berjuang melawan zionisme. “Saya hanya punya pena, saya akan melemparkannya ke tentara pendudukan jika mereka menyerang, bahkan jika itu adalah hal terakhir yang bisa saya lakukan,” kata Refaat dalam salah satu gurauannya. Sebagaimana dilansir BBC News (8/12/23), profesor Alareer bukanlah intelektual biasa. Ia seorang pendidik yang telah menginspirasi banyak generasi muda Gaza untuk mengambil alih narasi mereka sendiri dan menceritakan kisah Gaza dan Palestina berdasarkan kacamata mereka sendiri. Ia salah satu penyunting buku bertajuk Gaza Unsilenced (2015), dan editor Gaza Writes Back: Short Stories from Young Writers in Gaza, Palestine (2013). Jehad Abusalem menjelaskan, Profesor Refaat mengajarinya bahasa Inggris dan memandang bahasa tersebut sebagai “cara untuk melepaskan diri dari pengepungan berkepanjangan di Gaza, sebuah perangkat teleportasi yang menentang pagar Israel dan blokade intelektual, akademis, dan budaya di Gaza”.
Sejumlah pihak berupaya menghubungkan kematian Refaat Alareer dengan pernyataan penyair itu dalam sebuah interview dengan BBC News beberapa jam setelah serangan Hamas terhadap Israel, 7 Oktober 2023. Ia menyebut serangan itu “sah dan bermoral” dan menegaskan, itu persis seperti Pemberontakan Ghetto Warsawa (1943) yang terjadi di Polandia saat berada di bawah pendudukan Jerman. Masa itu, orang-orang Yahudi menggunakan senjata yang diselundupkan ke dalam Ghetto untuk melawan upaya Nazi yang akan mengangkut mereka ke kamp pemusnahan. Boleh jadi pernyataan dan pengamsalan itulah pangkal soal dari kecaman Israel terhadap Refaat dan para pendukungnya, hingga ia kemudian menjadi target penyerangan.
Sejauh ini belum ada yang dapat membuktikan klaim itu, tapi jalan perlawanan yang telah ditempuh Refaat dan kaum intelektual Palestina lainnya untuk tanah kelahiran mereka, pernah diilustrasikan secara alegorik oleh novelis Inggris, John Berger, bahwa “mereka tidak hanya menolak absurditas gambaran dunia yang ditawarkan, tapi juga mencelanya. Dan, ketika neraka dikecam dari dalam, maka neraka itu tidak lagi menjadi neraka.” Dalam semangat semacam itulah, Refaat menjalani hidup singkatnya sebagai kecaman keras terhadap neraka yang diciptakan zionisme, tidak hanya pada warga Palestina, tapi juga pada banyak warga Lebanon, Suriah, Mesir, dan sekitarnya.
Refaat adalah salah satu inspirasi saya di Gaza. Selain brilian dan menawan, ia juga baik dan tulus,” kata Ramzy Baroud, penulis kelahiran Gaza. “Saya merasa, semua yang ia tulis atau ia ucapkan mewakili prioritas kami di seluruh dunia. Kami dibimbing olehnya, dan orang-orang menyukainya. Kematian Refaat bukanlah akhir dari cerita, namun awal dari babak baru perlawanan intelektual,” tambah Baroud. Bukti dari babak baru perlawanan itu adalah kutipan-kutipan sajak If I Must Die yang berhamburan di pusat-pusat keramaian berbagai kota besar, baik di belahan Timur dunia maupun Barat, dalam macam-macam bentuk gerakan protes dan himbauan gencatan senjata. Tak tanggung-tanggung, aktor senior asal Skotlandia, Brian Cox, membacakannya untuk publik dunia, dan kepingan videonya bertebaran di belantara Big Data. Orang-orang juga menerbangkan layang-layang ukuran besar dengan kutipan If I Must Die di kertasnya.
Seolah-olah, layang-layang putih ekor panjang yang diiimajinasikan Refaat dalam puisi perpisahannya benar-benar nyata dan telah mengangkasa guna menghibur seorang bocah Gaza yang sedang menunggu kepulangan ayahnya dari zona tempur yang terkepung dalam kobaran api. Refaat tentu sangat menyadari, harapan atas kembalinya cinta (bringing back love) dan kedatangan malaikat yang bakal membela saudara-saudaranya di Gaza hampir tak mungkin. Tapi, setidaknya jalan martir Refaat itu dapat menumbuhkan sebuah harapan baru bagi warga Gaza saat ini. Jika itupun masih sukar dicapai, maka ia meminta kematiannya dibiarkan “hidup” sebagai dongeng. If I must die, let it bring hope, let it be a tale…