Memasuki tahun baru Imlek adalah menanti datangnya perayaan Cap Go Meh, yang berarti pula menunggu santapan kuliner lontong cap go meh. Lontong cap go meh sudah menjadi ikon dalam perayaan itu, karena hampir selalu (biasanya) disantap keluarga Tionghoa Indonesia pada saat Cap Go Meh, yakni lima belas hari setelah Imlek.
Menurut sejarawan Kota Semarang , Jongkie Tio, kuliner di Indonesia itu hampir 75 persen terpengaruh dari Cina karena (warga Cina) sudah ada di sini sejak tahun 400. Lontong sendiri saudara tua Kupatan (ketupat).
“Penutup Lebaran adalah Kupatan, dan penutup Cap Go Meh adalah Lontong Cap Go Meh,” ujar Jongkie Tio yang juga pemilik Restoran Heritage Semarang, baru-bari ini.
Munculnya hidangan lontong cap go meh ini disigi dari asimilasi budaya . Hidangan peranakan ini terdiri dari lontong yang disajikan dengan opor ayam, sayur lodeh, sambal goreng ati, acar, telur pindang, abon sapi, bubuk koya, sambal, dan kerupuk. Kuliner ini mungkin oleh sebagian orang juga dikenal dengan sebutan lontong opor.
Setidaknya ada beberapa versi asal-usul lontong cap go meh. Namun dapat dipastikan, penganan ini merupakan hasil akulturasi budaya dan adaptasi masyarakat keturunan Tiongkok di Nusantara dengan masyarakat lokal.
Tegasnya, lontong cap go meh ini bentuk makanan adaptasi, bentuk baru untuk kaum peranakan. Menu ini bukan untuk menggantikan menu serupa yang sudah ada seperti opor, karena kaum Tionghoa tentunya menghormati tradisi masyarakat setempat di pesisir laut Jawa.
Setelah kita menikmati kemeriahan perayaan hari raya Imlek, maka rangkaian suka cita tahun baru akan ditutup dengan perayaan Cap Go Meh, yang merupakan puncak acara. Perayaan Cap Go Meh melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Tahun Baru Imlek bagi komunitas Tionghoa di seluruh dunia. Istilah ini berasal dari dialek Hokkien dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama (Cap = sepuluh, Go = lima, Meh = malam).
Lontong cap go meh itu aslinya hanya sebatas nama yang terjadi karena masakan tersebut sebagai bentuk pembauran warga keturunan Cina dengan warga setempat, khususnya di pulau Jawa. Seperti diketahui para pendatang Tionghoa pertama kali bermukim di kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa, misalnya Semarang, Pekalongan, Lasem, dan Surabaya.
Pada saat itu hanya kaum laki-laki etnis Tionghoa yang merantau ke Nusantara, mereka menikahi perempuan Jawa penduduk lokal, hal inilah yang melahirkan perpaduan budaya Peranakan-Jawa.`Perayaan aslinya sendiri menggunakan makanan simbolis yuanxiao atau ronde, yang menyimbolkan kesatuan keluarga, karena terbuat dari tepung ketan.
Namun karena perpaduan tersebut, saat Cap Go Meh, kaum peranakan Jawa mengganti hidangan yuanxiao (bola-bola tepung beras) dengan lontong yang disertai berbagai hidangan tradisional Jawa yang kaya rasa, seperti opor ayam dan sambal goreng.
Lontong cap go meh dipercaya melambangkan asimilasi atau semangat pembauran antara kaum pendatang Tionghoa dengan penduduk asli di Jawa. Filosofinya, dipercaya pula bahwa lontong cap go meh mengandung perlambang keberuntungan, misalnya lontong yang padat dianggap berlawanan dengan bubur yang encer. Hal ini karena ada anggapan tradisional Tionghoa yang mengaitkan bubur sebagai makanan orang miskin.
Bentuk lontong yang panjang juga dianggap melambangkan panjang umur. Telur dalam kebudayaan apapun selalu melambangkan keberuntungan, sementara kuah santan yang dibubuhi kunyit berwarna kuning keemasan, melambangkan emas dan keberuntungan.
Di luar perayaan Cap Go Meh, kalau kita ingin menikmati kuliner ini, bolehlah singgah di Rumah Makan Semarang, milik ‘tukang dongeng’ dan penulis buku Jongkie Tio. Restoran yang berdiri sejak 1991 ini menyajikan menu Lontong Cap Go Meh dengan 12 sajian berbeda, mulai dari lontong, kuah sayur, rebung, irisan telur rebus, hingga irisan cabai merah.
“Rasanya gurih dan sedikit manis. Sangat cocok dinikmati bersama keluarga ketika Anda melancong ke Kota Semarang,” ujar Jongkie Tio setengah berpromosi. (SI)