Nashville, AS. Desember 2021. Bersama seorang teman, Timothy Wilks (20) dengan pisau daging di tangan, mendekati sekelompok orang di taman bermain Urban Air, seperti hendak melakukan aksi perampokan. Dalam situasi terancam, David Starnes Jr, salah seorang dari kerumunan itu, sigap mengeluarkan senjata api, lalu melepas tembakan ke arah Timothy Wilks, hingga ia tewas di tempat.
Peristiwa berdarah hari itu bukan aksi perampokan yang sebenarnya, tapi sebuah produksi konten prank yang akan diunggah Timothy di kanal YouTube miliknya. Celakanya David Starnes––sebagaimana dilaporkan oleh www.bbc.com (8/2/2021)––tidak tahu kalau ancaman yang ia rasakan itu hanyalah aksi pura-pura. Atas dalih membela diri, ia terlanjur menembakkan timah panas yang mengakibatkan hilangnya nyawa seorang youtuber muda.
Aksi nekat yang mempertaruhkan nyawa demi meraup engagement tinggi di kanal berbagi video itu bukan yang pertama kali terjadi. Juni 2017, di Halstad, Minnesota AS, perempuan muda bernama Monalisa Perez diminta oleh kekasihnya (Pedro Ruiz) menembakkan pistol jenis Desert Eagle dari jarak 30 cm. Sementara itu Pedro Luiz melindungi dirinya dengan sebuah buku tebal (semacam ensiklopedia). Sebelum timah panas itu dilesatkan, Pedro begitu yakin peluru tak akan menembus buku tebal pelindung dirinya. Tapi naasnya, eksperimen itu gagal. Pelor dari pistol di tangan Monalisa membuat ia tumbang bersimbah darah, lalu tewas di tempat, sebagaimana dicatat oleh Yasmine Leung (2021) dalam Timothy wilks is not the first youtuber killed by a prank–three fails that ended tragically. Insiden itu bukan adegan film, bukan pula aksi main-main sebagaimana lelucon yang biasa melintas di linimasa pergaulan dunia maya kita, tapi kejadian sungguhan, yang sekali lagi diproduksi demi ketenaran di belantara dunia maya, khususnya YouTube.
Tak sekadar berpura-pura merampok seperti yang dilakukan Timothy Wilks atau eksperimen berujung maut seperti petaka yang menimpa Pedro Ruiz, seorang youtuber asal Rusia bernama Stanislav Reshetnikov (30) bahkan tega menyiksa kekasihnya, Valentina ‘Valya’ Grigoryeva (28) dengan membiarkan perempuan yang sedang hamil itu berdiri lama di balkon apartemennya di Moskow, dalam cuaca minus. Momen ketika Grigoryeva menggigil kedinginan dalam keadaan setengah telanjang hingga meninggal dunia karena hipotermia, disiarkan secara langsung di ReeFlay, kanal YouTube milik Stanislav Reshetnikov.
Dalam catatan Michael Moran (2020) bertajuk YouTuber ‘livestreams pregnant girlfriend’s death’ as she freezes half-naked yang tersiar di www.dailystar.co.uk (3/12/2020), saat Stanislav menyeret Grigoryeva yang sudah tak bernapas ke dalam apartemennya, siaran langsung masih dapat disaksikan oleh pemirsa di seluruh dunia. Bahkan sampai adegan Stanislav berusaha membangunkan Grigoryeva yang mungkin sudah sekarat, kamera terus menyala.
“Valya, apakah kamu masih hidup?” teriak Stanislav yang tampak putus asa. “Ada apa denganmu? Valya! Valya! Sial, kamu terlihat seperti sudah mati,” lanjutnya dalam panik tak terkira. Lantaran Grigoryeva tidak merespons, Stanislav kemudian menghadap kamera dan memberi tahu puluhan ribu pengikutnya: “Guys … Tidak ada denyut nadi. Dia pucat. Dia tidak bernapas!”
Petaka yang telah menimpa Timothy, Pedro Ruiz, dan Grigoryeva hanya sebagian kecil dari ratusan peristiwa hilangnya nyawa dalam upaya keras menggapai sebanyak-banyak pemirsa di platform berbagi video yang sangat popular itu. Termasuk di dalamnya kematian seorang remaja setelah terlindas truk di Jalan Otista, Karawaci, Kota Tangerang Banten pada Jumat 3 Juni 2022. Sebagaimana dicatat oleh Aguido Adri (Kompas, 8/6/22), sekelompok anak muda melakukan aksi jalanan yang mereka namai tantangan malaikat atau berani mati alias BM. Satu-dua orang menghadang truk yang sedang melaju. Jika truk bisa berhenti dan para penghadang tidak terluka, itulah aksi BM yang sukses. Sementara salah satu dari mereka, merekam aksi maut itu untuk kemudian diunggah sebagai konten YouTube. Namun, hari itu mereka tidak beruntung. Remaja bernisial Y terlindas truk yang ia hadang, dan meninggal dunia. Lagi-lagi aksi menyabung nyawa itu dilakukan demi meraup angka views dan subscribers yang fantastis, guna mendatangkan uang yang berlimpah.
Kematian demi kematian akibat “penghambaan” pada akumulasi jumlah pemirsa sebagai dasar perhitungan monetisasi pada sistem YouTube, sesungguhnya telah bertentangan dengan ide mula-mula platform YouTube itu sendiri. Masa itu, Chad Hurley, Steve Chen, Jawed Karim (3 pendiri YouTube) sedang berada di sebuah pesta, dan salah satu di antaranya merekam beberapa peristiwa kecil di sana. Mereka menyadari, tak mudah menemukan cara berbagi dan saling bertukar video di ruang digital. Lalu, Jawed Karim, programmer brilian jebolan Stanford University, menggarap situsnya. Jawed pula yang tercatat sebagai orang pertama yang mengunggah video bertajuk Me at Zoo, 23 April 2005. Video berdurasi 19 detik itu direkam oleh Yakov Lapitsky di Kebun Binatang San Diego AS, dan menampilkan Jawed Karim di depan gajah.
“Sebagai video pertama yang diunggah ke YouTube, konten itu berperan besar dalam mengubah cara orang-orang mengonsumsi media dan membantu menciptakan era keemasan video 60 detik,” tulis Los Angeles Times. Hingga Oktober 2021, video perdana itu telah ditonton lebih dari 193 juta kali.
Saat Miguel Helft, wartawan The New York Times berkesempatan mewawancarai Jawed di kampus Stanford University, ia sempat memperlihatkan sebuah rekaman pembicaraan dengan Hurley dan Chen tertanggal 5 April 2005. Dalam video itu, Chen mengatakan, ia (Jawed) “sangat tertekan” karena hanya ada 50 atau 60 video di situs yang baru saja mereka luncurkan itu. Tapi, atas kerja keras Jawed pula, Sequoia Capital tertarik mendanai sebagian besar biaya operasional YouTube. Setelah awal yang lambat, YouTube akhirnya popular. Pencinta internet di seluruh dunia menyukai situs baru itu, dan mereka membombardir YouTube dengan unggahan berbagai jenis video.
Beberapa bulan kemudian, video YouTube diunduh lebih dari 100 juta kali setiap hari. Tak lama kemuidian, Google mengakuisisi YouTube dengan bandrol 1,65 miliar dolar AS.
Menurut peneliti Laboratorium Jurnalistik Tiro Adhi Soerjo, Rahmat Petuguran (2020) dalam Demi Konten; Bagaimana YouTube Bisa Menjadi Kanal Penuh Sensasi? yang tersiar di www.remotivi.com (8/10/2020), skema monetisasi yang ditawarkan YouTube setelah diakuisisi Google menyebabkan semangat berbagi dari para pendirinya menjadi hilang. Sebaliknya, motif utama para youtuber adalah mendapatkan. Kini, para youtuber membagikan video bukan karena ingin memberi manfaat pada penontonnya, tetapi memanfaatkan penonton untuk dikonversi menjadi uang. Sejak YouTube menjadi bagian dari keseharian kita, platform itu telah meraup banyak laba. Pada 2019, sebagaimana dikutip Petuguran (2020) YouTube telah meraup pendapatan dari iklan sekitar 15,15 miliar dolar AS atau setara Rp 212,1 triliun. Keberhasilan YouTube menjadi “mesin uang” bagi Google tak lepas dari strateginya memperlakukan penonton sekaligus broadcaster. Perusahaan menstimulasi penonton untuk memproduksi video dengan menawarkan skema berbagi penghasilan yang diterima dari pemasang iklan.
Selain itu, akumulasi jumlah penonton sebagai basis monetisasi yang akan menjadi nominal penghasilan youtuber telah membuat setiap pemilik akun bekerja bagai robot, yang tak henti-henti berproduksi. Sekali berhenti menggunggah konten, akan sangat berpengaruh terhadap jumlah penonton, bisa mendistorsi jumlah subscriber, yang tentu berarti berkurangnya penghasilan. Itu sebabnya kita melihat orang menenteng kamera di mana-mana, memproduksi konten apa saja, termasuk konten yang memamerkan setiap lekuk di ruang-ruang yang sangat pribadi. Dari dapur, letak lemari sepatu, kamar tidur hingga kakus, dengan segala kemewahannya. Seolah tak ada batas mana yang ruang privat, mana ruang publik. Pokoknya unggah saja, datangkan pemirsa sebanyak-banyaknya, lalu terima hasinya. Tuntaskan perkara!
Dari aspek selera pemirsa, konten-konten prank, eksplorasi ruang-ruang privat, termasuk konten-konten yang dibuat dengan mempertaruhkan nyawa seperti diuraikan di atas, memang lebih disukai daripada konten-konten edukasi atau konten berbagi pengetahuan, sebagaimana ide mula-mula dari pendiri YouTube. Aksi-aksi ekstrem seperti menghadang truk, tantangan makan keripik mahapedas, bercengkrama dengan ular dan buaya, atau ngamuk-ngamuk sebelum memberi derma, terasa lebih memukau, dan sensasional ketimbang tutorial membersihkan kaca berjamur atau cara bercocok tanam di pekarangan misalnya. Bila tidak sensasional, tidak akan viral. Penonton sepi, pendapatan minim. Demikian rumus sederhananya.
Tak dapat disangkal bahwa ketenaran, sekaligus keberlimpahan uang yang diperoleh para youtuber telah membius banyak orang, hampir di segala tingkatan usia. Bahkan sandaran cita-cita masa kecil yang di masa silam tak jauh-jauh dari profesi dokter dan astronot, kini menyempit ke arah satu profesi dambaan saja; youtuber. Namun, sepanjang kreativitas masih minim, kepedulian pada nyawa tipis, sementara syahwat besar pada ketenaran dan kekayaan tak terkendali, maka decak-kagum pada youtuber ternama, sesekali akan diselingi oleh ungkapan duka cita setelah mendengar kabar kematian. Dan kita, diam-diam, adalah pemirsa setia mereka…