Bukan sebuah kebetulan, ketika khalifah sekelas Harun Ar-Rasyid (766-809) memberi kesempatan pada seorang seniman untuk memainkan alat musik koleksi istana. Tak tanggung-tanggung, alat musik petik berbentuk kecapi yang lazim disebut ‘ud —kelak di Eropa dikenal sebagai lute– itu adalah milik seniman kondang era imperium Abbasiyah (Baghdad), Ishaq Al-Mawsili (767-850).
Namun, seniman itu menolak tawaran khalifah. “Saya sudah membawa kecapi saya sendiri,” katanya, penuh hormat. “Saya sendiri yang membuat kecapi itu dari bahan kayu khusus. Tak ada instrumen lain yang memuaskan saya. Saya meninggalkannya di gerbang istana. Bila baginda mengizinkan, saya akan membawanya ke sini,” begitu dalih seniman itu, sebagaimana dikisahkan oleh Robert W Lebling (2003) dalam artikel bertajuk Flight of Blackbird.
Dalam keadaan masih terperangah, Harun Ar-Rasyid memeriksa ‘ud yang tak jauh dari posisi duduk Ishaq Al-Mawsili. Barangkali sekadar memastikan apa gerangan cacat alat musik kepunyaan legenda hidup Baghdad itu. “Kenapa kamu tidak memainkan kecapi, Tuanmu?” tanya Harun Ar-Rasyid.
Disebut “Tuan” karena seniman yang sedang berhadapan dengan khalifah kelima Dinasti Abbasiyah itu adalah murid Ishaq sendiri. “Jika Baginda ingin aku bernyanyi dengan gaya Tuanku, aku akan menggunakan Kecapinya. Tapi untuk bernyanyi dengan gayaku sendiri, aku membutuhkan instrumen ini,” balasnya.
Sekilas kedua kecapi itu memang tampak mirip. Namun kepada Harun Ar-Rasyid, seniman muda itu menjelaskan bahwa bahan kayu dan ukurannya sama, tapi beratnya tidak. “Kecapi saya beratnya sepertiga lebih rendah dari milik Tuan Ishaq. Talinya terbuat dari sutra yang dipanaskan dalam waktu tertentu untuk melenturkannya.
Bass dan senar ketiga terbuat dari usus singa. Bunyinya lebih lembut, tapi juga lebih nyaring. Senarnya lebih tahan dari kekuatan petikan saat dimainkan. Ia juga menambahkan string kelima dari Kecapi itu. Alat petiknya menggunakan cakar elang. Bukan kayu berukir yang biasa, seperti kecapi milik gurunya.
Setelah tampil memukau di hadapan Harun Ar-Rasyid, sang khalifah tiba-tiba menegur Ishaq. Kenapa ia baru tahu ada bakat bermusik yang menakjubkan itu, kenapa Ishaq seolah-olah menyembunyikannya? Tak lama kemudian, di belakang layar terjadilah perseteruan kecil antara guru dan murid. Ada kesan Ishaq menaruh dengki, dan tak ingin nama besarnya terlampaui oleh kepiawaian muridnya sendiri.
“Tinggalkan Baghdad! Menjauhlah kau dari kota ini!” demikian permintaan Ishaq pada murid bernama Abu al-Hasan Ali ibn Nafi (789-857) itu. Tak main-main, permintaan Ishaq yang bernada ancaman itu disertai dengan kesanggupannya untuk membiayai keberangkatan Abu Al-Hasan, asalkan ia enyah dari Baghdad.
Maka, berlabuhlah murid yang tak disukai itu di tanah Andalusia, Spanyol, tepatnya tahun 822. Semula ia menyurati Al-Hakam, penguasa Andalusia masa itu. Abu al-Hasan menawarkan keterampilan musiknya. Al-Hakam senang dengan prospek menambahkan seorang musisi Baghdad ke istananya.
Namun, ketika Abu al-Hasan tiba di Spanyol, al-Hakam sudah meninggal dunia. Beruntung ia kemudian beroleh rekomendasi dari Abu an-Nasr Mansyur, seorang musisi Yahudi di istana Cordoba. Akhirnya Abu al-Hasan terhubung dengan Abdur Ar-Rahman II, penguasa Andalusia yang baru.
Sekali lagi, petinggi istana terpukau oleh kepiawaian Abu al-Hasan dalam bermusik. Menurut sebuah sumber, konon ia hafal lirik dan melodi dari 10.0000 lagu. Mungkin ini klaim yang dilebih-lebihkan, tapi ingatannya tentu luar biasa. Sementara itu, Abdur Ar-Rahman II memang sedang mencari musisi-musisi muda untuk berkhidmat sebagai seniman istana. Ia ingin mengubah adab orang-orang Andalus yang kasar dan liar.
Musisi yang ia kagumi itu itu datang dari pusat peradaban besar, Baghdad. Kota asal Abu al-Hasan, selama bertahun-tahun, telah menjadi magnet bagi para ilmuwan dan seniman. Juga telah menjadi ikon peradaban yang gemilang. Setelah mendengar lagu-lagu Abu al-Hasan, orang-orang sezaman mengatakan, penguasa begitu terpikat sehingga ia tidak akan pernah lagi mendengarkan penyanyi lain. Sejak itulah Abdur Ar-Rahman II dan Abu al-Hasan punya hubungan yang amat dekat.
Karir musik Abu al-Hasan Ali ibn Nafi bermula di Baghdad, ibukota imperium Abbasiyah (762-1258), pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Menurut sebagian sumber, sebelum punya nama yang melegenda sebagai musisi, ia adalah bekas budak. Ada yang mengatakan ia keturunan Persia, ada juga yang menandai ia berasal dari Kurdi.
Namun, berdasarkan penuturan Ibn Hayyan, Abu al-Hasan kemudian dikenal dengan julukan Ziryab atau Burung Hitam (Blackbird), karena kulitnya sangat hitam, tapi suaranya sangat merdu dan mempesona. Dalam catatan para sejarawan, Ziryab adalah seniman multitalenta yang sesungguhnya.
Keahliannya meliputi banyak bidang, mulai dari filsafat, astronomi, matematika, fisika, geometri, puisi, kuliner, fashion, dan tentu saja, musik. Dalam buku Andalucia: A Cultural History (2009) karya John Gill, sebagaimana dikutip www.ganaislamika.com, 2017. Ziryab tercatat sebagai musisi terhebat di zamannya.
Penguasa Cordoba mempercayai Ziryab untuk memangku jabatan semacam Menteri Kebudayaan di wilayah kekuasaan Andalusia. Proyek pertama Ziryab adalah mendirikan sekolah musik. Berbeda dengan Konservatorium Musik di Baghdad, sekolah musik di Cordoba itu mendorong eksperimen dalam gaya dan instrumen musik. Atas reputasinya itu, kelak dalam Encyclopedia of Islam, nama Ziryab tercatat sebagai “pendiri tradisi musik Spanyol-Islam.”
Ziryab membuat komposisi nuba (atau nauba), jenis musik khas Andalusia-Arab yang bertahan hingga kini di belantika musik klasik di kawasan Afrika Utara. Di Libya, Tunisia, dan Aljazair timur, nuba dikenal sebagai maluf. Ziryab menciptakan 24 jenis nuba. Bentuk-bentuk nuba sangat popular dalam komunitas Kristen Spanyol dan sangat berpengaruh dalam perkembangan musik di Eropa abad pertengahan.
Tak hanya mengurus musik, Ziryab juga memperkenalkan standar berbusana di Cordoba, tata cara makan (table manner), hingga gaya rambut. Sebelum kedatangan Ziryab, urusan makan di Spanyol adalah perkara sederhana, bahkan kasar. Sekadar warisan dari Visigoth, penerus bangsa Vandal, dan dari adat setempat. Piring-piring ditumpuk sembarangan, di atas meja kayu yang kosong dari rupa-rupa pernik. Adab meja makan tidak ada.
Ziryab melakukan semacam “revolusi kuliner” dengan memperkenalkan buah-buahan dan sayuran baru seperti Asparagus. Ia juga memperkenalkan tiga hidangan yang disajikan secara terpisah, yaitu sup (appetizer) hidangan utama (main course) dan hidangan penutup (dessert).
Ziryab pula yang memancangkan tradisi tiga hidangan (three-course meal) ke dalam budaya makan bangsa Eropa, yang masih bertahan hingga kini. Ia mengganti gelas-gelas perak bangsa Eropa dengan gelas kristal yang bening.
Ia perkenalkan taplak meja guna memperindah nuansa hidangan, termasuk meletakkan vas bunga di atasnya. Ziryab mendesain sendok sup, hingga memperkenalkan tusuk gigi.
Di dunia fashion, Ziryab mendandani orang-orang Cordoba dengan pakaian yang pantas di setiap musim dan perhelatan. Di musim semi, warga dianjurkan memakai pakaian berwarna cerah, di musim panas pakaian putih, dan di musim dingin, menggunakan pakaian berbulu. Ia ajarkan pula masyarakat Spanyol cara merawat diri.
Ia perkenalkan pasta gigi, budaya bercukur bagi pria, model rambut, termasuk mengatur trend potongannya. Tak ketinggalan, dalam perkara kosmetika, Blackbird mendirikan sekolah tata rias kecantikan, tak jauh dari istana Abbasiyyah. Ia menciptakan gaya rambut yang terbilang berani saat itu. Sebelumnya para wanita Spanyol menggunakan gaya rambut yang menutupi telinga, dengan kepang panjang di bagian belakang.
Ziryab mengubahnya dengan model potong pendek dengan poni dan telinga yang terbuka. Ia juga mengajarkan cara membentuk alis dan penggunaan obat guna menghilangkan bulu tubuh, dan memperkenalkan parfum dan kosmetik baru.
Sejumlah cara bersolek yang dibawa Ziryab ke Cordoba berasal dari gaya hidup kaum sosialita Baghdad, yang di masa itu adalah kota paling kosmopolit di dunia. Sebagian yang lain adalah modifikasi dari kebiasaan setempat. Ziryab adalah selebritas sejati, dan orang-orang memperoleh status dengan meniru gaya hidupnya. Namanya begitu popular. Ide-ide barunya dalam perkara gaya hidup dan fashion secara bertahap bermigrasi ke Perancis, Jerman, dan Italia.
Menurut catatan John Gill, Ziryab mampu mentrasformasi setting kebudayaan masyarakat Andalusia hari demi hari, hingga menjadi standar keadaban di setiap rumah dan menghasilkan jenis kebudayaan baru bercita rasa tinggi. Sejarawan Arab abad ke-17, Al-Maqqari menulis, “Tak pernah ada, entah sebelum atau sesudah dia, pria dengan profesinya yang sedemikian dicintai dan dipuja.”
Di kalangan muslim, tak semuanya dapat menerima kebesaran nama si Burung Hitam dari Baghdad itu. Dalam beberapa obrolan yang penuh sesak oleh sinisme dan kecurigaan di kurun mutakhir ini, ada yang berpendapat ganjil bahwa selebritisasi berbalut kemewahan duniawi, hura-hura, dan foya-foya, yang diperkenalkan Ziryab itulah pangkal soal dari keterlenaan kaum muslimin Andalusia hingga kejayaan Islam di Eropa abad pertengahan itu roboh dan hanya menyisakan puing.
Tapi bagi sebagian penyuka khazanah keislaman era Golden Age, Ziryab dengan segenap pencapaian artistiknya, justru dapat menjadi bukti betapa Eropa yang kini dipandang sebagai “kiblat” mode dan gaya hidup modern itu berutang banyak pada peradaban Baghdad. Tanpa kehadiran Ziryab di Cordoba, orang Spanyol akan terlambat mengenal taplak meja, dan tak lincah menggunakan garpu saat menyantap hidangan di meja makan. (SI)
Daftar bacaan
Flight of The Blackbird, Robert W Lebling Jr, www.islamicspaintv.com, 2003
Ziryab: The Blackbird of Andalus, www.thedailystartnet.com, Mei 2013
Ziryab, www.alchetron.com, 7 Mei 2018
Ziryab: Seniman Multi-Talenta yang Mengubah Budaya Eropa, www.ganaislamika.com, Desember 2017