Christian Saputro
Penulis Kolom

Nama lengkapnya Christian Heru Cahyo Saputro. Mantan Kontributor indochinatown.com, Penggiat Heritage di Jung Foundation Lampung Heritage dan Pan Sumatera Network (Pansumnet)

Di Sinci Gus Dur Terukir Tulisan ‘Yin Hua Zhi Fu, Fu Ruo Guo Zhi’

Ketua Boen Hian Tong Harjanto Halim Menunjukkan Sinsi Gus Dur (foto Christian Saputro)

Salah satu ritual dalam merayakan Imlek adalah melakukan sembahyang kepada leluhur (Zhu Zi) yang dilaksanakan sehari menjelang hari H, kemudian malamnya berkumpul bersama keluarga. Menjelang Imlek 2572 kemarin Pengurus Perkumpulan Sosial dan Budaya Rasa Dharma (Boen Hian Tong) usai menggelar acara “Bakti Basuh Kaki” melaksanakan sembahyang bersama.

Sembahyangan  dipimpin Wenshe Oei Hui Ling alias Indriani Hadisumarto dilaksanakan di altar utama Gedung  Rasa Dharma (Boen Hian Tong) . Di antara leluhur yang didoakan dalam sembahyang itu ada Presiden Republik Indonesia Abdurahman Wahid alias Gus Dur. Memang  di altar utama ada sinci Gus Dur bersama sinci leluhur lainnya.

Semua Halal

Harjanto menambahkan di depan altar sembahyang di meja tertata  ubo rampe perlengkapan sembahyangan  dan sajian makanan khas Imlek yaitu; Siu Mie (Mie Panjang), Yu Sheng (Salad Ikan Segar), kue eranjang, Telur yang direbus dengan teh,ikan bandeng,ayam atau bebek, Jiaozi (Kuo Tie yang biasanya ada dalam sajian dimsum), sup delapan bentuk, kuaci,kue mangkok, manisan, jeruk mandarin, dan daging kambing. “Karena menghormati Gus Dur hidangan di meja ini semuanya halal. Jadi tidak ada daging babi, tetapi diganti daging kambing. Untuk mengganti dan memutuskan ini melalui  diskusi alot dan cukup lama,” jelas Harjanto.

Baca juga:  Hubungan Erat Gus Dur dengan Anwar Ibrahim

Ketua Perkumpulan Sosial dan Budaya Boen Hian Tong Harjanto Halim menceritakan sejarah mengapa adanya sinci Gus Dur di Boen Hian Tong.  Presiden RI ke-4 ini mempunyai tempat khusus dihati masyarakat Tionghoa. Gus Dur sangat dihormati, karena beliau sangat dihormati oleh masyarakat Tionghoa karena beliau mencabut Inpres No.14 Tahun 1967 yang melarang seluruh kegiatan yang berhubungan dengan Orang Tionghoa. Pada era orde baru  sempat terjadi putusnya mata rantai kebudayaan Tionghoa di kalangan keluarga sejak tahun 1967 hingga 2000, yakni selama 32 tahunan. Kemudian pada 2001, Gus Dur menetapkan Imlek sebagai hari libur bagi mereka yang merayakan dan kemudian pada tahun 2002, Mantan Presiden Megawati menetapkan imlek sebagai hari libur nasional. Yang mulai  efektif dilaksanakan pada tahun 2003.

Gus Dur berani mencabut Inpres yang intoleran dan mengubur kebudayaan penting tersebut, maka pada tahun 2004 beliau dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia di Klenteng Tay Kak Sie,  Gang Lombok, Semarang.

Bagi warga Tionghoa, peran Gus Dur sangat besar. Gus Dur selalu berbicara persamaan, tanpa membedakan latar belakang agama, ras, suku, dan kebudayaan. Gus Dur juga aktif membela hak-hak warga peranakan Tionghoa. “Karena jasa-jasa Gus Dur terhadap toleransi keberagaman di Indonesia,  maka Boen Hian Tong menghormati beliau dengan dibuatkan sebuah Sinci atau Papan Silsilah  yang diletakkan di posisi kehormatan bersama para pendiri dan ketua Boen Hian Tong terdahulu,” papar Harjanto.

Baca juga:  Kenangan Bersama Gus Dur: Sebuah Wawancara

Ketua  Boen Hian Tong Harjanto Halim, menambahkan sinci itu adalah bentuk penghormatan kepada Gus Dur dari masyarakat Tionghoa. Lebih lanjut, Harjanto memaparkan, Sinci adalah papan kayu bertuliskan nama leluhur yang sudah meninggal dan diletakkan pada altar penghormatan. Kalau sudah diberikan Sinci atau silsilah,  namanya tentu akan selalu didoakan oleh komunitas Tionghoa.

Pada sinci Gus Dur tertulis dalam  aksara Hanzi kalimat; ‘Yin Hua Zhi Fu, Fu Ruo Guo Zhi'”  yang artinya, “Bapak Tionghoa Indonesia, Guru Bangsa, Pendukung Minoritas. “Fungsi sinci yang paling mudah adalah untuk melacak silsilah leluhur. Melihat keturunannya sampai ke tingkat paling awal menjadi mudah. Juga soal hobi dan apa kesukaannya juga tertulis,” ujar terang Harjanto.

Menariknya papan silsilah Gus Dur pada puncaknya ada seperti atap terdiri tiga susun. Menurut Harjanto ini mencontoh atap Masdjid Agung Demak, yang tiga trap yang menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. “Dulu puncaknya bulat seperti kubah masjid kebanyakan. Tetapi setelah berkonsultasi dengan Gus Mus disarankan untuk diganti, karena Gus Dur lebih suka arsitektur lokal. Gus Mus menyarankan untuk mengganti seperti puncak Masjid Agung Demak,” terang Harjanto.

Penghormatan terhadap Gus Dur diberikan dalam bentuk Sinci alasannya, lanjut Harjanto, bagi kaum Tionghoa, Gus Dur dinilai telah menghapus kekangan, tekanan dan prasangka. Dulu kaum Tionghoa kerap mendapati stigma buruk baik dari pemerintah Indonesia, maupun masyarakat pada umumnya. Gus Dur juga dinilai telah berjasa menjadikan semua warga negara menjadi setara. Gus Dur itu  toleran dan menerima perbedaan.

Baca juga:  Rumah Kemanusiaan GUSDURian Mojokutho Pare: Merawat Lansia, Mewartakan Cinta Kasih Kepada Sesama

“Kami ingin menghormati jasa-jasa Gus Dur baik ketika masih hidup dulu. Jadi Gus Dur juga didoakan oleh kaum Tionghoa seperti leluhur lainnya. Bahkan setiap haul Gus Dur  kami juga memperingatinya,” imbuh Harjanto. (CHCS)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top