“Kami hidup dalam ketakutan…” kata Zarema, jurnalis yang masih bertahan tinggal di Krimea. Dalam wawancara yang dilaporkan oleh www.eeas.europa.eu (18/3/22), ia meminta namanya diubah atau disamarkan, demi keamanan.
“Serangan itu membuat semua ketakutan kami, semua cobaan yang dialami etnis kami sejak 1944, tiba-tiba muncul kembali,” lanjut Zarema. Ia orang Krimea tulen. Berdarah Tatar totok, etnis minoritas muslim yang telah menghuni Krimea selama ratusan tahun. Pada tahun 2014, ketika pasukan Rusia menguasai Krimea, muslim Tatar Krimea adalah penentang paling keras aneksasi itu.
“Kami takut pihak berwenang Rusia akan kembali menuding kami tidak setia dan sesuatu yang buruk akan kembali menimpa kami,” ungkap Zarema lagi. “Jika pembersihan etnis dimulai lagi, tidak akan ada yang melindungi kami.” Ethnic cleansing yang dimaksud Zarema adalah tragedi kemanusiaan Mei 1944, ketika seluruh muslim Tatar Krimea dideportasi paksa dari semenanjung Krimea atas perintah Joseph Stalin, hanya karena mereka diduga berkomplot dengan Nazi, Jerman.
Stigma yang terus diembuskan itu mengakibatkan lebih dari 200.000 muslim Tatar harus meninggalkan tanah kelahiran mereka, menuju Asia Tengah, terutama Uzbekistan. Deportasi besar-besaran itu membuat mereka berdesak-desakan di kereta ternak, dan diperkirakan separuh dari jumlah itu tewas di perjalanan yang sangat keras, termasuk karena kelaparan dan serangan penyakit.
Menurut catatan Syed Ali Mujtaba (2022) dalam Ukraine Muslims are awry of Russian invasion, Tatar Krimea adalah kelompok etnis muslim asli di semenanjung Krimea, di sekitar pantai utara Laut Hitam. Pemukiman mereka terkonsentrasi di negara-negara di bagian selatan, khususnya di Krimea, meski ada koloni Lipka Tatar di wilayah lain seperti Volhynia dan Podolia. Komunitas ini mendirikan Khanate Crimea (semacam sistem pemerintahan otonomi berdaulat) di sisi selatan Ukraina pada abad ke-15.
Khanate Crimea kemudian jatuh pada kuasa Kekaisaran Otoman, meskipun penguasa lokalnya mempertahankan tingkat otonomi yang signifikan. Khanate berakhir setelah menguatnya pengaruh kekaisaran Rusia, yang kemudian mencaplok seluruh wilayah Khanate setelah perang Rusia-Turki pada akhir abad ke-18. Semacam mangsa yang selamat dari cengkraman harimau, tapi terkapar di hadapan nganga mulut singa. Dalam genggaman kekaisaran Rusia, Khanate Crimea yang beribukota di Bakhchysarai setidaknya memiliki 18 masjid dan sejumlah madrasah. Di era Revolusi Rusia 1917, muslim Tatar menjadi sepertiga dari populasi Krimea. Hampir semua wilayah di Krimea memiliki populasi muslim yang signifikan.
Dari temuan riset terkini yang dilakukan oleh Andrew Straw (2022)—di departemen sejarah, University of Texas, Austin AS—diketahui bahwa meskipun derita pengusiran massal muslim Tatar agak mereda karena kebijakan baru setelah rejim Stalin berlalu, tapi rehabilitasi kaum eksil itu sesungguhnya tidak benar-benar mengakhiri aniaya terhadap mereka. September 1957, otoritas Moskow memberi hak untuk tinggal bagi etnis muslim Tatar di wilayah Soviet, tapi tidak mengorganisir kepulangan mereka ke Krimea, termasuk tidak memberikan dukungan logistik.
Selain itu, Undang-Undang kependudukan masa itu memberlakukan sistem paspor internal Soviet guna memastikan status resmi kependudukan muslim Tatar. Sederhananya begini, untuk dapat diakui sebagai penduduk Krimea—yang tidak lain adalah tanah leluhur mereka—muslim Tatar harus mendaftarkan diri guna memperoleh paspor di keimigrasian Krimea. Bagaimana bisa orang pulang ke kampung sendiri, tapi harus dengan paspor? Undang-Undang kependudukan bikinan Moskow itu sesungguhnya bertujuan untuk menyeleksi orang-orang muslim Tatar yang dicurigai sebagai pembangkang atawa penjahat, agar tidak bertempat tinggal di kota-kota besar dan kawasan peristirahatan mewah seperti Sevastopol, Feodosia, dan Yalta.
Tapi, terlepas dari semua perlakuan diskriminatif itu, sejumlah warga muslim Tatar benar-benar mendaftarkan diri dalam rentang 1970-1980-an, sementara ribuan lainnya mengendap-endap di wilayah pedesaan, terlibat dalam pertempuran berkepanjangan guna memperoleh tempat tinggal dan merebut kembali tanah mereka yang disita.
Rehabilitasi etnis muslim Tatar baru benar-benar terasa setelah Soviet runtuh pada 1991, dan semenanjung Krimea menjadi bagian dari Ukraina. Pemulangan mereka benar-benar diurus dengan dukungan kebijakan dan logistik oleh pemerintah Ukraina. Mereka juga diberi hak politik dengan membentuk badan perwakilan yang dikenal dengan Mejlis. Sejak itu pula mereka dicatat sebagai bagian dari populasi warga muslim Ukraina, yang menurut laporan hasil studi Forum Pew 2011 berjumlah sekitar 393.000.
Sementara itu, Dewan Ulama Muslim Ukraina mengklaim, ada 2 juta muslim yang tinggal di Ukraina. Menurut laporan lain, pada 2012 diperkirakan 500.000 warga muslim tinggal di Ukraina, dan di antara mereka adalah 300.000 etnis Tatar Krimea.
Dilaporkan pula bahwa warga muslim Ukraina memiliki 445 komunitas dan 160 masjid. Menurut Syed Ali Mujtaba, mereka dapat menjalani cara hidup Islami. Pernikahan dilakukan sesuai ritual Islam, makanan halal disajikan, dan pendidikan Islam untuk anak-anak dan orang dewasa serta fasilitas lainnya disediakan.
Selama Ramadan, ada sekitar 800-1000 orang setiap hari mengunjungi masjid pusat di Kyiv untuk berbuka puasa dan shalat tarawih. Perkembangan lain, yang setidaknya dapat mengobati pengalaman traumatik mereka, adalah dibukanya kembali sekolah berbahasa Tatar Krimea. Budaya Islam Tatar diperkenalkan kembali untuk membalikkan akibat laten dari larangan Soviet terhadap penggunaan bahasa Tatar— termasuk segala bentuk ekspresi budayanya.
Tapi ternyata, keriangan dan ketentraman yang mereka nikmati tidaklah berlangsung lama. Maret 2014, jenazah seorang muslim Tatar bernama Reshat Ametov ditemukan di luar kawasan Simferobol, dalam keadaan terpotong-potong. Sebagaimana disiarkan oleh www.eeas.europa.eu (18/3/22) dalam reportase bertajuk Eight Years On, War in Ukraine Brings Back Painful Memories of Crimea’s Invasion, jenazah korban mutilasi itu ditemukan persis pada hari ketika Rusia menganeksasi Krimea. Ia adalah aktivis dan pengunjuk rasa yang sudah berkali-kali ditahan dan dianiaya. Ametov dimakamkan 18 Maret 2014, bersamaan dengan hari ketika Putin—dengan penuh semangat kemenangan—memaklumatkan pencaplokan Krimea, dan berjanji akan melindungi semua kelompok etnis di semenanjung itu.
Pemerintah baru Krimea yang didukung Moskow dengan sangat segera menggempur budaya dan identitas muslim Tatar. Seluruh media berbahasa Tatar ditutup atau diubah menjadi corong Kremlin, berbahasa Rusia. Bahasa Tatar Krimea dimusnahkan dari ruang publik. Mejlis dinyatakan sebagai lembaga ekstremis, para pemimpinnya diseret ke pengasingan. Salah satu pukulan yang paling menyakitkan bagi mereka adalah, orang Tatar dilarang menggelar acara peringatan deportasi massal kaum mereka di era Stalin. “Selama 30 tahun kami berkumpul di alun-alun di kota kami untuk memberikan penghormatan pada para korban,” kata Zarema. “Hari ini kami tidak diperbolehkan lagi mengadakan peringatan ini. Kami bahkan tidak bisa berduka dan menghormati keluarga kami yang mati,” keluh Zarema.
Almanak derita warga Muslim Tatar Krimea tidak dilipat sampai di situ. Sirene yang saban hari menguing-nguing—pertanda serangan udara—sejak agresor Rusia menyerang Ukraina (Februari 2022), bagi Zarema bagai alarm yang mengingatkan kaumnya untuk segera memasuki gelombang penderitaan terkini. “Semenanjung Krimea sekarang praktis ditutup. Tidak mungkin untuk keluar dari sana, juga tidak mungkin untuk masuk.
Kami sesekali mengimbau warga kami di sana untuk tidak datang ke sini (Kyiv) dengan cara apa pun. Jika Anda datang (keluar dari Krimea), Anda akan menjadi mayat atau pembunuh. Oleh karena itu, tolak! Jangan masuk, atau jadi sukarelawan untuk pasukan Rusia,” kata Mustafa Dzhemilev, tokoh penting Tatar Krimea dalam sebuah wawancara yang dilaporkan oleh www.newlinemag.com (12/5/22) dengan tajuk The Suffering of Crimea’s Tatars. Mustafa adalah diaspora Tatar Krimea yang bermukim di Kyiv, aktivitis HAM, yang kini tercatat sebagai anggota parlemen Ukraina.
Dzhemilev dikenal sebagai orang yang sangat gigih menentang pencaplokan Krimea pada 2014, dan invasi skala penuh Rusia ke Ukraina, Februari 2022. Ia yang telah menghabiskan 15 tahun di penjara sejak era Soviet, dan sudah berkali-kali dinominasikan sebagai pemenang Nobel Perdamaian itu juga dilarang—oleh otoritas Rusia—masuk ke Krimea sampai tahun 2034. Menurut penjelasan Dzhemilev, sejak Februari 2022, semua orang di Krimea telah diperntahkan untuk siap berperang (menyerang Ukraina). Dapat dibayangkan, intimidasi dan aniaya seperti apa lagi yang bakal menimpa muslim Tatar bila mereka menolak perintah itu.
Menurut laporan Aljazeera (10/2/22) bertajuk Ukraine rising tensions put crimean-tatar muslims at risk again, sejak pencaplokan Krimea 2014, sekitar 10 persen Tatar Krimea telah pindah dari semenanjung itu, sebagian ke Kherson (kini telah dikuasai Rusia) sebagian lagi ke Kyiv. Populasi muslim Ukraina itulah yang bisa menghirup udara kebebasan beragama sebagaimana layaknya. Di Masjid Ar-Rahma, kota Kyiv, anak-anak muslim dapat menghadiri kelas dalam bahasa ibu mereka, termasuk anak-anak Tatar Krimea. “Saat turun dari pesawat, orang tua kami mencium tanah (Krimea).
Orang-orang menangis bahagia, mereka akhirnya bisa kembali ke tanah air mereka,” kenang Erfan Kudusov (53), perihal kebahagiaan orang-orang Tatar setiba di tanah air mereka setelah lebih dari 45 tahun hidup di pengasingan paksa. Tapi pada 2014, setelah Rusia mencaplok Krimea, Kudusov bersama puluhan ribu muslim Tatar lainnya, harus meninggalkan tanah air mereka, sekali lagi. Dan, sebelum perang yang terkini, Kudusov membuka usaha restoran Tatar Krimea yang popular di Kyiv, tak jauh dari Khreshchatyk Street yang terkenal itu.
Dalam suasana mencekam yang kini melanda seluruh wilayah Ukraina, Kudusov tetap yakin Ukraina mampu menghadang invasi lebih lanjut Rusia, dan lebih yakin lagi bahwa perang itu adalah momentum Ukraina untuk kembali merebut Krimea. Dengan begitu, Kudusov berharap dapat berjumpa kembali dengan saudara dan sanak-familinya di sana.
Diusir, kembali pulang, dianiaya tak henti-henti, melarikan diri berkali-kali, dan dalam suasana perang yang kian mengerikan kini, hampir tak ada kepastian apakah mereka masih punya peluang untuk berjumpa kembali dengan karib-kerabat, suami, istri bahkan anak-anak mereka, yang bagai terkunci di Krimea—oleh otoritas Rusia. Siklus penganiayaan berulang-ulang terhadap muslim Tatar dari 1944, 2014 dan 2022, bagai almanak derita yang dari masa ke masa selalu ada bulan berwarna merah, tahun-tahun berwarna darah, dan tak ada kepastian kapan akan bersudah…