Sedang Membaca
Sastra yang Melawan Pendangkalan
Avatar
Penulis Kolom

Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), pengasuh pondok pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten. Menulis cerpen dan esai di harian Kompas, Republika, Tempo, www.kompas.id, Jurnal Toddoppuli, simalaba.net, kawaca.com, litera.co.id, harianhaluan.com, dan lain-lain.

Sastra yang Melawan Pendangkalan

sastra

Lebih dari 30 tahun, bangsa ini terbelenggu dan terperangkap ke dalam suatu siklus dan sirkuit yang tetap. Terkerangkeng oleh kesenangan orang lain, lalu membiarkan diri membungkam suara-suara dari perasaan dan pikirannya sendiri, karena merasa harus menyamakan diri dengan suara-suara dari perasaan dan pikiran banyak orang.

Kala itu, tidak sedikit sastrawan dan seniman sibuk mengejar kemapanan karier yang memberikan rasa aman, jabatan yang keren, profesi yang mendatangkan popularitas secara instan. Mereka hidup di suatu era ketika hampir segala hal dengan mudah menjadi jargon.

Bangsa besar yang berpopulasi ratusan juta ini, akhirnya kehilangan kesenangan dalam banyak hal yang mestinya menjadi pengalaman otentik dirinya sendiri, yakni hasrat dan keinginannya yang paling dalam. Di negeri ini, pemerintah baru yang telah menggeser pemerintah lama (1965), meramu dongeng-dongeng fiktif dan menyusupkannya dalam imajinasi bangsa.

Apalagi ketika mereka membangun tata sosial baru, selalu saja menciptakan cerita-cerita baru untuk menggeser cerita lama yang dianggap tandingannya. Propaganda dan hoaks, bukanlah sesuatu yang baru, ia sudah tercipta selama ribuan tahun, digunakan oleh manusia untuk menggoyahkan cerita lama dan memantapkan cerita baru yang sudah mereka agendakan.

Rakyat digiring bagaikan spesies yang hanya bisa merespons apa yang benar-benar ada di sekeliling mereka, serta tak mampu mengembangkan perilakunya secara imajinatif. Secara pribadi, saya menghargai setiap orang yang punya cerita macam-macam untuk menggeser keyakinan saya. Tetapi, bila ada sastrawan yang berkarya tidak sesuai dengan nalar dan akal sehat, tak ragu-ragu saya akan katakan:

Baca juga:  Tafsir Ulama Mesir Tentang Islam Kaffah, dari Sayid Quthub hingga Syekh Mutawwali Sya’rawi

“Maaf, Bapak ini seperti hidup dalam suatu kotak besar, lalu Bapak sendiri membangun kotak baru di dalam kotak besar itu. Ketika Bapak sudah memiliki banyak murid, rupanya Bapak pun tertarik untuk memerintahkan mereka membangun kotak-kotak baru yang semakin kecil.”

Pada dasarnya, sastrawan generasi muda yang serius belajar dan kaya ilmu, memiliki pola pikir tentang iklim religiositas yang baik. Tidak mungkin menerima mentah-mentah kisah mistik atau dongeng yang dibuat-buat untuk membodohi dan menakut-nakuti masyarakat. Pikiran dan imajinasi mereka, hanya dapat terhubung dengan cerita yang membangkitkan kecerdasan dan kedewasaan, serta mengandung moral massage yang dapat dipertanggungjawabkan.

Karena itu, kualitas sastra yang setengah-setengah, mesti hanya berkutat di wilayah imajinasi liar, kemolekan diksi maupun estetika semata. Ia seaka hanya mementingkan seni sebagai hiburan belaka. Penulis sastra semacam itu sulit untuk berpikir bahwa dunia sastra – dari zaman ke zaman – selalu bergulat untuk memperjuangkan dirinya sebagai wahana pendidikan dan pencerdasan bangsa.

Padahal, ruh berkreasi seperti itu sudah diajarkan oleh para bapak bangsa kita. Jika kita merujuk pada semangat sastrawan Indonesia di era Balai Pustaka, saat itu mereka tak bisa melepaskan diri dari semangat untuk mendidik, terutama setelah ikrar Sumpah Pemuda hingga era kelahiran Indonesia sebagai suatu nasion.

Ketika negara baru ini lahir, segala bidang kehidupan, terlebih kalangan sastrawan memiliki semangat bergelora untuk saling membangkitkan. Rakyat dididik agar pintar, dan gerak perubahan ke arah sana mesti dipercepat. Dengan demikian hingga hari ini, sastrawan tak bisa melepaskan diri dari kodrat kemanusiaannya yang harus bangkit dalam keterpanggilan sejarah.

Baca juga:  Buku Menjerat Gus Dur: Oligarki yang Tak Pernah Usai

Semarak keagungan sastra angkatan 45 dan Balai Poestaka, tidak sempat diwariskan kepada generasi muda. Segala hal yang menyangkut terminologi sastra telah dibungkam dan digeser oleh teks-teks bikinan yang merupakan jargon-jargon militerisme belaka: Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Organisasi Tnpa Bentuk (OTB) hingga ekstrim kiri, kanan, hingga “ekstrim tengah” juga.

Tempo, Editor, Detik, hingga majalah Djakarta-Djakarta diberedel, hanya kerena menyampaikan laporan investigasi yang ilmiah mengenai korban-korban Timor Timur. Di negeri ini, bahkan tidak sedikit petinggi militer yang dipaksa oleh “keadaan”, menjadi komandan oleh karena jabatan yang dimandatkan secara terpaksa, termasuk desakan keluarga dan istri, bukan atas dasar panggilan jiwa dan hati nuraninya sendiri.

Bagaimana dengan sastrawan? Ya, begitulah. Mereka yang memiliki core belief yang rendah, pijakan hidupnya tidak kokoh, jiwanya labil, mudah panik, tegang, dan gampang tersinggung. Pada kondisi seperti itu, ketika mereka berkarya maka sulit diandalkan nilai kemanfaatan dan kemaslahatannya. Kecuali untuk kepentingan segelintir orang yang dia cintai, atau sebaliknya, segelintir orang yang dia benci dan musuhi.

Pada kondisi tertentu, amarah dapat mudah meledak karena tak mampu menghadapi kenyataan bahwa setiap sastrawan harus siap menerima kondisi lapang dan sempit, sukses dan gagal. Jiwa yang labil dan temperamental itu akan sulit menerima keberhasilan orang lain, juga akan mudah berkata atau bersikap yang dapat melukai hati rakyatnya. Oleh karena itu, tak usah tersinggung, jika generasi baru milenial sering menjulukinya sebagai “sastra pendendam” atau “sastra pendengki”.

Baca juga:  Menjadi Diaspora NU di Kota Sydney, Australia (2)

Pada prinsipnya, kinerja seorang pemimpin akan mudah tercapai apabila kepemimpinan itu didasarkan pada kompetensi. Itulah pentingnya karya-karya sastra untuk bercermin diri, muhasabah dan evaluasi diri. Jika tidak segera dilakukan, maka tepatlah apa yang disarankan Jacob Sumardjo, agar bangsa ini segera disediakan layanan jasa-jasa psikiater secara massal. Karena menurutnya, gejala delusi kejiwaan sudah menjalar bagaikan varian baru Corona yang telah menyebar ke mana-mana. Hal ini sehaluan dengan teks-teks pada bab pertama novel Pikiran Orang Indonesia, di saat sang tokoh utama merasa dirinya terserang delusi skizofrenia, meski ia tak pernah mengerti apa nama penyakit itu:

“Sering saya bertanya-tanya, ada apa dengan diri saya? Apa yang salah pada diri saya? Apakah saya ini menderita semacam penyakit? Sering saya merasa bahwa kehidupan sehari-hari saya adalah penyakit, meski tak pernah mengerti penyakit apa yang bersarang di tubuh saya?”

Kiranya novel tersebut layak menjadi bahan kajian dan penelitian yang lebih mendalam, hingga menimbulkan efek terhadap batin dan kejiwaan pembaca. Para pembaca novel akan membayangkan diri sebagai karakter yang berada dalam situasi sang tokoh, hingga menimbulkan kepekaan dan empati yang lebih tinggi dalam jiwanya (baca: Kompas, 24 April 2018, “Membangun Akal Sehat”).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top