Banyak orang hanya tahu hari batik nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Oktober. Tapi pernahkah terbersit kalau tanggal 17 Oktober merupakan hari ulos. Padahal wastra ulos juga merupakan kekayaan budaya Indonesia. Salah satu putra daerah Batak Merdi Sihombing tak pernah lelah untuk terus mengenalkan ulos pada dunia.
Berjumpa dengan Merdi Sihombing di kampung halamannya di tepian danau Toba yang indah, Lumban Suhi-Suhi Toruan, Pangururan, Samosir. Di desa wisata budaya sentra pengrajin partonun ulos alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan Seni Rupa Kriya Tekstil ini menggeluti dengan intens Ulos.
Berangkat dari kesadaran agar Ulos dapat bertumbuh kembang dan dapat memenuhi selera masyarakat masa kini tanpa meninggalkan filosofi dan asal-usulnya, putra Batak ini terus berinovasi. Dari tepian danau Toba ini Merdi mengangkat Ulos ke panggung dunia fashion tak hanya di dalam negeri, tetapi hingga manca negara.
Bagi masyarakat Batak, Ulos memiliki filosofi kasih sayang. Filosofi Ulos dipahami sebagai ungkapan kasih sayang bagi kerabat marga terdekat atau sesama Batak. Nenek moyang suku Batak dahulu sangat menginginkan kehangatan pada masyarakat Batak.
Ulos merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong”, yang artinya, jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama
Warna ulos yang didasari oleh merah, putih, dan hitam punya makna tersendiri. Merah melambangkan untuk dongantubu. Putih ditujukan untuk boru. Hitam ditujukan untuk hula-hula. Partonun yang selaku pembuat ulos disejajarkan berasal dari dewata, Ompu Mula Jadi Nabolon yang merajut kehidupan umat manusia dimuka bumi.
Kemudian secara perlahan ulos Batak berubah fungsi. Motif juga berubah dengan hadirnya para zending dan penjajah bangsa Eropa yang membawa kain tenun yang baru, yaitu pakaian Eropa. Pada akhirnya masyarakat Batak lebih banyak menggunakan kain tenun Eropa dan tidak lagi mengenakan ulos sebagai pakaian sehari-hari.
Ulos yang awalnya pakaian sehari-hari berubah menjadi sesuatu yang sakral dan hanya digunakan hanya sebagai pakaian ritual.
Adat Mangulosi
Adat atau acara memberikan ulos disebut mangulosi. “Mangulosi” merupakan acara yang tak terpisahkan dari ritual adat Batak. Dilakukan pihak yang berada pada posisi hula-hula ke boru, orangtua ke anak. Artinya, mangulosi menjadi simbol pamoholi dan manggomgom yang berarti memberikan peneguhan atau kekuatan pada pihak yang dikasihi. Pemberi ulos selalu berada di atas yang menerima.
Ulos memaknai “ugari ni habatahon,” atau semangat kebatakan, dan berkaitan dengan patik (titah), dan uhum (hukum). Ornamen yang muncul di ulos mencerminkan latar-belakang proses pembuatan ulos itu sendiri.
Kesakralan Ulos terasa perlahan-lahan lenyap termakan oleh pengaruh zaman globalisasi. Ulos merupakan simbol penting dalam ritual budaya Batak, da juga adalah simbol kebanggaan, prestise bagi masyarakat Batak. Tradisi “mangulosi” menjadi tidak bermakna tanpa Ulos yang merupakan bagian dari kesakralan kegiatan masyarakat Batak.
Revitalisasi Ulos
Merdi mengolah ulos dengan teknik yang sama namun dengan bahan baku benang sutera yang halus, berkualitas dan sentuhan pewarna alam baru, yang didatangkan khusus dari berbagai daerah lain di Indonesia.
Kelenturan kain Ulos pun menjadi luar biasa. Untuk mengahsilkan produksi kain yang ramah lingkungan, bahkan Merdi membuat kebun-kebun tumbahan untuk pewarna. Merdi bekerjasama dengan stakeholder membangun Kampung Ulos di Samosir, tempat para pengrajin berkreatifitas.
Kini Ulos pun dikagumi oleh suku non-batak hingga ke warga mancanegara. Merdi terbukti mampu menggunakan pendekatan baru untuk mengenalkan ulos . Merdi Sihombing pernah menggelar karyanya di Galeri Nasional Indonesia, Jakart. Pameran bertajuk : Travel in Cloth, Partonun Ulos. Sebuah Karya Atas Nama Leluhur, yang digelar hampir sebulan penuh ini menunjukkan kiprah Merdi Sihombing menggeluti budaya Batak yang tak hanya sebatas Ulos.
Merdi tak kurang menggelar revitalisasi kain ulos dengan ciri khas masing-masing, nilai filosofi dan nilai tradisi dan pewarnaan alami. Pada ajang pameran multi media ini Merdi berkolaborasi dengan para seniman, videographer, fotografer, partonun, model dan perupa.
Dalam pameran ini Merdi memisahkan kain untuk fashion dan printing untuk casual wear , tetapi menyerap konsep asli Gorga Batak melalui modifikasi motif-motif tua dan tradisional. Jadi tak hanya karya ulosnya yang dipajang, tetapi Merdi mengusung semua ikon budaya Batak ke Galeri Nasional.
Ulos karya Merdi kini sangat diperhitungkan dan dilirik oleh dunia fashion dikarenakan oleh kaya inovasi dan kreativitas. Produk Ulos Merdi yang ramah lingkungan menjadi salah satu selling poin. Merdi seniman yang multi talentajuga menyadari untuk menjadi besar harus membangun jaringan komunitas. Maka Merdi selalu ingat pada para partonun alias penenun dengan membangun kampung Ulos di Tobasa dan Samosir dan tempat lainnya. Bahkan salah satu Ulos karyanya kini dipajang dan jadi koleksi museum Swarovski di Austria.
Merdi Sihombing pun punya komitmen dan pernah melakukan perjalanan untuk mengakrabi tenun Indonesia untuk menyebarluaskan ilmu membuat wastra dengan pewarni alami ke sentra tenun berbagai daerah di Indonesia dari tanah Batak, Mentawai, Padiang, Palembang, Jakarta, Badui, Pedan (Klaten ), Banyuwangi, Sumbawa, Rantendao, Papua dan daerah lainnya.